Wajah Televisi Penuh Antasari


Cobalah sejenak perhatikan fenomena akhir-akhir ini, mulai dari pagi-pagi saat menyalakan televisi menikmati berita pagi sampai saat menjelang dini hari dengan berita malamnya, wajah televisi penuh Antasari. Lagi..lagi..dan lagi. Mulai dari skenario pembunuhan Nasrudin seakan memang sudah terbukti begitulah kebenarannya, sampai cerita pemanis asmara segitiga dengan melibatkan seorang caddy golf bernama Rani Juliani. Kadang judgement media serasa sudah mendahului ketok palu hakim di pengadilan. Ah, masyarakat memang penyuka cerita dramatis dan agak berlebihan, wajar saja mungkin karena terbiasa menonton sinetron. Dan pihak stasiun televisi tentu saja sangat mengenal selera masyarakat sehingga merekapun berlomba-lomba menguak cerita ini dari berbagai sisi seperti profesi caddy, tegarnya istri-istri yang dikhianati suami, intrik politik di balik cerita yang tersaji di depan layer. Ah, seakan wajah serius si pembaca berita mencoba meyakinkan bahwa setiap informasi yang dibacakannya begitu penting hingga harus diketahui oleh semua pemirsanya bila tidak ingin ketinggalan info terkini.
Blow up berita yang berlebihan, sampai mengadakan acara talkshow dan lain sebagainya digelar guna mementing-mementingkan segala sesuatunya. Pertanyaan pun dilontarkan, adakah konspirasi politik di balik itu semua? Apakah ada hubungannya dengan Pilpres yang tinggal sebentar lagi? Begitu ulas mereka dengan begitu meyakinkan. Ah, kita dibiasakan dengan praduga.
Teringat pendapat Seno Gumira Ajidarma, si wartawan itu yang mengatakan “ Benarkah berita pagi lebih penting dari hidup kita? Hingga memberlakukan berita pagi sebagai ritus”. Mungkin bila disurvei baik di perkotaan seperti ibukota dengan homo Jakartensisnya sampai di pelosok pedesaan dengan komunitas pengangkat paculnya kini mempunyai ritus yakni menyaksikan berita pagi. Si homo Jakartensis menyaksikan berita pagi sebelum pergi ke kantor karena tak ingin nanti nggak nyambung bila diajak ngobrol rekan sekantor atau kolega bisnisnya soal situasi terkini, sedang si petani menonton berita pagi sebelum berangkat ke sawah, mungkin sebagai bahan obrolan saat istirahat di gubug sambil istirahat siang. Bila ditilik dari betapa masyarakat telah menyadarai pentingnya informasi, gambaran peningkatan intelektualitas masyarakat, tentu saja hal tersebut merupakan kemajuan yang menggembirakan. Tapi sayangnya apakah si stasiun TV telah menyajikan berita yang bermutu atau malah mencekoki masyarakat dengan carut marutnya keadaan politik, gosip murahan dan detail kriminalitas yang justru memicu segelintir orang untuk melakukan kejahatan yang sama?. Peran penting media yang telah menyatu dengan keseharian masyarakat seharusnya menjadikan awak dan industri media semakin aware dalam memilah-milah informasi yang disajikan.
Masih mengutip pendapat Seno Gumira “ Saya percaya, banyak di antara pembaca yang kadang merasa dirinya lebih penuh, total, dan tidak kekurangan suatu apa, ketika pada suatu masa tertentu tidak mendengar berita apa-apa, tidak membaca koran, pokoknya terhindar dari berbagai masalah “penting” di dunia.
Sungguh bukan mempersepsikan sisi negatif media informasi dengan keseharian, namun sudah saatnya pembaca, pendengar, pemirsa mampu untuk memilah mana yang perlu dan bermanfaat untuk diri mereka. Bukan untuk terus menerus dijadikan objek belaka. Saya termasuk pelaku ritus berita pagi dan sore sudah agak gerah melihat perkembangan sepak terjang media yang kadang berlebihan. Masa dalam rentang beberapa menit waktu yang kuhabiskan di depan televisi disuguhi cuman satu topik berita yang itu-itu saja? Misal dalam rentang 30 menit suatu acara berita anda bisa menghitung berapa topik yang disajikan? pernah menelisik proporsi beritanya?. Kita seperti dibiasakan untuk menghadapi segala sesuatu dengan sikap yang berlebihan. Tanpa sadar mediapun membentuk konstruksi karakter masyarakat. Sebagai pemirsa, mari lebih bisa menentukan pilihan tontonan yang mana yang layak untuk kita nikmati***
8 maggio’09 7.24 am

1 Komentar