-- As Human, we continually put limits on ourselves for no reason at all
What's worse is putting limits on God who can do all things--
Kalimat itu menyentilku saat chat dengan V, sahabatku yang kini tengah bermukim di Singapura. Ia segera memintaku menilik kalimat dia atas. “walah tumben bijaksana tu anak hehe”, pikirku. Maklum biasanya kami berchat ngalor ngidul dari hal remeh temeh sampe yang hal yang nggak penting hehe (lha sami mawon!hehe). Tapi ritual chat dengannya entah mengapa selalu bisa membuat energiku bertambah, mungkin karena kebanyakan ketawa ketiwi, terkekeh hingga sangup menepikan sejenak dari jenuhnya rutinitas hidup. Sekali lagi hukum relativitas berlaku, walaupun nun jauh di sana..serasa dia ada di Gombong hehe. Kutipan kalimat di atas ditunjukkannya padaku saat kami tengah ngobrol tentang impian masing-masing.
“aku nggak yakin, menulis kayak gitu butuh pengalaman” kalimatku muncul di layar kala itu.
“yah, bagaimana kamu bisa menghasilkan karya yang bagus kalo kamu sendiri nggak yakin” katanya dan pada akhirnya mengutip kalimat di atas untuk menegaskan kata-katanya.
Yup, aku sadar dia benar.
Selama ini, aku selalu yakin dengan apa yang aku mau, yakin dengan kemampuanku, impian-impianku. Tapi pada dunia tulis menulis, aku belum memaksimalkan potensi dan kesempatan yang ada, bahkan terlalu sedikit mendepositokan kepercayaan pada kemampuanku di bidang itu. Hingga sampai saat ini karya yang sudah dimuat baru bisa dihitung dengan jari. Gimana bisa di muat kalo kuantitas karya yang kukirimkan amatlah minim?payah ya?
Ketidakyakinan itulah akar permasalahannya, mungkin. Selama ini aku pikir menulis adalah hobby di kala senggang, penuang unek-unek di kala resah, walaupun sebenarnya ada terbersit obsesi untuk menjadi seorang penulis tapi segera tereduksi oleh rutinitas harian, kesibukan praktikum atau penelitian, deadline laporan ataupun jurnal yang harus segera dirampungkan. Yah, selama ini hal-hal itulah yang menjadi kambing hitam mengapa aku tidak produktif menghasilkan tulisan.
Tapi, titik balik itu sebenarnya telah terjadi beberapa bulan lalu, di sebuah meja makan sederhana, di dapur bergaya Italia apartemenku, Piazza Danti 21, Perugia. Hasil percerahan otak dengan truly, roomateku. Percerahan otak ini istilahku-kalo istilah versi trully adalah orgasme otak walahhh hehe.
“sekarang, aku telah mencapai salah satu dari impian terbesarku, aku tidak ingin hidupku setelah ini antiklimaks” kalimatku beradu dengan denting sendok kecil yang kugunakan untuk mengaduk secangkir un macchiato (kopi kental yang ditambah susu). Pada saat itu kami tentang berdiskusi tentang harapan, impian, dan tangki energi pemenuh impian. Menarik!
“ Kita harus tau seberapa penuh tangki energi kita untuk meraih impian-impian itu, impian besar tanpa tangki yang cukup adalah kesia-siaan!” kalimatnya selalu bersemangat, ditambah dengan gerakan tangannya yang menggambarkan sebuah tangki. Ah, aku selalu kagum dengan semangat yang selalu membara dalam jiwanya, hampir-hampir jarang sekali lowbatt. Hmm tampaknya dia telah khatam menguasai ilmu isi mengisi tangki energi, walaupun tentu saja kadang ada hal-hal yang meredupkannya, wajar saja.
“hidup tidak boleh antiklimaks..pasti ada banyak hal lain yang ingin kau capai!"Kata si kriminolog ini dengan kembali menyeruput kopi kentalnya.
Dari situlah terbersit seperti datangnya ilham bahwa dalam hidupku selanjutnya menjadi penulis adalah jalan hidup. Bukan lagi sekedar kesenangan di kala senggang, atau media katarsis saat jiwa sedang butuh pelampiasan. Mulai saat itu menulis bagiku adalah jalan hidup. Menulis adalah kebutuhan, kanal psikologis yang selalu tersedia pada setiap tingkatan perasaan yang menguasai hati. Bahkan menulis bagiku sekarang mungkin lebih dari itu. Menulis adalah bagian dari jiwaku yang selalu meminta untuk terus di asah, rohku menyatu ketika dalam suatu frekuensi hanya ada aku dan tulisan. Menyetujui pendapat Pramudya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja dalam keabadian!
1 Komentar
Brava!
BalasHapusSegui la strada che hai scelto.