Jumat, 18 Februari 2011

Sebuah Percakapan..

“ Aku lelah denganmu. Sudahlah, kau tak perlu aku lagi. Berjalanlah sendiri, seperti maumu, seperti inginmu, seperti rasa yang selalu kau perturutkan itu.”

Aku mendengar suara-suara itu. Lamat-lamat namun semakin jelas kudengar. Aku mengerutkan kening sejenak mendengar kalimat-kalimat itu, huuum, sepertinya Si Kepala sepertinya tengah marah.

“Tidak begitu, percayalah. Aku hanya terkadang tidak bisa memilih, ada kekuatan ajaib yang seperti merasukiku. Tapi, aku masih selalu butuh pertimbanganmu” Suara Si Hati terdengar sedikit merajuk, mencoba menenangkan Si Kepala.

“ Kau tak pernah mendengar kata-kataku lagi, sebenarnya kau tau, tapi tak mau tahu. Kau selalu menentukan maumu sendiri.” Si Kepala berteriak dengan keras. Kulihat Si Hati terdiam sebentar, sepertinya ia tahu kata-kata yang diucapkan Si Kepala benar adanya.

“Sebenarnya tidak seperti itu, sungguh.. tidak seperti yang kau pikirkan. Aku mendengar kata-katamu” kata hati mencoba menyanggahnya.

“ Kau memang mendengar, tapi hanya mendengar. Semua kata-kataku mentah, apa kau benar-benar mendengar?tidak, kau tetap berjalan dengan maumu sendiri”. Si Kepala nampaknya kali ini sungguh telah kehilangan kesabarannya.

Hening sejenak, tak ada seorangpun yang berkata. Aku bingung harus berbuat bagaimana, harus berpihak pada siapa.

“ Tapiii…kau tidak pernah tahu, betapa sulitnya menjadi aku.” Tiba-tiba Si Hati berkata dengan nada suaranya yang sedikit parau, sebuah kalimat yang lebih terasa seperti sebuah keputusasan dibanding sebuah pembelaan.

“Sebenarnya kau bisa, tapi kau tak mau. Selama ini kita bisa berkompromi, berdamai, kita bisa beriringan bersama, tapi ada apa akhir-akhir ini dengan kita?”. Si Kepala nampaknya sedikit melemahkan nada suaranya.

Si Hati dengan lemah mendongak, memandang si kepala, lalu memandang padaku dengan tatapan dengan makna yang tak kumengerti. Matanya berair, sepertinya ia menanggung beban yang berat. Aku iba, tapi tak tahu harus bagaimana.

Kulihat dari kejauhan ada seorang kakek tua renta berjalan, kerut-kerut di wajahnya terlihat nyata. Dia berjalan menghampiri kami,

“ Adakah yang bisa kubantu?.kudengar ada sesuatu yang diperdebatkan” Suaranya parau, suara yang dihasilkan dari pita suara yang tinggal sisa-sisa karena termakan usia.

Kami menoleh padanya, menatapnya dengan tidak yakin. Dia tersenyum, entah apa makna di balik senyumnya itu. Tapi sepertinya senyumnya itu menawarkan pertolongan.

“Kalian tak percaya padakukah?” Ia berucap sambil tersenyum. Ooww..ternyata ia mengerti jalan pikiran kami. Huumm, sepertinya ia punya penerawangan yang bagus.

“ Apa yang bisa kautawarkan untuk membantu kami?” tantang si kepala dengan arogan.

“Kau tahu pasti bahwa aku tidak akan merubah apapun, walau kau bujuk aku dengan cara apapun!” kata si hati menimpali.

Aku bimbang, hanya menatap si hati dan kepala dengan pandangan yang tak jua mengerti mengapa mereka kali ini sulit sekali berkompromi.

Si kakek tua itu kembali tersenyum.

“ Berjalanlah seiring denganku. Itu saja..aku tidak pernah berniat memaksakan apapun kehendak kalian. Silahkan memperturutkan apapun yang masing-masing kalian inginkan. Tapi mari berjalan beriringan denganku..” kata kakek tua itu dengan nada suara yang tenang.

Si hati dan kepala terdiam, mereka nampak memandang tajam pada si kakek tua, mungkin tengah mencerna apa yang dikatakan kakek tua tadi. Tak menyangka “hanya’ itu solusi yang ditawarkan si kakek tua, sesederhana itu.

Aku membisu..bingung sejenak. Harus bagaimana ku jawab, kutoleh si kepala, ia hanya terdiam. Lalu kuminta pertimbangan pada si hati, ia juga membisu.

“ Apa kau bisa menjamin jalan ini akan berhasil ?” fiuuh kenapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku, kalimat yang tak bisa menyembunyikan keputusasan di baliknya.

“Apa engkau punya pilihan lain?” si kakek tua ini hanya menjawabku dengan pertanyaan balik.

Aku berpikir sejenak..memandangnya lagi, seakan meminta kepastian darinya. Tapi kepastian itu milik siapa, bila tak ada yang pasti..dan bila yang pasti adalah perubahan.

“ Baiklah..kuberi waktu engkau sejenak..aku akan menghampirimu lagi. Walau aku tahu pasti apa yang akan kau putuskan” fiuuhh sial, si kakek tua nampak sangat percaya diri.

Si kakek tua itu beranjak pergi meninggalkan kami, berjalan terus..dan terus..aku mengingat-ingat, nampaknya ia terasa familiar dalam ingatanku. Setelah punggungnya tak terlihat lagi, aku baru mengingat sesuatu dengan pasti. Ia..benar..aku baru ingat, si kakek tua itu..adalah variabel waktu..waktu yang terus berputar, berjalan bersama detik yang sebenarnya tak pernah sama itu.

“ Berjalanlah beriringan denganku.itu saja” kembali terngiang tawarannya beberapa saat yang lalu. Aku memandang si hati dan si kepala, mereka nampak masih saling bersitegang. Aku menghela nafas sebentar, dan menyadari kepercayaan diri di balik kata-kata si kakek tua ada benarnya.

“Berjalanlah beriringan denganku. Jangan pernah merasa aku memaksamu memahami sesuatu yang belum bisa kaupahami kini. Karena aku yakin, kau akan memahaminya suatu saat nanti. Jangan pula bimbang bagaimana caranya, karena semesta mempunyai mekanismenya sendiri. Percayai saja dirimu dan mari berjalan beriringan denganku” suara lamat-lamat si kakek tua itu terdengar lagi.

Kali ini aku tersenyum mendengarnya, memandang si hati dan si kepalaku dan ingin segera mengatakan sesuatu pada mereka. ***

14 Feb 2011. 0.06 am

Previous Post
Next Post

0 Comments: