Senin, 29 Agustus 2011

Terakhir Kali


Terakhir kali...
Terakhir kali..dalam perjalanan tarwih malam puasa terakhir tahun ini, rasanya ingin perjalanannya jauh lebih panjang
Agar lebih lama aku berjalan bersama bapak dan ibuku menuju masjid...
Terakhir kali bersalaman dengan ibu-ibu jamaah tarwih, rasanya dijabatnya tanganku lebih erat dari biasanya
Senyuman mereka lebih lebar dari biasanya,
Terakhir kali itu, suara adzan dan puji-pujian dari masjid itupun rasanya menyelubungi hatiku, syahdu..
Kembang api di atas bubungan rumah malam inipun terasa lebih meriah,
walau hatiku sedikit gundah
Terakhir kali...
Terakhir kali itu, mungkin terakhir kali aku melihatnya, senyumannya
Menatapi pungungnya pergi,
Terakhir kali itu, saat dia bertanya, "jadi nggak merekam suaraku,?"
Kubilang,
"Sudah, telah kurekam dalam hatiku."


**29 August 2011.

Sabtu, 13 Agustus 2011

Keber(Tuhan)anku, Spiritualitas-ku- “Sebuah Tanya”

Sebuah Surat Kepada Aku-Manusia dalam diriku

Selamat sore, diriku

Aku// seperti biasa// ingin membincangimu// diriku

Mari sore ini sambil menunggu buka puasa kita berdua bicara tentang keberTuhanan, Sebuah perjalanan spiritualitas yang telah kita jalani selama hampir 30 tahun. Waktu yang tidak sebentar bukan?

Kini, kita bersama sepotong sore yang tenang, sejenak angin melintasi kita lalu pergi lagi, sore yang sempurna untuk berbincang bukan?

Ehehe mari kita bicara bahasan yang kemarin-kemarin membuat kepalamu meloncat-loncat, ehehe tabrakan terjadi, sampai kepalamu rasanya penuh. Mungkin itu terjadi karena kau harus menjuri 87 cerpen yang bahasanya begitu terasa eksklusif, berdesing-desing di telingamu kata-kata” akhi, antum, jazakumullah”. Kemudian kau menemukan jawaban pertanyaan tentang kecanduan/ketergantungan energi di wawasan ke 8 Celestine Phophecy yang membuatmu lupa waktu dan baru tertidur saat jam 2 pagi, dan tentu saja telat sahur. Baru-baru ini pula kau membacai Kitab Ihya Ulumudin –Imam Al Ghazali yang dibawa sahabatmu, sampai terbersit pertanyaan : mengapa baru ketemu kitab keislaman yang kayak gini sekarang?. Aku paham mengapa kau bertanya demikian, aku kenal kau. Mana mempan kau membaca buku-buku keislaman jenis-jenis formal dan humm..aku tak tahu jenis yang bagaimana itu. Kau akan bilang,

Aku tidak perlu repot menghitung-hitung pahala, berapa kali lipatnya, aku tidak sedang berdagang denganNya, aku juga tidak perlu merasa rugi bila surga atau neraka tidak ada, kenapa untuk mencintaiNya menjadi begitu rumit?”

Ahaha aku kenal kau, aku tau kau, bandel, nakal, susah dibilangin, tapi aku suka kau mau belajar dan mau bertanya. Jadi kau tak hanya diam dan menerima apa saja yang dibilang orang-orang itu. Masa kau mau terima saja cerita orang tentang TuhanMu dan menerimanya dengan mentah sebagai sebuah kebenaran?

Yang aku tahu kau selalu lebih memilih buku Tasaro GK (Muhamad-Lelaki Penggenggam Hujan) untuk mengenali Muhammad-Nabimu yang selama ini masih terasa asing bagimu. Luhur, mulia, Al Amin, yang dipercaya, tapi terasa tak terjangkau, tak kaukenali karena selama ini belum kaucobai untuk kaukenali secara pribadi. Tapi setelah “pertemuanmu” dengan buku itu, kini dengan hasrat yang membuncah rasanya ingin kau kenali dia lagi dan lagi. Kemarin kau cari “Menatap punggung Muhammad”-nya Fadh Djibran di Gramedia namun belum kautemukan. Sabarlah menahan rindu untuk mengenalinya (Muhammad) lagi

Semalam juga sehabis tarwih, engkau mengaji. Mengaji lewat kata-kata Fadh Djibran, dalam buku “Yang Galau Yang Meracau”, mendengar racauannya tentang tuan setan, dosa, cinta, dan pencarian Tuhan tentu saja. Membacai kupasannya yang cergas tentang pencarian Tuhan, mulai dari teori Marx, Freud, kelompok ateisme kontemporer, agnostik sampai pak ustadz.

Masih dalam minggu yang sama, kau baca “Madre”nya Dee dan beberapa artikel di blognya yang membuatmu tertohok-tohok secara spiritualitas. Tentang ke-esaan Tuhan, Agama dan Tuhan, hingga kemanusiaan manusia. Lalu kau juga membacai Brida-Paulo Coelho yang berisi tradisi matahari dan tradisi bulan, tentang pencarian pasangan jiwa –(yang kausangka jodoh-tapi ternyata -jiwa reinkarnasi).

Hadeeeeh..bisa kubayangkan betapa kepalamu penuh ahaha..campur-campur. Kau bacai buku Gede Prama yang berarus Hindu, Dee-yang mengusung Budha, Paulo Coelho yang berbau kekristenan, dan membacai pemikiran Quraish Shihab, Al Ghazali, Tasaro, Fadh yang mengenalkanmu keislaman. Dan kau kemudian kelelahan, kemudian memilih untuk tidur seusai salat subuh, mensyukuri dingin yang semakin menggigiti tulang. Dan untungnya pagi tadi, tak ada yang iseng menanyaimu “sudah mandi belum?” ehehe…

Ah, mengingatnya, kau jadi ingat saling komen ia dan dirimu di FB. Dalam facebook pula kau bisa mengaji, bisa berdoa, bisa merapat padaNya. Karena kau selalu melihat statusNya—online--

*.itu kitab bagus lho..sangat2 bagus...cocok dibaca saat bulan ramadhan ini...biar semakin sholehah.. :)

Begitu komennya saat kau bicara tentang kitab Ihya Ulumudin itu.

*kata semakin sholelah terasa geli di kupingku..lebih nyaman dengan..semakin merasa menjadi manusiaNya, dan semakin menyadari keberTuhan-anku.

Kaubalas begitu,

Kenapa kau lebih memilih pilihan kata lain untuk menyebut Sholehah? Kenapa kau lebih sering menyebut Tuhan, daripada Allah,? Kenapa masih terasa aneh di kupingmu saat mendengar “ antum, akhi, jazakumullah”? kau mengerti artinya, tapi kenapa terasa aneh dan jarang menggunakannya? Apa dengan begitu kau bukan seorang muslim yang baik? Apa karena begitu keberTuhananmu menjadi dangkal? Ehehe kau selalu terlalu banyak bertanya.

Karena bertanya membuatmu untuk mencari jawab. Mencari itu mencobai berbagai jalan, kau mengenal Tuhan-Tuhan orang lain juga. Tuhan-Tuhan orang lain, memangnya Tuhan ada berapa? Ah biarlah sifat ketunggalanNya itu kau sendiri yang mengalaminya.

Yang kuingat kau mengenali Tuhan kali pertama dari orang tuamu, kemudian dari guru ngajimu. Kata mereka Tuhan begini, Tuhan itu begitu. Dan kehidupan membawamu ke banyak jalur-jalur hidup. Kadang bersama Tuhan, kadang tidak terlalu (walau kurasa belum pernah tidak sama sekali), terkadang menyadari kau semakin rapat denganNya saat kau ditimpa derita, galau, ragu, gundah, resah, cemas, khawatir. Kenapa Tuhan lebih mudah bisa kautemui saat dirimu sedang dalam kondisi begitu?

Lalu bertahun-tahun kau membacai berpuluh buku, banyak teori, banyak nama-nama asing, nama Tuhan-Tuhan lain. Seperti kata Fadh dan Dee-kepercayaan bisa lahir dari pengetahuan, pemahaman. Lalu kau mencobai mengetahui, dengan akalmu, memahami dengan hatimu. Pengetahuan dan pemahamanmu membawaimu dalam pengalaman keberTuhanmu (ilahiyah). Seberapa sering pengalaman langsung dan pribadi engkau dan Tuhanmu?

