Senin, 26 April 2010

Menanti Kelahiran "Koloni Milanisti"


Teh hangat sudah tinggal setengah gelas, malam beranjak naik, dan suara-suara di luar masih sesekali terdengar. Kau bertanya kenapa kali ini segelas teh hangat bukan secangkir kopi seperti biasanya? Humm ya, aku harus menjaga dosis kopiku agar kesehatan tidak terganggu :p

Humm..penat, dengan pekerjaan, dengan pikiran yang berseliweran, dengan hal-hal yang membutuhkan energi. Aku akan memulai rutinitas malamku, berkutat dengan naskah yang aku selalu bilang “tinggal finishing..tinggal finishing!”
Tapi nyatanya, mungkin sudah lebih dari sebulan aku bilang seperti itu dan naskahku belum kelar juga. Makanya saat ini aku membuka lembar word baru untuk menuliskan tulisan ini, beralih dari naskah yang saat ini sudah 237 halaman itu. Kepalaku buntu, terkadang lelah menguras energi untuk menyelesaikannya. Dalam perjalanan menuliskan novel pertamaku ini, sungguh bukan sebuah proses yang mudah. Mood yang naik turun, waktu tersisa yang semakin menyempit, semangat yang terkadang surut. Aku pernah ada dalam suatu titik dimana aktivitas menulis yang biasanya selalu menyembuhkan, mencerahkan dan menentramkan terkadang berubah menjadi menyiksa. Bolak balik kubaca naskah itu lagi, lagi dan lagi…men-scroll naik turun, kuruntuti lagi barisan kalimat-kalimatnya, rasanya tidak pernah puas untuk memperbaikinya. Dan yang lebih memberatkan terkadang saat kepala beku kehabisan energi untuk dibagi untuk menulis.

Menjalankan sesuatu yang membutuhkan konsistensi jangka panjang seperti menulis sebuah buku, memang bukan hanya harus pintar membagi waktu, tapi juga membagi energi. Bagaimana tidak, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan, terkadang energiku juga sudah tak lagi penuh. Menjelang malam saat berubah haluan berprofesi sebagai penulis, tapi seringkali mendapati energi sudah hampir habis. Maka eksesnya dopping secangkir kopi hampir tiap malam menemaniku menyelesaikan naskah itu.

Harus kuakui bahwa hampir dua tahun perjalanan menuliskan naskah bukuku memang bukan waktu yang singkat. Deadline yang berkali kali harus mundur, excuse karena pekerjaan, dan urusan-urusan yang harus didahulukan. Dan kini aku sadar pentingnya konsistensi dalam melakukan apapun. Untuk apa aku menulis?untuk apa aku membuat buku itu?
Aku menjawab pertanyaan yang kubuat pada diriku sendiri itu. Aku memvisualisasikannya dalam pikiranku bila pada akhirnya bukuku bila terbit, seperti resep para pemimpi lainnya. Di penghujung kelahiran bukuku ini, aku menyadari bahwa aku menulis karena sebuah misi. Misi keberadaanku di dunia ini, karena aku yakin setiap manusia membawa misinya sendiri. Aku menulis karena ada misi yang harus kusampaikan pada baris-baris kalimatku, pada paragraf-paragrafku, yang semoga sampai pada pembaca yang meruntuti barisan kalimat di bukuku kelak. Semoga!

Kini, tengah menunggu revisi dari first reader dengan sedikit berdebar. Cover awal sudah siap, sinopsis sudah selesai dibuat. Dan sesegara mungkin akan kuserahkan naskahku pada takdir, setelah aku berjuang sampai akhir.

Koloni Milanisti, segeralah lahir….karena engkau lahir membawa misiku