Selasa, 19 Maret 2013

Cinta di Antara Dua Huruf O


Cerpen ini diterbitkan dalam buku antologi cerpen “Balada Seorang Lengger”. Bernafas tentang pemenuhan diri manusia.

“Tak peduli seberapa banyak energi yang kita capai sendirian. Kekuatan cinta kasih dan ketenangan batin kita baru dapat diuji saat kita berada dalam suatu hubungan. “

***
Riuh rendah kentongan Banyumasan terdengar, tetabuhan yang mengetuk pangkal rasa itu, membuat aku dan dia, larut dalam pesona. Festival kentongan yang digelar berkala, setidaknya mengingatkan manusia-manusianya bahwa leluhurnya dulu pernah mencipta, mencipta budaya yang diturunkan melalui generasi penerusnya. Ini tahun kedua kami bersama, festival kentongan kedua yang kami tonton, dan untuk kali kedua pula kami saling bertukar tanya, bila manusia ditakdirkan mencipta budaya, apakah kau tahu untuk apa?
“Mungkin saja hanya untuk memperturutkan rasa, rasa berbudaya, mempunyai karya, atau sekedar memanusiakan manusia,” kataku setelah festival kentongan itu usai. Kami memesan secangkir kopi panas, mendoan dan jagung bakar sambil “nongkrong” di alun-alun Purwokerto. Memang terlalu banyak untuk porsi selingan setelah makan malam, tapi dingin telah menguras habis cadangan energi kami.
“ Fiuuh, bahasamu selalu saja rumit! Menurutku budaya dicipta untuk memberikan kesenangan, titik.” katanya lugas. Dan bisa diduga sedetik kemudian, aku siap-siap membuka mulut untuk mendebatnya. Sementara itu dia malah tertawa menyeringai, berlagak menantangiku. Begitulah persenyawaan kami berdua. Arya, lelakiku, yang bisa menjadi sahabat untuk berbagi tentang apa saja, menjadi guruku bila harus berurusan dengan ilmu eksakta, musuhku bila harus mendebatnya, kasihku bila aku melihatnya sebagai manusia biasa, dan separuh jiwaku bila harus meninggalkannya. Hingga tak kuasa, setengah tahun lalu kuucapkan selamat tinggal padanya.
“Aku pergi”
***
Edinburgh, September 2010
“Apa kabar  Purwokerto kita? Masih sering berkabut saat pagi butakah? Masih riuh rendah dengan teriakan kernet angkot-angkot mini warna oranye itukah? Aku kangen makan mendoan hangat yang ternyata rasanya tak ada duanya di dunia itu, pengen makan Soto Sokaraja yang mak nyus, atau sekedar nongkrong-nongkrong di Alun-alun Purwokerto sambil menikmati jagung bakar dan ngobrol soal urusan negara sampai soal yang remeh temeh sekalipun. Kapan kita nonton festival kentongan lagi?menyelusup di lapak-lapak Pasar Wage, lalu menawar barang dengan kesadisan tingkat tinggi, atau menyambangi Yu Tarmi yang asyik membatik. Kapan kita jalan kaki menghirupi sejuknya udara Baturraden? membincangi alam disaksikan deburan air Curug Ceheng?telingaku juga sudah rindu mengakrabi lagi bahasa ngapak-ngapak itu. Inyong, koe, kepriben,  dan terlebih lagi, aku merinduimu” eegh ingin rasanya kuberondong dia dengan pertanyaanku, bicara sampai berbusa-busa. Menjadikan waktu diam sejenak dan meringkas jarak.
            Hatiku ngilu mengingat hal itu. Kenangan adalah penjara bagi pikiran yang membututiku kemana-mana. Dan makin lama, ia membuatku kehabisan daya. Memikirkannya hampir membuatku gila, mencemaskannya membuat syaraf-syarafku kehabisan daya impuls. Edinburgh-Purwokerto, dan jarak serta ketidakbersamaan menjadi semakin nyata. Aku kehilangan daya. Apakah sebenarnya dayaku ada pada dayanya? Aku kecanduan. Kecanduan aliran energinya yang membuatku meletup letup seperti bunga api, melesat-lesat selalu bila ia ada bersamaku, dan sebuah persenyawaan yang berubah menjadi tawar bila dia tak ada.
            “ Heiii…nona manis, dicari-cari eeeh.. ngumpet di sini..kamu lagi kenapa sih Kin? kok pucet gitu mukanya? Belum makan?” Tanya Arinda mengagetkanku. Ia sahabat satu flatku. Dengan paduan jaket panjang berwarna hijau tosca dan syal yang berwarna senada, Arinda selalu saja nampak mempesona.