Tuhan itu ada saat kau merasa bersamaNya,

Tuhan itu tiada saat kau tak merasa bersamaNya..

Ada dan tiada, terkadang adalah tentang rasa.

“ Aku seperti sangkaan hambaKu. Jika ia mencari dan mengingatku, Aku bersamanya begitu tertulis dalam sebuah firmanNya.

Maka diriku, mari terus bersamaNya. Walau terkadang dalam doa, saat kau berbincang denganNya, seperti tadi malam itu. Kau bingung, kenapa kau tidak bisa berdoa dengan doa yang seharusnya –demikian pikir akalmu, al aql-

Lalu dalam bincang itu, kau melontarkan kalimat,

“ Karena ternyata aku tak bisa bohong padaMu. Biarkan aku berdoa begini dulu.”

Kau terkesiap, sekaligus merasakan kelegaan luar biasa. PadaNya, kau bisa berbincang menjadi manusia-manusia saja. Tanpa tameng, tanpa label. Utuh, seorang manusiamu yang utuh.

Sudah, diriku, maghrib akan segera tiba. Mari kita mengingatNya saat menyantapi makanan yang tersaji.Untuk itu mungkin kenapa kita disuruh berdoa sebelum makan, untuk mengingatNya, dan makanan itu akan mengalirkan energi untuk kita.

Sudah dulu diriku, kapan-kapan akan kusapa dan kubincangi lagi dirimu.

Hidupku memang terus berjalan, karena tidak ada kata “sudah” ataupun “berhenti” sebelum aku terhenti dengan alami (mati), tapi aku mengenal kata “jeda sejenak”. Untuk menyapamu, membincangimu, mengenali perubahanmu, agar aku tidak hilang dalam hidup.

Selamat berbuka,

dan mari kita nikmati pengalaman setiap detiknya bersamaNya. Tuhanmu, Tuhanku, Tuhan yang kita kenali, Tuhan yang kita kenali dengan pengalaman-pengalaman kita. Dia itu Tuhan kita. Tuhan yang seperti sangka kita ***

12 August 2011. Di sebuah sore yang baru, karena hidup selalu baru.

Rabu, 03 Agustus 2011

Mada, Rasa, Tuhan dan Cinta

Namanya Mada. Dia selalu berkata bila arti namanya itu “pengenggam hujan” –hujan itu berkah bagi seluruh umat, jadi aku ingin menjadi berkah setidaknya bagi ibuku, bapakku dan orang-orang sekelilingku” begitu katanya dengan lugas, mungkin karena memang tak pernah ia bisa berbasa basi. Tapi, bagiku, nama Mada yang berarti pengenggam hujan itu menyebabkan kenapa bila kami bertemu, hujan sering kali turun, dan dia berkata “ romantis ya..hujan rinai rinai” fiuh…kenapa dia selalu mengucapkan apa yang dirasakan? tidakkah dia berpikir bagaimana bila nanti aku tak akan bisa lupa setiap apa yang pernah dikatakannya?

Tak pernah kuceritakan padanya, dalam hidupku ini setidaknya ada tiga hal yang selalu kupertanyakan, yakni rasa, Tuhan dan cinta. Mungkin dia tak pernah sempat membaca unek-unek Dee (Dewi Lestari) tentang semangkok acar untuk cinta dan Tuhan,
Itulah cinta, Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan, Pertanyaan apa itu cinta dan Tuhan, adalah pertanyaan yang sungguh tidak berjodoh dengan jawaban” sebaris kalimat Dee, yang entah mengapa menjadikanku seperti penulis kacangan, yang hanya mampu menulis roman picisan.

Tentang Tuhan, mungkin ia tak pernah membaca kisah Tuhan berhala Al Lata dan Al Uzza, konsep trinitas kekristenan, atau Budhha Maitreya, sampai konsep monoteisme. Berlembar-lembar tulisan tentang pencarian kepenasaranan manusia akan TuhanNya yang membiusku bertahun tahun, untuk memahami sebuah hidup. Bukan untuk memenangkan logika dalam beragama, tapi menggunakan logika sesuai batasannya. Tapi toh tersungkur semua konsep-konsep itu saat ia mengirimiku sms pendek,

“ Bangun Key, salat malam yuk..semoga segala urusan diperlancar” kutatapi layar Hpku, merasa aneh mengapa apa yang dia ingatkan selalu saja kukerjakan. Sialnya, dengan senang hati.. Segera bangkit, kuambil wudhu dan ber-shalat padaNya. berTuhan, adalah mengalami ke-manusiaan. Bukan untuk membaca doa-doa magis yang tak kumengerti artinya, dan berharap masuk surga nantinya. Aku hanya ingin merasai kemanusiaanku, membaca waktu dan aku berTuhan padaNya. Sedetik kemudian, aku memahami apa yang pernah dirasai Syekh Siti Jenar, walau mungkin tak seluruhnya sama.

Oh ya, namaku Keyra, kupikir tadinya namaku tak bermakna. Bila saja bermakna, kuharap maknanya begitu dalam atau secanggih seperti “perempuan pembawa kedamaian..atau cinta barangkali”. Tapi ternyata, Keyra, sebuah nama celtic yang berarti “kegelapan”. Apakah namaku adalah sebuah pertanda buruk? Orang selalu mengidentikkan kegelapan dengan keburukan, sepertinya mereka lupa tak akan ada terang bila tak ada gelap.

Tentang cinta, dari dulu aku selalu gagap bila harus menjawabnya. Bertahun-tahun memaknainya, aku terjebak dalam kumparannya, semuanya berbeda, mungkin karena cinta selalu baru. Tapi ingin pula kukatakan, cinta itu soal mengalami, bukan berhala yang diagungkan, sejauh itulah tatarannya. Aku dan dia, Kau dan Dia-mu, itu saja.
Dari Mada pula, cinta bertransformasi menjadi bentuk-bentuk nyata, yang mengalami, yang merasai.

Obrolan panjang lebarku dengannya bukan tentang reaksi PCR, stem cell, pola transmisi dan prediksi penyakit, atau tentang graphen serta nanoteknologi, tapi lebih tentang menu buka puasa, acara akhir minggu sampai sekedar sambel teri.

Dan rasanya pertanyaan paling penting dalam hidup ini adalah “Sudah mandi Key?” kenapa semua orang tak pernah menanyakan hal itu kecuali dia?

Bila kalian ingin meregister pertanyaan-pertanyaan yang tersering ditanyakan orang-orang padamu, mungkin “apa kabar” akan menjadi pemenang. Yang kemudian serta merta dijawab “kabar baik” seperti mesin jawab otomatis. Walau entah bagaimana harimu berjalan, cerah atau gelap. Mungkin manusia memang harus menjawab begitu. Tapi pertanyaannya itu, membuatku merindu. Aku mendapati pertanyaan yang paling kurindui bukan pertanyaan tentang hal-hal yang bombastis seperti kapan kau akan naik pangkat?bagaimana proyek yang tengah kau kerjakan? Sialnya pertanyaan yang paling membuatku merindu adalah jenis pertanyaan macam, “Sudah makan Key?’ pertanyaan yang membuatku bergetar-getar. Bagaimana dalam rentang waktu hidup seseorang bisa mengingat dan menanyakan seseorang lainnya, ia sudah makan atau belum? Pertanyaan yang membuatku kehilangannya bila tak kudengar pertanyaan itu darinya. mungkin kasih justru lahir dari hal yang dianggap remeh temeh, begitukah?entahlah..

Sialnya, Mada juga mengenalkanku akan rasa cemas, khawatir, dan merindu. Bila ditambah lagi, cemburu, sedikit. Cemburu pada dunia selingkup tempatnya hidup, yang tak pernah bisa kumasuki sepenuhnya. Tapi biarlah, karena bukankah karena berjarak dua tumbuhan yang berdampingan bisa bertumbuh dengan baik? Karena terlalu dekat terkadang bisa mematikan.

Padanya, Mada-ku, aku menemukan rasa, Tuhan dan cinta.

· Ini benih yang mulai kukandung…masih terus kuhidupi, doakan segera lahir sehat dan bisa memberi makna bila dibaca utuh suatu saat.

-3 August 2011, di suatu pagi yang tak terlampau cerah, tapi hidup tetap saja meriah***