Rabu, 26 Mei 2010

Mahluk Jahat Bernama "MooD"

Aku benci dia, sungguh-sungguh benci. Tapi ia tak mau pergi. Ia merusak aliran kata-kata di otakku, meninggalkan kekosongan. Ia membuatku menatap kosong pada layar laptop tanpa tahu harus menulis apa dalam lembaran putih ini. Mengapa ada kalanya aliran kata-kata itu mengalir lancar, siap kutangkap dalam ketikan jariku, dan semuanya terasa sempurna. Tapi makhluk jahat itu, walau berkali-kali kuusir, tak juga mau pergi. Ia sering menghampiri,

Mengapa menulis butuh Mood? Saat mood berwajah baik, semuanya terasa normal, bahkan dalam sekali duduk bisa kuhasilkan beberapa lembar, beberapa tulisan. Tapi bila mood dengan buruk, aku hanya menatap layar, menscroll ke atas dan ke bawah, kata-kataku terhenti. Susunan kalimatku serasa hambar, tanpa nyawa. Karena itu aku benci dia.

Banyak orang bilang, jangan menunggu mood bila ingin menulis. Menulis dan menulislah terus, engkau akan berhasil menulis.

Yap,kuakui bila aku terus menulis dalam mood yang buruk, aku tetap menghasilkan tulisan. Tapi rasanya sangat berbeda, hasilnya akan sangat berbeda. Ruh kalimatku hilang, pesan yang ingin kusampaikan, tiba-tiba serasa tersendat. Fiuhh…

Maka, aku berusaha menciptakan mood yang baik. Sepotong senja yang marun, angin yang masuk sepoi-sepoi karena pintu yang kubiarkan terbuka, serentetan lagu mengalun menyetir rasa, dan secangkir kopi. Dengan begitu kuharapkan Mood akan menampakkan mukanya yang manis. Tapi mungkin aku harus belajar menulis tanpa makhluk bernama mood. Agar aku bisa menulis dengan baik kapan saja. Uhmm..tapi sesuatu yang buruk, akan menjadi berbeda bila kita memandangnya dengan berbeda.

Mood yang buruk membuatku belajar bagaimana caranya menciptakan mood yang baik, bagaimana menata suasana hatiku agar bisa menghasilkan tulisan yang baik, mengerti waktu-waktu favorit saat aku menulis. Ahaha lihatlah mood tiba-tiba berubah jadi malaikat.

Apapun, mau kita jadikan makhluk jahat atau malaikat, tergantung bagaimana cara kita memandangnya, dan mensikapinya. Hai mood, datanglah kapan saja, akan kusuguhi engkau secangkir kopi panas, dan minum kopilah bersamaku, dan biarkan aku menulis dengan tenang…


pic : http://th01.deviantart.net/images2/300W/i/2004/08/4/7/I_feel_blue.jpg

Kamis, 20 Mei 2010

A Letter to the Readers


Dear the readers,

Hai..yang sudi mampir dalam rumahku, rumah yang kubangun hampir empat tahun belakangan ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu menyinggahinya di antara ribuan portal yang lain. Rumah mayaku ini, hanya menghadirkan tulisan-tulisan dari isi kepalaku, hal-hal yang mungkin tidak penting tapi menurutku penting, hal-hal remeh temeh tapi hal itu justru membuat perbedaan besar dalam hidupku.

Aku menulis, karena aku menemukan duniaku pada saat aku menulis. Saat menulis, aku menemukan diriku sendiri, menyatu dengan kata-kata yang berhamburan di kepalaku, bersinergi dengan gerakan jari jemari di keyboard laptopku, satu—sefrekuensi. Rasa seperti itu yang membuat aku mengulang dan mengulang lagi—untuk terus menulis. Karena dengan menulis aku menikmati hidup, dengan menulis aku berhenti sejenak.

Bukankah dunia terus berlarian, dengan rutinitasnya yang menuntut. Aku sering menemukan diriku hilang, ditelan waktu, tanpa sadar sudah sampai mana langkahku. Karena aku tidak berhenti sejenak. Dan dengan menulis, aku bisa menghentikan duniaku. Menghentikan waktuku, menghentikan rutinitas, dengan menengok makna di antaranya. Dengan menuliskannya, aku mempunyai waktu dan ruang untuk bicara dengan diriku sendiri. Tentang hidupku, pikiranku, sekelilingku, apa saja yang tengah melintas di kepalaku.

Rumah ini semula hanya dikunjungi para sahabat dekat, yang tak lagi bisa bersua dalam nyata, tak lagi punya banyak kesempatan untuk berjumpa. Maka tulisanku bisa mereka baca (bila mereka sedang mau) untuk sekedar menengok hidupku. Aku menulis untuk diriku sendiri, kadang untuk mereka. Tapi aku sadar ternyata ada kalian, the readers yang kadang datang menengok, membaca sebentar, blog walking, bahkan menuliskan komentar atau menyapaku di kolom chat. Dan itu membuatku ingin menulis untuk kalian juga.

Menulis mungkin merupakan aktivitas egois, tulisan akan tetap menjadi tulisan walaupun tak pernah dibaca. Tapi tulisan itu tidak akan pernah memberi arti tanpa pernah dibaca orang lain. Dan kalian membuat tulisanku terasa berarti. Rasa itu takkan pernah bisa terbeli oleh apapun..

Tahukah kalian, terkadang saat hidup berlarian, waktu mengajakku berlari cepat, pekerjaan memaksaku berpaling padanya terus menerus. Dan energiku terkuras habis, rumahku ini sering kubiarkan kosong. Ia sepi, ia bisu, ia kesepian. Kupikir..biarlah saja ia sejenak kutinggalkan, toh rumah itu hanya sedikit yang biasanya menengok. Tidak ada yang kehilangan bila rumahku sepi, bila rumahku kosong. Tanpa kubilang sahabat-sahabat dekatku akan mengerti bila melihat isi rumahku ini kosong melompong,

“pasti pekerjaan tengah membuatnya repot”. Mungkin dugaan mereka benar, memang sering kali benar. Tapi saat menjumpai komentar-komentar asing, sapaan-sapaan orang-orang yang tak aku kenal di yang meninggalkan jejak di rumahku. Aku terharu, bahkan berbinar saat menemukan bahwa kalian membaca tulisanku. Bahkan tak segan menuliskan sesuatu untuk mengomentarinya. Kalian tahu, tidak pernah ada yang bisa menggantikan rasa bahagia saat merasakan itu. Siapalah seorang penulis tanpa pembacanya.

Apalah artinya sebuah tulisan yang hanya berbicara sendiri, kesepian di pojokan. Tulisanku di rumah ini akan tetap menjadi tulisan tanpa kalian, tapi tulisanku tidak akan berarti tanpa kalian.

Dear, the readers..tulisan ini ingin mengungkapkan rasa terima kasih. Terima kasih telah berkunjung, terima kasih telah memberikan arti dalam tulisanku. Aku menyukai perasaan saat menuliskan baris-barisnya, cukup itu, sesederhana itu.


Ciao..salam hangat, tengoklah kapan-kapan rumah ini bila kalian mau..


Mercoledi, 12 maggio 2010. 20:24