Sabtu, 29 Agustus 2009

Ramadhan, Bukan Sekedar Ritual


“Ramadhan, tak ingin hanya melihat dari bungkusmu tapi ingin merasaimu sampai tereguk saripatimu”

Masih teringat status FBku menjelang puasa hari pertama beberapa hari yang lalu, kenapa aku menuliskan status demikian?

Karena Ramadhan saat ini terlihat bagai sebuah bingkisan yang begitu cantik bungkusnya. Dilapisi dengan kertas kado yang menarik dan tak lupa disemati pita yang senada, indah rupawan nian kelihatannya. Semuanya berbau ramadhan, stasiun tv berlomba-lomba menghadirkan acara-acara yang agamis ataupun memaksakan beberapa acara yang dibungkus ulang dengan memberikan sentuhan agamis, penjaja makanan yang menjelang sore berderet menawarkan menu berbuka puasa mulai dari coctail, kolak, es kelapa muda serta jajanan berbuka. Ramadhan di Indonesia selayaknya gelaran pesta. Begitulah bila kuamati pola pelaksanaan ramadhan di Indonesia.

Puasa sebulan penuh di bulam ramadhan yang salah satu tujuannya adalah merasakan empati seperti kaum fakir miskin dengan menahan haus dan lapar sehingga diharapkan akan menumbuhkan kepedulian sosial. Tapi anehnya, rata-rata pengeluaran setiap keluarga di Indonesia saat bulan ramadhan malah melonjak naik bukan? Sebuah paradoks yang mengundang pemikiran.

“Balas dendam” saat berbuka dengan berbagai menu di tersaji lengkap di meja makan, yang pasti lebih “wah” daripada makanan yang biasa kita makan sehari-hari..uhmm..jadi bertanya, bagaimana bisa merasakan empati terhadap fakir miskin ya?

Menyiapkan makanan yang sedikit istimewa untuk berbuka tentu saja tidak salah, ini normal dalam kaitannya adanya “reward” terhadap usaha yang dilakukan dengan puasa seharian, tapi berlebih-lebihan tentu saja akan membutakan kita dari esensi puasa yang sebenarnya.

Puasa ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang rutin dijalankan setiap tahunnya. Ritual keagamaan yang rutin, tapi tidak seharusnya membuatnya menjadi sesuatu yang banal. Puasa sendiri sudah setua peradaban manusia, dan telah menjadi bagian dari kebiasaan manusia sejak zaman pra-sejarah seperti yang disebutkan pada injil baik kitab perjanjian lama ataupun baru, di Mahabharata, Uphanishad dan pada Al Qur’an. Puasa yang dalam Al Quran disebut dengan kata shiyam, berakar pada kata sha-wa-ma yang bermakna "menahan", "berhenti", dan "tidak bergerak". Oleh karena itu, secara syariat puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan upaya melakukan hubungan seksual dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Kaum sufi menambahkan, selama puasa kita perlu membatasi dan menahan seluruh anggota tubuh, hati, dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Puasa ramadhan harusnya merupakan ”kawah candradimuka” dimana kita harus menempa diri, menyediakan waktu yang lebih untuk hubungan vertikal kita dengan Sang Pencipta, merasakan penghambaan kita dan mencoba refleksikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam sebuah percakapan via telepon dengan sahabat yang biasa bertukar pikiran, pernah terlontar sebuah bahasan mengapa terjadi banyak paradoks di bumi Indonesia ini, negara dengan umat muslim yang terbesar di dunia tapi kenapa berbanding lurus dengan tingkat korupsi, kejahatan, tindakan amoral. Kenapa agama dianggap sebagai sebuah perkara dan berbuat kebajikan adalah sebuah perkara yang lain?? tidak berhubungan. Keber-agama-an masyarakat kenapa tidak tercermin pada perbuatannya sehari-hari?

Mungkin karena beragama selama ini hanya terwujudkan hanya sebuah ritual. Orang mengerjakan shalat, puasa, haji dan sebagainya, tapi ritual keagamaan tersebut tidak menyelusup dalam hati menjadi suatu sikap dan cara hidup

Ada yang salah dengan pendidikan dan penanaman pengajaran agama di Indonesia?

Ataukah bangsa kita selalu suka pada bungkus saja? melakukan ritual tanpa makna.

Bungkusnya yang indah tentu saja tidak salah, asal jangan menganaktirikan isi. Bagai buah yang kulitnya merah merona tapi isinya busuk atau berulat. Bungkus yang menawan tapi isinya meringkuk kedinginan karena tidak tersentuh. Ia berteriak kelaparan karena tidak diberi asupan sebagaimana si kembarnya yakni badaniahnya. Sudahkah kita memperlakukan si badaniah dan si jiwa dengan proporsi yang sama?

Previous Post
Next Post

0 Comments: