Selasa, 23 April 2013

Menjajal Menu The House of Raminten Yogyakarta


Saya dan pisang bakar strawberry..yahuiii

Bu, ketemu jam 1 siang ya di Raminten” begitu bbm anak saya, si ica. Sudah dari jam 3 pagi dalam perjalanan pulang saya dari Malang si Ica itu sudah menanyakan jadi enggak mau ketemuan ehehe. Anak itu seperti sudah kebelet banget curhat sama simboknya ini. Dia bersama tiga orang temannya jalan-jalan ke Jogya dari Jakarta dan dia menyempatkan untuk ketemu dengan saya. Dan pas Ica menyebut Raminten, saya pun mengajak Mba Rahmi untuk ikut serta. Sudah lama saya pengen mencobai makan di Raminten karena mendengar rekomendasi dari beberapa kawan yang pernah berkunjung ke sana.
The house of Raminten ini terletak di Jalan FM Noto Kotabaru Yogyakarta, didirikan oleh Hamzah HS, dan nama Raminten itu diambil dari nama peran yang diperankan oleh Hamzah di Sitkom Jogya TV. Konsep “Unique, Antique and Elegant” dicoba diusung sebagai trademark The House of Raminten ini. 

Ini dia pesanan tahap pertamaaa...tadaaaaa,,,
Begitu masuk Raminten, aura tradisional memang terpancar kental. Alunan gending jawa, harum wangi dupa dan pelayan-pelayan dengan mengenakan pakaian tradisional jawa. Sedangkan pelayan perempuannya memakai kemben.
            “ Mas tu hobi ke Raminten soalnya pelayannya pake kemben” kata sahabat saya pada pacarnya saat kami berkumpul bersama-sama. Lalu kami tertawa bersama sama waktu itu.
Nah, kali ini kulihat sendiri pelayan perempuannya pakai kemben. Wui seksi dong? Ah enggak juga. Kembennya masih nggak horor, dan juga kesan dan definisi seksi bagi saya mungkin jauh dengan anggapan orang kebanyakan.
            Nah untuk makanan dan minumannya juga bervariasi dan yang penting itu harganya standar kantong deh. Saya memesan es carica, mendoan, pisang strawberry, sate telur, sate rempela ati..eits saya doyan makan amat! Untuk soal rasa, untuk minumannya lumayan di atas rata-rata enaknya. Artinya memang variasi menu minumannya dibilang yahud, porsinya juga large, sementara harganya standar. Pokoknya untuk menu minumannya jempolan deh. Untuk rasa makanannya saya nilai standar saja, artinya memang tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan tempat lainnya. Tapi ada menu-menu unik yang mungkin kalian penasaran untuk mencoba seperti Ayam Koteka (nah lho kayak apa bentuknya?), Es Melankolis, Wedang gajah ndekem, Cunduk Raminten dan masih banyak lagi yang unik-unik.

Pilihan Menunya...Monggo dipilih

Tempat ini memang cocok untuk kongkow ngobrol lama-lama sambil makan dan minum. Tempatnya lumayan nyaman, ada berbagi pilihan tempat yang disediakan, termasuk di tingkat dengan hawa yang lebih segar. Kalian bisa lesehan dengan tatami khas tikar jepang, atau duduk dengan kursi. tKalian tinggal pilih dimana yang nyaman untuk kongkow bersama teman-teman.

With Mba Rahmi

Nah siang itu, kongkow bersama si ica diisi dengan cerita panjang lebar ica yang sudah lama ingin diluncurkan. Begitu pesan makanan, langsung deh cus cerita berhamburan darinya. Dan seperti biasa ritualpun berulang. Harusnya saya pasang tarif yah per sesi konsultasi ahahaha #kidding. Saya memang menikmati tiap orang-orang berbagi ceritanya pada saya. Satu hal yang saya pelajari, bahwa terkadang orang itu hanya butuh didengarkan. Bagaimana diri kita sepenuhnya “ada” untuk mendengarkan orang yang sedang bersama kita. Kadang orang ada tapi sebenarnya sebagian dirinya pergi kemana-mana. Tidakkah familiar di penglihatanmu, bila ada orang yang sedang bersama tapi salah satunya sibuk berulang kali dengan gadjetnya? atau pandangannya terlalu sering mengarah pada arah lain. Dia ada di situ, tapi seutuhnya dia tidak benar-benar ada di situ. Saya belajar bagaimana mendengarkan dengan baik, dengan sepenuh-penuhnya ada bersama orang yang bersama saya. Pandang matanya saat bicara, perhatikan mereka, seakan kita di situ memang benar-benar untuknya. Sebetulnya diri kita juga sangat peka dan merasa, apakah orang yang kita ajak bicara sungguh-sungguh mendengarkan kita atau hanya selintas dengar saja.
Saya masih ingat, sahabat saya Ustadz Arian yang menemui saya di kantor untuk membicarakan acara Launching bukunya, sempat sok protes saat saya mengalihkan perhatian dan beberapa kali membalas whataps di ponsel saya.
            “ Aih Gue dicuekin nih” katanya setengah protes walaupun saya tahu dengan nada bercanda.  Ahaha, ampun deh padahal cuma sesekali saja whataps-an denganmu kala itu #ups.
Begitulah, orang lain akan peka dan merasa kehadiran kita dengan sepenuh kesadaran untuk “ada “ atau tidak. Kemudian selain mendengarkan dengan baik juga saya menghindari untuk melakukan “penghakiman” pada orang curhat pada saya. Kadang kita secara bawah sadar akan segera melontarkan penghakiman ataupun pendapat-pendapat menurut “kacamata” kita dengan nada yang berkesan ofensif.
            “ Kamu nggak bisa dong kayak gitu terus, harusnya kan...bla..bla...”
            “ Stop deh bertindak kayak gitu, apa kamu nggak mikirin diri kamu sendiri bla bla..”
Menurut saya, sebagus apapun, sebenar apapun saran kamu, orang yang kamu ajak bicara lebih cenderung menganggap pendapat atau saranmu sebagai bentuk ofensif yang menyerangnya. Alih-alih akan mendengarkan saranmu, justru orang itu akan cenderung defensif. Dia akan mundur pelan-pelan, dan saya ragu apakah orang itu akan berbagi cerita lagi denganmu. Inilah bagi saya unik dan menariknya seni berkomunikasi sekaligus seni “rasa” berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja saya masih tahap belajaran. Mungkin itulah kenapa sejak kuliah dulu, di antara bala kurawa saya, saya dipanggil “simbah” oleh mereka walaupun saya umurnya paling muda. Dan sekarang saya menikmati dipanggil “Bue”, “Ibu”, “Kak”, “Mba”.
            “ Nggih, Bue” sebut seorang ex-mahasiswa saya yang sekarang bekerja di Kalimantan. Saya sering senyum-senyum membacanya.
Tapi biar kamu saja yang memanggil saya “adek’ #eaah lost focus!

With Ica
Kini saya sering terkaget-kaget dengan curhatan orang-orang yang beraneka macam. Mulai dari yang ABG, Mahasiswa, yang beranjak dewasa, yang sudah menikah, yang punya anak, yang punya mertua unik, yang mau bercerai, yang broken home, dll. Orang bercerita pada kita, karena hanya dengan benar-benar didengarkan saja, bebannya akan berkurang. Orang kadang tak meminta penyelesaian, cukupkan saja pendapat-pendapat kita bila memang diminta. Interaksi saya dengan mereka semua itu semakin meyakinkan saya bahwa kita tak berhak untuk menghakimi siapapun, karena kadang kita tidak tahu cerita di balik si individu tersebut. Kita tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Jadi siapalah kita yang serta merta menghakimi seseorang?
            “ Bu, kayaknya banyak banget ya yang curhat sama ibu. Lah trus ibu nampung sebanyak itu trus curhatnya sama siapa?” iseng si Ica nanya begitu. Ahaha saya cukup menjawabnya dengan seulas senyum saja.
Sore itu, diiringi hujan di sudut Jogya saya menikmati kebersamaan saya dengan cerita-cerita orang dekat saya. Dan bersyukur mereka hadir dalam hidup saya, dan mau berbagi cerita. Sekitar pukul 4 ica dijemput lagi oleh temannya untuk segera ke Stasiun Tugu menuju Jakarta.
Dan usailah acara temu kangen di Raminten sore itu. Tempat yang lumayan asik untuk kongkow, minum makan dan berbagi cerita.
Di depan The House of Raminten

Semoga hidup kalian semua kaya oleh kasih orang-orang terdekatmu.
Salam kasih.
 




Previous Post
Next Post

9 komentar:

  1. Aku udah hampir 5 tahun di Jogja belum pernah ke Raminten.. Padahal udah pengen dari dulu. Tapi selalu ada saja alasan buat batal ke sana. huhuhuhu..

    Dini,
    http://handiniaudita.blogspot.com

    BalasHapus
  2. hiyaaah ayok cobain din..asal sebelum tgl 3 Mei, daku siap menemani hihi. Pengen nyobain menu lainnya haha :)

    BalasHapus
  3. Kayaknya asik juga jajal yang di Kaliurang jo, itu lebih sering muncul di media

    BalasHapus
  4. ayooh kalo mau kesana hihihi ;p;p

    BalasHapus
  5. ..
    walah itu mejanya yg deket kandang kuda..
    bau pub kuda gak..? hehehe...
    ..
    soal rasa makanan tergantung selera, tapi untuk lidah saya masakannya kurang mantab..
    ..
    coba deh ke raminten malam, suasananya lebih oke..
    ..

    BalasHapus
  6. @septa : ehehe nggak deket2 banget kali. aku juga sempet liat kudanya. iya memang, makanannya seperti kubilang, standar. aku aja bilang standar, apalagi chef kayak kamu ehehe..
    Humm. udah detik2 terakhir di jogya nih..mudah2an bisa kesana pas malem :)

    BalasHapus
  7. uhuk...ada nama saya disebut2, pantesan seminggu terakhir sering keselek kalo makan (ini bohong) wkwkwk

    BalasHapus