Minggu, 13 Maret 2016

When "They" Don't Want You To Grow





Hari ini saya membaca kembali “Feel Fear and Do it Anyway”-nya Susan Jeffers, dan menemukan bab yang cocok dengan apa sedang saya alami. Ketika membaca bab “When They don’t want you to grow”, rasanya pas banget dengan apa yang tengah saya hadapi. Awal-awal kepulangan saya dari Glasgow, saya agak merasa aneh, ketika menemukan saya yang berasa nggak “pas” di lingkungan saya yang lama. Ada sesuatu yang tidak sefrekuensi. Iya, saya banyak berubah. Dan mungkin orang-orang sekeliling saya tidak siap menerima perubahan saya atau secara bawah sadar mereka bersikap “don’t want me to grow”.

Kenapa yah, kok saya tidak sefrekuensi lagi dengan sahabat-sahabat lama saya yang sudah bertahun-tahun bersahabat.
Itu yang pernah saya rasakan. Tadinya muncul rasa bersalah, ketika saya tidak seantusiasme dulu untuk bertemu, atau saya menjadi sangat pemilih untuk berbagi cerita, atau saya merasa percakapan hanya sekedar basa basi menyambung silaturahmi. Selain ada rasa bersalah, ada pula muncul rasa sedih.
Persahabatan seperti juga jenis hubungan yang lainnya, membutuhkan upaya dua pihak untuk terus berjalan dan bertahan. Tapi lama kelamaan kenapa saya mengontak mereka ataupun membalas kontak mereka hanya karena ingin tetap menjalin silaturahmi.
Disitulah, saya merasa bersalah. Tapi saya juga tidak bisa membohongi perasaan saya bahwa saya membutuhkan persahabatan yang..ah, saya sampai tak sampai hati untuk mengatakan “yang lebih dari sekedar itu”.
Saya membutuhkan percakapan yang sehat, yang suportif, positif dan sefrekuensi.

Dan kini saya memang menemukan sahabat-sahabat baru, yang saya jumpai dalam perlintasan-perlintasan hidup saya. Dan saya merasa nyaman bicara dengan sahabat baru saya, merasa sefrekuensi dan menemukan partner bicara yang pas.
Dan disitulah kadang-kadang saya merasa seperti “meninggalkan” sahabat-sahabat lama saya.  Di situlah rasa bersalah itu kadang muncul.

“ The people in your life is good indicator of where you are operating on an emotional level. Like attract like. As you begin to change, you will automatically draw and be drawn to different kind of person” (Susan Jeffers)

Tapi memang begitulah ternyata, seiring pertumbuhan diri, orang-orang yang bersama kita juga berbeda. Saya tetap berusaha untuk bersilaturahmi dan kontak dengan sahabat-sahabat lama saya, tapi saya tidak mengelak bahwa perubahan memang ada.
Semakin lama saya menyadari, kita nggak butuh punya banyak teman kok. Pada akhirnya kita hanya butuh beberapa orang terdekat yang menjadi support system kita, yang suportif pada pertumbuhan dan perkembangan kita.

Begitu pula di lingkungan-lingkungan yang lain, saya banyak menarik diri ketika kebanyakan mereka adalah “Moan and Groan Society”. Pernah nggak sih memperhatikan pembicaraan-pembicaaran di sekitarmu kebanyakan isinya apa? ngeluh, nggosipin orang, dan pembicaraan beraura negatif lainnya. Males kan. Stop feeding yourself negative thought!

Aura negatif itu menular, semacam polusi pikiran. Yang lebih berbahaya lagi, kalau lama-lama bisa ketularan untuk ikutan ngobrolin hal-hal yang negatif. Itulah kenapa disebut Moan and Groan Society, karena mereka menemukan“saling” yang pas. Dengan alasan itulah, saya menjadi selektif. Bukan saya sok pilih-pilih atau apalah, tapi saya merasa nggak “pas”  di antara mereka-mereka. Ujian saya yang masih sangat pemula soal belajar positive life ini menjadi sangat berat kalau sering-sering berada di lingkungan yang negatif hihi.

Saya tengah belajar untuk tetap mengusahakan positive thought-positive life dan  salah satu yang penting adalah bagaimana menjaga agar lingkungan sekitar pun positif. Kadang-kadang hal ini membutuhkan upaya yang ekstra, apalagi ketika ketika aura negatif itu berasal dari orang-orang yang di sekitar kita.
Nggak mudah memang. Dikira sombong, adalah reaksi yang sering kali didapat. Dan disitulah saya harus banyak lagi belajar bersikap, bagaimana tetap mengupayakan lingkungan yang positif dan tetap mempunyai relasi yang baik dengan berbagai komunitas.

Apa yang lebih penting adalah “awareness”-kesadaran bahwa saya-kita sedang belajar. Kadang-kadang hidup dengan segala rutinitas, kesibukan, crowdednya orang-orang di sekitar kita membuat kita terlupa. Upaya untuk tetap positif adalah latihan terus sepanjang hidup, kalau tidak dilatih lama-lama pendulum juga akan bergeser ke arah yang negatif. Kehidupan yang berjalan bisa membuat kita lupa. Karena itulah, membaca lagi buku-buku yang mengingatkan saya kembali tentang pertumbuhan diri, tentang seperti apa sih hidup yang saya inginkan, sangat membantu saya untuk menemukan “awareness” itu lagi.

Kita sering lupa bahwa kita mempunyai kemampuan untuk memilih seperti apa hidup, orang-orang dekat kita, lingkungan seperti apa yang menghiasi kehidupan kita.
Uhmm..lupa atau tak punya keberanian untuk memilih?
Saya tinggalkan pertanyaan ini untuk anda.         

Purwokerto, 13 Maret 2016. Sehabis hujan.
 

Kamis, 10 Maret 2016

Secangkir Kopi dan Hari ini





Halo, lama tidak mengunjungi rumah ini. Hidup masih terasa belum begitu tertata sejak kepulangan saya dari Glasgow, walaupun sekarang ini sudah lumayan settle. Hidup banyak sekali berubah, ada banyak kehilangan-kehilangan. Perubahan selalu saja membawa banyak hal yang tidak nyaman, tapi mungkin dengan peristiwa-peristiwa itulah jiwa terus bertumbuh, semoga. Rupanya PR yang dulu saya prediksi akan muncul, terjadi juga.
Perasaan “I wish...I still in Glasgow bla bla blaa...sering kali muncul, terutama ketika menghadapi banyak hal yang kurang mengenakkan. Ahaha adaptasi itu pahit, jenderaaal!!
Membutuhkan usaha yang ekstra untuk kembali lagi mengingatkan diri sendiri, untuk belajar menerima apapun, belajar mensyukuri..aih, susah ketika bicara dalam tatanan praktik yah. Terus belajar dan teruuuus belajar.

Ah iya, hari ini saya ulang tahun. Bertambah lagi usia, semoga bertambah lagi kemauan untuk belajar hidup.
Kadang ketika memandang kehidupan ke belakang, rasanya waktu berjalan begitu cepat. Namun adakalanya juga, merasa telah banyak sekali lika liku yang mewarnai perjalanan. Saya juga banyak sekali berubah. Dan orang-orang di sekeliling saya juga berubah. Atau saya yang berubah sehingga melihat semuanya terasa berbeda? Entahlah.
            “Kita yang berubah, dan mungkin orang-orang sekeliling kita tidak siap melihat kita yang berubah. Atau kita yang tidak siap untuk menerima bahwa kita tidak lagi “cocok” dengan sekeliling,” kata seorang sahabat dalam perbincangan ketika saya menginap di rumahnya di Jakarta bulan lalu.
Dia yang bahkan sudah lebih dari 1 tahun pulang dari Glasgow, masih saja merasakan hal yang demikian, padahal dia cuma studi satu tahun saja di Glasgow.
            “Pada akhirnya, aku kebanyakan menarik diri, sendirian. Rasanya lebih tenang.” Terusnya lagi.

Sebenarnya hal yang hampir sama juga terjadi dalam hidup saya. Akhir akhir ini semakin merasa lebih nyaman sendirian, dan berkomunikasi dengan orang-orang tertentu saja. Orang orang terdekat saja. Rasanya energinya sudah  males untuk dihabiskan untuk terlibat dalam sosialisasi yang tidak penting, dalam pembicaraan-pembicaraan yang tidak penting, ataupun energi-energi negatif yang menggerogoti energi positif hidup. I don’t interested anymore. Kecuali, saya memang memilih untuk “memaksakan” untuk terlibat di dalam beberapa komunitas yang tetap saya hadir karena alasan-alasan tertentu. Di situlah, saya memang memilih dimana saya ingin tetap terlibat, dimana saya memilih untuk menarik diri.

Saya juga banyak menarik diri dari hingar bingar “publik”. Sebenarnya sudah cukup lama, saya sudah tidak “sevokal” dulu lagi ketika saya aktif di sosmed. Dulu, saya “muda” masih terobsesi untuk menginspirasi banyak orang. Sekarang, sudah tidak terlalu lagi. Dulu, saya berusaha untuk “tampil” ataupun mencitrakan diri yang penuh semangat, positif, pengejar mimpi, penantang takdir. Pencitraan? Haha semua orang juga pasti mencitrakan dirinya kan?. Berhasil? Saya rasa demikian.*ahaha ampuuun sombong!

Tapi dulu saya masih berada dalam tataran “teori”. Saya bicara lantang soal positivisme, ketika belum merasakan bagaimana harus bergulat dengan energi energi negatif yang begitu dahsyat membombardir diri. Saya bicara tentang kebahagian, ketika belum tahu rasanya hidup dibolak balikkan dalam waktu singkat sedemikian rupa, ketika bahkan sampai perlu alasan untuk melanjutkan hidup. Saya bicara soal hal hal yang menginspirasi, ketika hidup hanya berfokus pada impian-impian, saya belum tahu rasanya ketika mimpi mimpi itu benar benar mati.  

Tahun tahun belakangan sebenarnya saya banyak bergulat dalam praktik-praktik berlatih. Ada banyak hal-hal sulit yang harus dilewati. Mungkin itulah ada banyak perubahan pula yang terjadi dalam diri saya. Saya kini tidak lagi terobsesi untuk menginspirasi banyak orang. Aih siapalah saya? Bukan siapa-siapa. Lebih baik berfokus pada tindakan-tindakan nyata dan karya.

Saya juga nggak tertarik lagi to impress others. Makin terasa semakin ke sini, makin  nggak tertarik untuk berusaha demikian. Apalagi di tengah orang-orang yang kian sibuk berupaya to impress others. Rasanya dimana-mana orang sibuk ingin terlihat kaya, terlihat keren, terlihat pintar, terlihat sempurna, dan terakhir..terlihat bahagia.
Oiya, sekarang ini orang-orang juga punya kebutuhan untuk terlihat “paling benar”. Lihat kan perang argumen di sosmed?  
Saya pikir ada dorongan keinginan yang luar biasa besar sehingga membuat orang-orang ingin terlihat demikian. Saya juga pernah ingin terlihat demikian. Paling tidak, saya pernah ingin terlihat bahagia.

Pernah kamu ingin “mengkomunikasikan” atau menunjukkan pada dunia bahwa kamu bahagia? Orang beda-beda caranya. Ada yang menunjukkan dengan foto foto selfie yang penuh senyum, ada yang  menunjukkan foto foto keluarga bahagia, bersama pasangannya yang mesra bahagia. Atau dengan sahabat-sahabat dengan selalu membersamai. Atau dengan status status yang dituliskan, ataupun dengan segala pencapaiannya. Salahkah? Nggak juga. Mending sih menurut saya, at least masih positif, daripada membanjiri timeline dengan keluh kesah, share berita negatif, hoax, atau adu argumen...errrrr,

Iya, saya pernah ingin terlihat bahagia. Terutama ketika saya merasa bahagia, namun kebahagiaan versi saya mungkin berbeda dengan “nilai/cara bahagia orang-orang”, kemudian saya berupaya untuk menunjukkan bahwa saya bahagia dengan nilai/cara saya sendiri.
Kenapa orang menjadi candu untuk menunjukkan dirinya menjadi orang yang keren, kaya, pintar, menginspirasi, bahagia..ataupun apalah yang penting bagi setiap masing-masing orang? Because it’s feels good ketika orang lain kagum, memuji atau mungkin ada orang yang puas ketika membuat orang lain iri.
Tapi dalam perjalanan, semakin lama saya berjalan..saya sampai pada titik pertanyaan, pentingkah dan perlukah berupaya untuk terlihat bahagia?
            “Belum komplit lho gelarnya, belum jadi nyonya”—owh jadi menikah untuk semacam pencapaian ya?
            “ Ya masih kurang lah, ayo biar lengkap, cepetan nikah biar bahagia”---owh jadi menikah itu sumber kebahagiaan ya? Owh berbahaya sekali pemikiran tersebut.

Semakin lama saya menyadari, nggak penting dan nggak perlu lagi untuk menunjukkan pada orang lain bahwa saya bahagia dengan menerima apa yang ada pada saya and make the best of it.
Satu satunya yang perlu saya yakinkan, adalah diri saya sendiri.

Tapi nggak nyalahin orang lain juga sih, saya aja pernah kok “membandingkan kebahagiaan” versi saya. Ketika saya merasa bahagia bersama pasangan, saya pernah kok membandingkan kebahagiaan saya saat saya masih sendirian dulu. Kayaknya nggak banding banget haha. Saya merasa jauuuhh merasa bahagia, dibandingkan saat “dulu saya merasa bahagia banget ketika nonton bola trus MU menang”, atau saat keterima beasiswa, atau saat jalan bareng temen-temen kos”. Padahal, ya sama sama bahagia, hanya saja bahagia yang berbeda.
Mungkin sama aja kayak orang menikah, trus menganggap orang yang belum menikah itu belum bahagia.
Kayak orang udah punya anak, trus menganggap orang yang belum punya anak belum bahagia.
Daaaan lain-lain sebagainya...

Dari situ, saya semakin menyadari bahwa kebutuhan saya untuk “dianggap bahagia” atau kebutuhan saya “to impress others”  menjadi semakin mengecil. Menghabiskan energi, dan tidak perlu.

Selamat ulang tahun, semoga terus bisa meyakinkan diri sendiri bahwa saya bahagia dengan apa yang telah ada dalam hidup saya. Saya tahu Tuhan selalu memberikan berkecukupan dalam hidup saya, bahkan keberlimpahan. Terimakasih.

Bersama secangkir kopi dan waktu yang masih diberikan hingga hari ini.

Salam,
10 Maret 2016.