            “ Enggak, pengen nyepi aja. Enak di sini udaranya, sejuk, kayak Purwokerto” jawabku singkat, sambil menggelengkan kepala. Mataku kembali memandangi Kastil Edinburgh yang gigantis di atas bukit itu. Angin musim gugur menciumi syalku, memainkan lagu rindu dalam hatiku. Eeggh, ini rasa paling aneh yang pernah kurasai, mendesak-desak dadaku sampai ngilu.
            “ Hayooo..mesti lagi kangen sama Arya ya? “ tebak Arinda, dan sayangnya tebakannya kali ini tepat.
Aku masih duduk diam mematung, kehabisan daya. Energiku habis untuk merindu. Tugas-tugas kuliah masterku masih belum kusentuh, rasanya otakku ngambek untuk berpikir. Ada paduan rasa resah, harapan yang membuncah serta realita yang tak kuasa kukendalikan. Eghh kemana hilangnya seorang Kinanthi yang selalu cerah ceria, berbinar binar, tertawa renyah, dan canda tawanya yang selalu dirindukan dunia itu? Hilang, ditelan rindu. Rindu yang ditelikung jarak dan waktu, aku tergugu kelu.
            “ Iya nih, aku jadi nggak jelas gini” jawabku singkat. Walau aku tak yakin kata “nggak jelas” bisa mewakili campur aduk rasa yang tengah melandaku kini.
Angin musim gugur berhembus lagi, menerbangkan daun-daun maple yang gugur, dan bersamaan itu aku berharap angin sanggup menerbangkanku untuk pulang sejenak saja. Menjumpai sebagian jiwaku yang terbelah. Menggenapkan diriku yang hilang separuh. Sudah hampir setengah tahun aku melewatkan waktu di Edinburgh, Skotlandia, tempat yang lebih mirip negeri dongeng itu. Kastil-kastil menjulang tinggi di perbukitan, serta langit yang nampak terbentang lebih luas dibandingkan tempat lain di muka bumi ini. Hidup bermil-mil jauhnya dari tanah kelahiran demi kuliah jurnalismeku di University of Edinburgh. Tapi, semakin lama energi mimpi yang membawaku kemari hampir surut habis. Kemana larinya dayaku? Fisikku melemah, sakit, ngilu, kehilangan daya juang, daya karya dan daya hidup.
*Bandara Soetta, 29 April 2010.
            “ Arya, kau tahu..ada beberapa hal dalam hidupku yang layak untuk kuperjuangkan, dan kau adalah salah satunya” sebaris kalimatku terlontar saat waktu terasa hanya menyisakan detiknya yang begitu sedikit bagi kami.
Ia diam, menatapku dalam-dalam, tak bicara. Dan aku sungguh tak dapat menerka apa yang ada dalam hatinya. Ruang, jarak, waktu, mungkin adalah hantu yang selama ini telah menakuti kami sebelum waktunya. Kami benci berpisah, kata yang beberapa bulan sebelum keberangkatanku ke negeri nan jauh itu membuat dadaku sesak. Aku benci pergi, tepatnya aku benci merasa kehilangan, kehilangannya.
            “ Kin..jaga kesehatan ya, salatnya jangan lupa, makannya harus teratur, istirahatnya juga ya,” katanya dengan suara parau. Kenapa suaranya mendadak menjadi parau? Aku ingin menguping apa yang dikatakan hatinya detik itu. Sebentuk rasa kehilangankah? Kenapa aku harus mempertanyakan itu. Apakah hatiku akan sedikit puas bila ia merasa kehilangan? Yang itu berarti bahwa aku berarti baginya?ah..aku egoistis, batinku.
Airmataku menderas, kenapa harus begini, lagi dan lagi. Kenapa aku yang harus terus membalikkan punggung dan meninggalkannya sambil menatapi punggungku sampai di penghujung pandangan matanya?tahukah engkau, hal itu adalah hal terbenci yang harus kulakukan.
            “ Kau kan pergi untuk sebuah alasan yang baik. Rihlah, talabul ngilmi..kenapa harus berat melepasmu pergi?” kalimat itu lamat-lamat kudengar di ujung telpon kala itu. Ia sama sekali tak merasa kehilangan bilaku pergi, yakinku dalam hati. Dan kenapa seperti ada yang tercerabut dalam hatiku. Sepi.
                                                                        ***
Edinburgh, Januari 2011,
            “Yen ing tawang ono lintang cah ayu, Aku ngenteni tekamu”
             Marang mego ing angkoso. Sung takon-ke pawartamu”
Suaranya berjuang  menyeberangi samudra, melintasi tanah-tanah yang jauh, menuju hatiku. Tak peduli suaranya dikacaukan dengan sendatnya jaringan internet, sejenak menghilang, terdengar lagi, dan dikacaukan suara desis angin. Tetap saja tembang yen ing tawang ono lintang-nya itu mengalirkan energi maha dahsyat bagiku.
Hingga tak sadar, mataku bertaburan kaca, sesak rasaku, dan sedetik kemudian air mataku menderas. Kenapa harus begini, dan begini lagi. Kenapa hadirnya, suaranya, ocehan yang tidak jelasnya itu selalu mampu menyembuhkan penyakit gilaku ini. Penyakit kecanduan energi, aih, sampai kapan harus ketergantungan terus padanya?
            Please..contact me at 5 pm waktu purwokerto, need to talk to you soon. Energiku hampir habis..911,” tulisku tadi siang dengan tangan sedikit gemetar di layar skype pada accountnya yang berstatus offline. Begitu, selalu dan selalu. Aku sakaw bila lama ia tak ada. Energiku low berkedip-kedip kayak ultraman kehabisan daya bila lama tak bersamanya. Walau bersama dalam kejauhan, karena batas makna kebersamaan semakin memuai karena teknologi.
             “ Heiii…kok diem, sudah mandi, Kinan?” tanyanya. Kenapa justru pertanyaan seperti itu yang ia lontarkan? Tapi kenapa juga pertanyaan remeh temehnya itu yang selalu kutunggu. Hatiku, otakku, kehilangan intelektualitasannya. Kuseka air mataku, dan menjawabnya.
            “ Dingin tau, mandi itu kan aktivitas fungsional, kulakukan sesuai fungsinya, membersihkan diri, bukan kewajiban mandi dua kali sehari ” kilahku. Uff cobain ke sini, emangnya dia sanggup menahan dingin ?fiuuh..
            “ Aku kan cuma nanya, sudah mandi belum?jawabannya kan sederhana sudah atau belum. Selesai, dan terjawab. Dan aku tau kau pasti belum mandi ehehe,” kudengar tawanya renyah, menyeberangi samudra, menyelusup dalam telinga dan menghangatkan hatiku. Tapi sampai kapan aku mengandalkannya untuk menstabilkan suasana hatiku? Ada yang tidak beres dengan diriku.
            “ Aku kecanduan, aku kecanduan akanmu. Aku tanpamu adalah pribadi yang hilang, yang separuh, kau membuatku nggak jelas” racauku. Nggak jelas, kata lain dari hampa, hilang daya dan karya tanpanya. Aku benci, mengatakan itu. Mungkin dengan kalimatku itu rasa kelelakiannya akan terbang meninggi sampai puncaknya. Menguasaiku, seperti penjara.
            “Masa kau samakan aku dengan narkoba, kecanduan..ehehe..ada-ada saja” guraunya. Risikoku, mencintai seorang yang begitu lugas, dan polos terkadang. Aku sedang mellow begini rupa, tak bisakah kau sedikit berdrama?. Seperti kisah cinta jarak jauh yang romantis, yang saling mengharapkan?
“ Aku lelah. Kini aku mengerti, aku lelah karena aku diracuni kata menuntut. Menuntutmu ada, tapi tiada. Menuntut aliran energi dari celotehmu, racauan tak jelasmu, tapi kadang aku harus berkompromi. Aku keracunan, aku kecanduan, eghhh…aku mau sembuh!” sambungku dengan nada yang semakin meninggi, meracau lagi.
            “ Kalau lelah dengan kuliahmu, jalan-jalanlah di akhir minggu, ke Glasgow barangkali. Kau kan punya banyak kenalan di sana. Kau mungkin penat dengan urusan kuliahmu, rehat sejenak, nanti juga baikan lagi. Oh ya jangan lupa, beliin kilt pesenanku loh ya” katanya datar, seakan tak terjadi apa apa denganku. Padahal aku hampir gila rasanya karena susah mendeskripsikan apa yang tengah melandaku.
“ Sudah dulu ya, hidung kecilku, jangan lupa mandi ya, maemnya kudu teratur, jangan kebanyakan ngopi, istirahatnya juga..eits, salat malamnya juga” katanya seperti kalimat itu sudah kuhapal di luar kepala. Kalimat itu rasanya sudah ratusan kali kudengar, tapi entah kenapa, ingin kudengar lagi..dan lagi. Bliip..sambungan skype terputus. Aku tercenung. Kenapa selalu ada yang hilang saat ia pergi?

                                                            ***
Angkringan Jalan Kampus, Purwokerto, 7 Agustus 2011
Terkadang tanah air adalah segala tentang keistimewaan. Istimewanya bisa duduk lesehan di pinggir jalan, memesan secangkir kopi panas dan mendoan hangat. Merasakan lagi hiruk pikuk kota yang sebenarnya tak terlalu padat ini, teriakan bahasa ngapak-ngapak yang khas dan canda tawa yang polos penuh keterusterangan. Bagaimana aku tak merinduinya. Dan yang membuat tanah air lebih istimewa, karena bisa kupandangi lagi si lelaki yang ngapak tulen ini,
            “ Arya, aku sadar satu hal, aku takkan pernah bisa memperjuangkanmu, sendirian” ungkapku pelan-pelan.
            “ Maksudmu, kau ingin kita…putus?Kinan..maksudmu kepriwe?…dulu kau berkata kau akan memperjuangkanku?dan kini kau berubah?” kalimatnya memburu. Aku memberikan jeda, supaya kalimat yang keluar dapat tercerna.
            “Bukan..aku hanya menyadari satu hal, aku takkan pernah bisa memperjuangkanmu, sendirian” kataku hati-hati, tahu pasti kalau lelaki bertipe lugas ini selalu mencerna kalimatku dengan begitu polosnya.
            “Atas dasar kekuatan apa aku bisa memperjuangkanmu? Dengan cara apa? Aku kini sadar takkan bisa” kalimatku menggantung di udara. Kudengar ia mendesah, menanti kalimatku selanjutnya.
            “ Bayangkan bila aku menelponmu, bila aku mengirimkan email padamu bercerita sampai berbusa-busa, menyapamu di YM tiap kali aku online. Pernahkah terpikir olehmu, apa jadinya bila kau tak ingin menjawab telponku dan beralasan kau sedang sibuk, tak menjawab email-emailku dan tak menjawab chat-ku di YM atau skype?perjuangan macam apa yang bisa kulakukan?nggak ada” jelasku panjang lebar. Selama ini cinta selalu diikatkan dengan keabadian, diharuskan selamanya tak berubah, padahal cinta terus bergerak, selalu baru. Dan di samping seringnya cinta menjadi hiperlogika dan semaunya sendiri, ternyata ia tetap membutuhkan suatu mekanisme untuk tetap bertahan.
            “ Lalu apa maksudmu Kin?” tanyanya lugu.
            “Hubungan hanya bisa berjalan bila ada kesediaan untuk terus terhubung di antara dua orang. Selama ini aku bersedia, dan kau bersedia, sebegitu sederhana mekanismenya. Kenapa aku baru menyadarinya. Aku terlalu merasa adikuasa untuk bisa mempertahankan cinta kita” aku merasa baru saja menjelaskan sebuah teori penemuan besar tentang sebuah hubungan. Menurutku sebuah penemuan teori yang luar biasa, tapi runtuh seketika ketika mendengarnya bicara,
            “ Hadeeeh..selama ini kan aku bersedia, kenapa sih kamu? Aku kan selalu bisa kalau kau mau bercerita lewat skype, bisa chat di YM walau kadang-kadang jarang bisa online kalau aku lagi  sibuk. Kan kamu ngerti banget jadwal kerjaanku. Koe kok dadi aneh. Jauh dan dekat kan hanya soal relativitas, kayak teori rumitmu itu. Semuanya kembali ke rasa, seperti katamu juga. Hadeeeh aku ketularan bahasamu yang rumit itu” kelakarnya.
            “ Eghhh…ngerti nggak sih maksudku?nyebelin” aku gusar. Lebih tepatnya, gemas.
            “ Ehehe iya ngerti, hidung kecilku” katanya singkat. Ufff, nggak romantis banget sih dia. Susah diajak ngomong serius, tapi begitulah, entah mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang membuat segalanya bisa terkompromikan.
            “ Kinan..dengar baik-baik, karena takkan kuulangi lagi. Hatiku hilang separuh saat kutatapi punggungmu pergi sampai menghilang di bandara kala itu. Kehilangan, mungkin itu yang kau sebut. Tak bisa melihat senyum merekahmu yang mencerahkan hariku, tawa renyahmu yang mampu menghilangkan penatku, tak bisa berbagi kapanpun kumau. Aku, terkadang tak yakin akan mampu mengalahkan jarak, waktu dan ruang. Aku lelah, kehilangan energi.” Wait..Itu kalimatnya?benarkah itu dia yang bicara? Lelaki pragmatis itu?
            “ Rupanya kita masih separuh yang bersama untuk menjadi utuh. Kita masing-masing merasa hilang bila kehilangan satu sama lainnya.” Lanjutnya lagi. Aku melongo, masih tak percaya mendengar kalimatnya.
            “ Itu kau? Benar kau yang ngomong, nyontek kalimat darimana? “ candaku. Sebenarnya beneran bertanya dengan penuh penasaran. Hadehh..tadi aku mengharapkan dia beraksi demikian, kenapa aku merusak drama ini dengan komentarku.
            “ Inyong laaaah sing ngomong, masa selama ini bersamamu tak mampu menciptakan kalimat sing mandan ruwet sepertimu ehehe” tawanya semakin terasa hangat di hatiku.
            “ Kita masih menjadi dua huruf C, yang mencari keutuhan dengan bergabung menjadi menjadi lingkaran O yang utuh. Karena itu kita habis daya, menuntut dan selalu takut kehilangan bila terpisah. Jiwaku merasa makin tak sehat” simpulku.
            “ Omongan kita keren yak? Filosofis ehehe” candanya selalu merusak suasana. Eghhh…baru saja mau ngomong rada serius, dia mulai lagi dengan tingkah asalnya. Aku tertawa tergelak.
            “ Jiah..ampun deh, biasa aja kali, ngomong ruwet nggak jelas. Tapi aku ingin  menjadi huruf O utuh untukmu. Eh..untuk diriku sendiri terutama. Kata buku yang kubaca…Kita harus “penuh” dulu sebelum bisa “memenuhi” orang lain. Cinta bukanlah dependensi, melainkan keutuhan yang dibagi. Aku menimpalinya.
            “ Kau kebanyakan baca buku nggak jelas. Tapi okelah..kalo begitu huruf O-ku harus lebih besar dari huruf O punyamu ehehe,” kelakarnya. Kupaham benar maknanya, kalimat itu bukan untuk menantang, atau memantik sebuah ketidaksepahaman. Hanya untuk memancingku untuk protes, menentangnya, meributinya. Dia yang selalu suka protesku, penentangan “pura-pura”ku dan keributan manis di antara kami.
            “ Mari kita rayakan, dua huruf O yang pacaran, yang utuh bukan separuh.” ungkapnya lugas dan tandas. Mengangkat segelas jahe susu dan mengajak toast denganku. Aku tersenyum, lega.
Di lesehan angkringan itu, kami menemukan cinta di antara dua huruf O. Karena kami mencoba menjadi dua pribadi yang utuh yang saling mempertinggi energi masing-masing kami, bukan sebentuk dependensi.

*kilt  : rok tartan asli Skotlandia
 

Previous Post
Next Post

9 komentar:

  1. arghhhh nyesel saya buka bloge pagi2...baca ini jadi galauuuu.. keren :)

    BalasHapus
  2. jiakakaka katanya udah sembuh itu galau2 ;p
    *iyah, pas kubaca lagi ternyata keren yak #narsis habiiis :D

    BalasHapus
  3. iya, keren pake banget. saya udah jarang bikin cerpen. lebih sering bikin essai dan cerpen anak yg terbit setiap bulan di majalah Adzkia Indonesia #curhat

    BalasHapus
  4. wih mantap, lanjutkan!! saya sekarang lebih sering bikin tulisan asal. asal keren! #ditimpuk

    BalasHapus
  5. kesamaan nama hanyalah fiktif belaka, bukan mbak? ;)

    BalasHapus
  6. jiaaahahaha tenang, itu fiktif banget lah wid, kan aku udah ijin sama kamu buat nyatut nama suamimu itu. Habisnya pas itu no idea buat nama tokoh laki-lakinya hihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. seharusnya nama saya yang jadi tokoh prianya wkwk

      Hapus
  7. hoaaamm...mana ada tokoh jawa ngapak dikasih nama Arian..;p

    BalasHapus
  8. haha baiklah... ditunggu cerpen2 selanjutnya :)

    BalasHapus