Senin, 22 Februari 2010

Menjadi Bahagia Tanpa Syarat


Malam beranjak naik, rintis air hujan berpacu di luar jendela, kopi tinggal menyisakan sesapan terakhir saat ringtone Yogyakartaku berbunyi…sms masuk,
X : Hai
Humm, sms dari sahabat dekatku..sms yang aneh, singkat dan sangat retoris. I think something goes wrong overthere..dahiku berkerut, mungkin ada sesuatu yang terjadi dengannya. Jarak yang begitu jauh tentu saja tak bisa membuatku bertemu untuk saling mengobrol langsung. Lalu segera saja kuraih HPku dan membalas pesannya
Me : hai..Hai…uhmm kenapa?
Tak harus menunggu lama, bliiip ringtone Yogyakartaku berbunyi lagi
X : enggak, hanya lelah
Fiuhh semakin aneh jawabannya, tak biasanya ia ngirit ngomong begitu..lelah? no wonder..pekerjaan..dan pekerjaan lagi yang menjadi titik pangkalnya. Tapi “lelah” yang ia ungkapkan pasti lebih daripada alasan pekerjaan. Kubalas lagi
Me : Whoaaa..sama, pengen nyenengin diri sendiri
Kujawab seperti itu karena akupun tengah “letih” karena banyak hal yang saling bertabrakan, menyita waktu, terpaksa menyingkirkan hal-hal yang seharusnya segera fokus untuk dikerjakan. Dan hal itu menyita energi, maka rasaya ingin menyenangkan diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang aku suka atau sedikit menghadiahi diri sendiri dengan sesuatu yang menyenangkan.
Jawaban smsnya lagi, kubuka dan tulisannya membuat dahiku berkerut,
x : kesenangan itu hanya sementara
Weh..weh…entah kesambet apa dia, tersenyum sejenak dan dengan tak sabar aku membalas pernyataannya
Me : He2x..tidak pernah ada yang semu dan sementara seperti juga tidak pernah ada yang abadi. Bila menurutmu itu sementara, lalu apa yang abadi?
Jawabanku mungkin bukannya membuatnya menjadi semakin membaik tapi mungkin ia tengah bersungut-sungut membaca jawabanku yang membuat kepalanya cenut-cenut,
X : bahasa apa itu?waduuhh..makin puyeng
Aku tergelak membaca jawabannya, aku tahu pasti apa yang ia rasakan, kondisi seperti apa yang membuatnya merasa “lelah” dan merasa tidak bahagia.
Me : Halah bahasa biasa aja. X, aku hanya tidak ingin membuat syarat untuk menjadi bahagia. Ya begini ini, dengan segala ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaanku, aku bahagia..ehehe..oeyyy jangan pingsan ya..
X : boleh aku tanya, apa itu mudah?
Pertanyaannya kali ini serius, aku berpikir sejenak. Menghabiskan sisa kopi dalam cangkirku dan kembali meraih HP.
Me : uhmm mudah saja, cukup dengan tidak harus menunggu sesuatu yang kita inginkan terwujud untuk jadi bahagia, tidak harus menunggu punya gaji ataupun karir selangit, tak harus menunggu jatuh cinta, tak harus menunggu menikah, tak harus menunggu punya rumah atau kuliah lagi di luar negeri atau apapun. Menikmati hidup dengan segala ketidaksempurnaannya, memang terkadang tidak mudah, tapi aku memilih itu,
Aku cukup puas dengan jawabanku, kata-kata dari mana? Entahlah…
X : terima kasih, aku sudah bisa tidur
Aku tersenyum lega. Tapi percakapan singkat itu membuat aku berpikir. Menjadi bahagia tanpa syarat? Sudah agak lama menerapkan “ilmu” ini dan sejauh ini sangat menolongku untuk menghadapi hidup dalam detiknya yang terus berjalan. Aku ingin menjadi manusia yang seperti itu, melepaskanku dari beban-beban yang harus dipikul kemana-mana.
Manusia, terkadang aku merasa manusia terlalu sering mensyaratkan sesuatu untuk menjadi bahagia sehingga terasa begitu rumit. Bahagia menjadi mahal, menjadi berhala. Orang harus mempunyai pekerjaan yang bagus, gaji yang cukup, rumah yang nyaman, menikah dan mempunyai keluarga yang terlihat bahagia entah atas nama komitmen atau hanya kontrak-kontrak hidup yang dibuat dua orang yang berbeda. Manusia harus begini…harus begitu..bila tidak begini berarti kau tidak sukses, bila tidak begitu berarti kau tidak bahagia..ah, mereka seragam sekali dalam hal itu, terkadang membuatku geleng-geleng kepala dan tersenyum. Tak heran, tak juga ingin menghakimi. Mungkin saja mereka yang benar, dan aku yang salah, atau sebaliknya, atau tidak ada yang benar atau mungkin semuanya benar, entahlah…
Hanya saja aku tengah mencoba tidak lagi mensyaratkan sesuatu untuk bahagia. Menerima hidup akan lebih menenangkan, tapi bukan berarti membuat urat perjuangan putus atau kemauan untuk mengejar impian menjadi melempem.
Aku, sebebas udara. Kebebasan bukan berarti ketiadaan tanggung jawab, tapi mempunyai kebebasan untuk memilih dan melibatkan diri sepenuhnya pada pilihanku.
Selamat hidup kawan,