Kamis, 10 Juli 2008

Parpol Berebut Nomor Cantik


Setelah lama dicekoki sajian televisi berbau italiano yang cas cis cus kadang-kadang nggak ngerti (tapi lumayanlah untuk melatih kebiasaan pendengaranku ;)), kini setelah beberapa hari menginjakkan lagi kaki di tanah air, mulai lagi menyaksikan guyonan politik dan berita-berita kondisi negara yang masih saja morat marit. Mulai dari kondisi perkampungan untuk atlit PON yang sangat memprihatinkan sampai dengan berita tentang pengundian nomor urut parpol untuk pemilu 2009 mendatang. Nah, ini lumayan menarik perhatianku. Aku bukan termasuk orang yang maniak dan percaya berlebihan terhadap angka, cuma tetap saja ada angka-angka tertentu yang nyantol untuk dijadikan nomor HP, nomor kamar, dan nomor-nomor yang lain. Tercatat ada beberapa nomor penting seperti nomor 7, 10 dan 22 yang maaf-maaf saja alasannya bukan karena nomor ini ada tuah dibaliknya, namun memang ada alasan yang sarat aroma irasional hehe… (karena nomor itu terpampang di punggung orang-orang yang selalu kunanti untuk berlaga setiap minggunya hehe).

Drama pengundian nomor urut parpolpun ternyata memang budaya Indonesia dimana mereka berebut nomor cantik demi tujuan meraup suara. Nomor cantik dianggap mudah diingat oleh masyarakat, ataupun nomor urut menentukan tata letak dalam kertas suara yang memungkinkan lebih feasible untuk dilihat oleh pemilih. Sedemikian niatnya, hingga dari kubu PKB yang diwakili Yenny wahid dan Muhaimin Iskandar berebut nomor dengan mengambil 2 nomor (walah mbok yo, jangan serakah to), dan alhasil nomor yang akhirnya yang didapat adalah nomor 13, ups angka sial, demikian banyak kepercayaan orang.

Sial betul nomor 13 ini hingga banyak orang begitu menghindarinya. Sementara di Italia, banyak orang yang mempercayai bahwa angka sialnya adalah angka 17.

Namun sebenarnya, akankah para pemilih pada pemilu yang akan datang hanya akan mengingat nomor cantik tanpa memperhatikan sepak terjang parpol yang akan dicoblosnya?. Para pemilih di Indonesia memang terdiri dari beberapa strata, salah satunya adalah traditional voter yang biasanya adalah golongan masyarakat biasa yang tidak terlalu mementingkan urusan politik (nek mbiyen noblos iki ya sesuk noblos iki maneh), ataupun voter yang hanya ikut-ikutan yang lain saja. Mereka beranggapan lha wong mikirin urusan perut saja belum beres apalagi repot-repot mikirin politik yang nantinya hanya ”menghidupi”orang-orang penting itu saja. Ironi. Adanya keacuhan politik yang menggejala di masyarakat terus saja ada. Namun justru keadaan seperti ini menguntungkan sejumlah partai besar yang telah berlumut di kertas suara dari beberapa periode PEMILU bertahun-tahun lalu, dan semakin sulit bagi partai baru untuk meraup suara.

Semoga saja para pemilih kita sudah semakin melek politik, dengan benar-benar menimbang partai apa yang mampu memberikan harapan bagi perbaikan kondisi bangsa (ada gitu??waduh...itulah masalahnya!). Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan dan semakin cepatnya arus informasi, diharapkan tingkat pandangan politik, sosial dan budaya masyarakat Indonesia semakin membaik. Ya iya, kalo tidak begitu, mau sampai kapan Indonesia menjadi bangsa kelas ecek-ecek yang selalu dipandang sebelah mata??

Previous Post
Next Post

0 Comments: