Kamis, 27 Desember 2012

Savanna//Kita


Masih ingatkah bunga ini?Savanna//Kita

“ Seperti di Nusa Tenggara Timur” kataku. Sambil terus memandangi hamparan padang rumput menghijau, luas. Seperti savanna.
Capung-capung beterbangan. Kita dimana? Benar-benar di Nusa Tenggara Timur? Entah.
            “ Dulu saat kecil, aku sering menangkap capung laki-laki dan betina kemudian memaksanya pacaran,” tuturku, mengenang masa kecil yang hampir setiap sore bermain di lapangan atau menyelusup ke pekarangan.
            “ Memangnya bisa membedakan capung jantan dan betina?” tanyamu. Aku menjawab dengan senyuman yang aku lepas kembali memandangi savanna.
Perbincangan panjang kita selanjutnya seakan membocorkan pipa stagnasi. Mungkin gerakan pikir dan rencana kita seperti combat di bawah tanah, kemudian ada saatnya memilih untuk mengemuka. Rupanya selama ini kita terus bergerak, karena bukankah hidup harus terus melaju? Kita tengah melewati sebuah jalan. Dan setiap jalan selalu mengarah pada suatu tujuan, pada suatu tempat.
Aku pernah runtuh, bangkit, berdiri, berlari, maju dan terus melaju, bersamamu. Bagiku..berdua//bersama, semestinya untuk saling menghebatkan, saling membaikkan.
Capung-capung itu terus  beterbangan bebas. Semoga turut mengamini doa-doa kita.

Rabu, 05 Desember 2012

Kejutan

Di bawah kilatan kembang api tahun baru 2012 lalu-Edinburgh, UK

Bukankah kejutan itu seperti kembang api? Melesat tak tertebak dan berbinar menyilaukan, meninggalkan jejak yang akan selalu terkenang?
Bukankah kau atau kalian selalu mengenang kejutan-kejutan yang pernah orang lain berikan padamu?
Kejutan itu ramuan penuh perhatian, cinta dan kepedulian. Siapa yang tak senang menerima kejutan?
Make me speechless but happy” katamu saat menerima kejutan dari beberapa orang-orang dekatmu.
Atau seperti anggapan Syalimah di “Padang Bulan”nya Andrea Hirata saat menerima kejutan sepeda.
mulai saat itu mereka harus sering memberikan kejutan karena kejutan ternyata indah
Dan aku, sayangnya tak pernah berbakat membuat kejutan. Setiap kejutan yang ingin kuberikan, hampir selalu malah terlebih dahulu membuat aku terkejut. Parah.
Sedang kau, hampir selalu sempurna dengan kejutan-kejutanmu yang selalu membuat jantungan. Bersamamu beberapa tahun ini cukup melatih otot-otot jantung untuk segala macam kejutanmu.
Bungkusan dalam kertas looseleaf yang berpindah tangan ke tanganku, cukup sanggup membuatku termangu. Kejutan pertamamu.
Lalu hidupku berubah menjadi kembang api.
Dengan motor pinjaman plus jaket pinjaman, lalu tiba-tiba muncul di terminal saat dini hari,kala busku baru saja merapat. Kau tak tahu hatiku dilanda gempa bumi.
Kau, dengan segala ketiba-tibaanmu.
            Keluar deh bentar, aku udah di depan” lalu terpaksalah aku muncul dengan muka bantal.
          Buka deh tirai jendelamu” katamu di ujung telpon. saat jarak antara kita harus ditempuh dalam hitungan 3 atau 4 jam.
         udah sampai sini nih, jemput ya di terminal” dan aku kelabakan pulang dari kampus, siap-siap menjemputmu. Sambil siap-siap ngomel dan protes.
           coba tebak apa isinya” katamu sambil mengulurkan bungkusan kado untuk kedua kalinya. Kau tak pernah habis mengejutkanku.
Dan aku dengan parahnya selalu terkejut bila ingin memberikan kejutan. Meringis rasanya bila mengingat daftar kegagalan demi kegagalanku. Memang mungkin memberikan kejutan butuh bakat, usaha, dan restu Tuhan ehehe.
Tapi,
            Ketemu adek sudah menjadi kejutan indah dalam hidupku” katamu, yang selalu madu. Masihkah seperti itu ?  

#Kebumen, 5 Desember 00:20 hiyaa masih jetlag, mata masih belum membiasakan berkawan dengan waktu yang baru.
 

Kamis, 22 November 2012

Udara//Mengada




Udara, betapa ia  selalu menjadi juara
Bila harus bercerita tentang ketulusan hatinya,
Udara itu sederhana, bersahaja, tanpa banyak sandiwara
Ia bahkan tak perlu tampil mengemuka, tapi siapa yang bisa hidup tanpanya?
Mengudara bergerak bebas di antara manusia manusia
Mungkin menyelusup di antara kamu, dia, kalian, mereka, saya.
Ia bergerak bebas,  mengada tanpa jeda
Tak perlu memilih, tanpa perlu dipilih,
Ia hanya mengada, hadir tanpa akhir
Tak peduli manusia merasa hadirnya atau melupa
Udara, ia tetap ada
Betapa kecil saya dibandingkan udara,
Saya, yang masih ingin memilih, masih ingin dipilih, ingin terlihat ada
Mungkin harus banyak belajar pada udara
 

Glasgow, 22 November 2012 

** Untuk sahabatku yang sedang kecewa hatinya, memang butuh hati baja untuk bisa menandingi ketulusan udara, tapi percayalah engkau bisa terus mengada, seperti udara, bahkan bilapun hanya bisa dalam doa.

Rabu, 21 November 2012

Clarity




Kali ini hanya ingin menuliskan yang hal sederhana, saat malam sudah beranjak naik, Glasgow sedemikian tenang malam ini. Maka saya ingin menuliskan beberapa hal saja sebelum duvet bunga-bunga itu menggoda saya untuk segera menghampirinya.

Saat sedang membacai tulisan saya ini, bagaimana cuaca hatimu? Cerah, berawan, atau mendung? Semoga tulisan saya bisa mencerahkan..eh, kalian semua ding yang berkuasa membuat hidup kalian cerah ;p

Bagaimana kabar hidup akhir-akhir ini? Mari kita bincangi sejenak.

Ada yang menganggap hidup itu biasa-biasa saja, bisa makan, sandang, papan cukup, keluarga berkumpul. Maka sudah cukup bahagia.

Ada yang letak kebahagiaannya saat dirinya sudah mampu serve the world’s need, yakni memberikan kontribusinya pada sesama, pada bumi. Dia merasa “penuh” dan bahagia.

Ada yang apapun yang dilakukan agar orangtuanya bahagia, maka ia pun akan bahagia.

Ada yang memaknai cinta dengan degup, dengan binar, bersatunya dua jiwa yang saling menghidupi.

Ada yang memaknai cinta dengan memberi kasih, pengabdian atau komitmen.

Ada yang memaknainya kehidupan di dunia hanya “mampir ngombe”, jadi hidupnya fokus untuk akhirat.

Ada yang bercita-cita jadi kaya agar bisa menyantuni yang berkekurangan, slogannya wanna feed the poor? Be rich!

Ada yang ingin jadi full housewife, mengurusi suami dan anak-anak. Namun ada pula yang ingin berkarir di dunia kerja, dan menyeimbangkannya dengan mengurus keluarga

Banyak, banyak lagi lainnya. Setiap orang punya “nilai hidup” yang pasti berbeda-beda.

Dan pastinya kamu, kalian punya itu bukan? Punya kalian sendiri, masa mau nyontek saya ehehe..

CLARITY

Kejelasan. Kejelasan pemaknaan. Hal-hal di atas terlihat berbeda, namun semua pada dasarnya sama. Letaknya ada pada Clarity-nya.

Misalnya : “ saya merasa nggak cukup hidup menjadi biasa-biasa saja. Tuhan pasti menciptakan saya dengan tugas tertentu. I want serve the others, I will contribute to others.”

Misal loh ituu..okai, that’s the clarity. Jelas. Sering-seringlah bicara pada dirimu sendiri. Maumu apa? Nilai apa yang kau pegang? Hal-hal apa yang penting bagimu?  CLARITY.

Ada seorang teman berkata “ aku nggak tau sebenarnya buat apa aku belajar jauh-jauh ke luar negeri? Atau..” nggak ngerti juga buat apa sih aku berdarah-darah berjuang sedemikian rupa?” atau pernyataan-pernyataan yang hampir serupa.

Hidup tanpa clarity. Betapa hampa, tanpa makna-nya bila hidup sering ada dalam fase “ tanpa clarity” seperti itu.

Humm cobalah baca kata Rene Suhardono nih :
Tak usah dicari ke mana-mana, karena sejatinya bahagia itu sudah ada dalam diri. Tinggal, bagaimana keputusan kita sendiri untuk memaknai bahagia seperti apa. Bagi saya kenikmatan tertinggi adalah ketika kita tahu siapa kita. Kapan bisa discover ourself, kapan menemukan diri sendiri, bagaimana bisa menemukan clarity akan ke mana, bukan tujuannya, tapi clarity-nya.

Tuh kan, jadi kalau ditanya ngelab sampai gelap, bahkan weekend juga ngelab demi apa (kalau alay : miapah?) atau kerja sampai lembur-lembur di kantor demi apa? Pergi meninggalkan keluarga beberapa lama, demi apa? Pengen gendut demi siapa?#eh hihihi..
Jelas kan claritynya?

Selamat membincangi diri sejenak, kawan. Jangan-jangan “ia” kangen lama tak kau bincangi.

Salam cinta dari Glasgow.

 

Glasgow, 20 November 2012 10.30 pm

 

Senin, 19 November 2012

Random



 
“Kau tahu Rei, bahagia ada dua jenis, bahagia yang tidak berdetak dan bahagia yang berdetak.” terangmu tiba-tiba di suatu senja di Chaopraya. Ah kau rumit, bahagia ya bahagia saja, kenapa harus kau perumit sedemikian rupa? Tapi aku masih tetap runtut mendengarkan tuturmu.
            “ Kata mamak, pilihlah lelaki yang mencintaimu walau kau tak mencintainya. Ia akan selalu ada untukmu, maka hidupmu akan bahagia nak. Begitu kata mamakku selalu, tapi aku tak ingin mengambil pilihan itu.” Lanjutmu lagi.  
            “ Pasti mamakmu itu dulu tak begitu cinta sama Papi kamu yah?” tebakku. Satu sesapan strawberry milkshake kembali memerahkan senja kita. Kita, yang telah lama tak bersua, hingga akhirnya dipertemukan di Chaopraya.
            “ Kok kamu bisa nebak gitu?” gelakmu dengan mata yang memicing sedikit. Ah, Alea..tak sulit mencari tahu nilai yang dipegang seseorang. Jangan pernah bilang masa lalu adalah lembar-lembar yang harus dilupakan atau hanya disimpan. Tak kau sadarikah banyak pijakan hidup dan nilai yang bertumbuh dari masa lalu seseorang?
Aku hanya tersenyum, dan aku tahu kau memahaminya.
            “ Mamak sama Papi baik-baik saja. Pernikahan mereka bertahan sampai Papi meninggal setahun lalu, Rei. Tapi aku rindu binar cinta di mata Mamakku.” Begitu terangmu.
            “ Lalu apa Alea? Bukankah semua baik-baik saja? Mamakmu bahagia bersama Papimu, sudahlah.” Tanganku meraih pisau dan memotong pizza di piring menjadi potongan kecil. Perutku lapar sedari siang.
            “ Ada kalanya saat engkau bersama seseorang, engkau seperti melesat-lesat seperti bunga api. Dunia takjub melihat tertawamu yang riuh, senyummu yang membuncah. Yang tak perlu tahu bagaimana semuanya itu tercipta, hanya dengan bersamanya saja. Bersamanya saja. Mau kau tukar dengan apa rasa semacam itu?” katamu dengan pandangan mata yang lurus padaku. Suapan pizza ke mulutku terhenti.
            “ Lalu maksudmu apa? “ aku seperti tak mengenali Alea, sahabatku semenjak kuliah sarjana itu.
            “ Rei, setiap orang berhak memilih apapun macam kebahagiaannya, dan aku memilih yang kedua. Tidak salah bukan?” tanyamu. Ah Alea, semoga semesta mendukungmu. Senja sudah hendak berganti malam di Chaopraya. Kerlip lampu-lampu di jalanan itu mengingatkanku akannya.  Bahagiaku yang berdetak. Tiba-tiba aku ingin segera pulang.***
 
----
Aku menarik lagi duvet bunga-bunga, menyelimutiku tubuhku. Hangat perlahan menjalari. Lama rasanya tidak menikmati sensasi semacam ini. Tenang yang menenangkan, yang harmoni. Aku menghentikan waktu sesaat.
Irama I wanna grow old with you-nya Adam Sandler mengalun liris. Aku tersenyum, menikmati setiap nada-nadanya. Rasamu kamu dekat, mas.
 
 
I wanna make you smile whenever you're sad
Carry you around when your arthritis is bad
All I wanna do is grow old with you
I'll get your medicine when your tummy aches
Build you a fire if the furnace breaks
Oh it could be so nice, growing old with you
 
Aku baru sadar lama rasanya tak menikmati rasa seperti saat ini. Entah mataku terpejam atau tidak, hanya merasa hidup dalam kekinian tanpa terasa risau akan esok, tanpa terlalu tenggelam dalam masa lalu. Butuh orang-orang pemberani untuk hidup untuk hari ini.
Yunani berderap sesuai irama waktu yang terus melaju. Suhu udara sudah sering merambati titik nol akhir-akhir ini, dingin menelusup. Ah, kangen kamu, mas. Harusnya aku bisa menelusup dalam pelukmu, menciumi bau aftershave-mu yang selalu sanggup menentramkanku. Tak peduli kau yang tengah asyik membacai jurnal terkini, aku cukup bersembunyi dalam pelukmu sampai keesokan pagi. Lalu dengan isengnya kau membangunkanku dengan meniupi kupingku. Kau, dengan telur dadar istimewamu, dengan ratusan cerita jenaka basimu yang selalu sanggup memancing gelakku. Kita, aku kangen kita. Yang pernah bertukar teriak kala berarung jeram si Sungai Elo, bertukar ciuman hangat di hadapan Menara Eifel, bergidik dingin di sapu derai hujan di pedalaman Kalimatan, dan sama-sama beku di Lapangan Merah Moskow. Aku rindu kita. Seperti belasan tahun yang lalu, saat kau masih bersamaku dalam dunia yang sama. Tapi Tuhan lebih cinta kamu.
I still..wanna grow old with you. Bersama kenangmu. ***
 
-----
 
            Aku tak mengerti isi suratmu yang kau kirim terakhir kali. Padahal kuharap surat itu berisi betapa beratnya engkau meninggalkanku, sejenis surat perpisahan yang manis, atau sesuatu yang mengharapku menahanmu pergi. Tapi tak kutemukan satupun kalimat-kalimat itu sama sekali. Hiduplah dengan baik, berpijarlah bagi dirimu sendiri dan orang banyak. Hanya itu tulismu. Kenapa tidak berpijar untukmu saja, Sita? Aku ingin berpijar untukmu, menerangi jalanmu, pemandumu, penghalau onak di jalanmu.
            “ Mungkin kau berpijar terlalu silau untuk kutampung sendirian, berpijarlah untuk banyak orang,” katamu di sudut kedai kopi di tempat kita biasa bertemu. Sembunyi-sembunyi.
            “ Aku ingin nyalamu, Sita. Pijarmu hidupkan hidupku dengan benar-benar hidup,” aku masih ingat kataku sekali itu. Engkau tersenyum kala itu Sita, manis sekali. Kau tau kenapa aku sejenak memejamkan mata beberapa detik setelah engkau tersenyum? Aku ingin merekam senyummu, pijar di hatiku yang tak pernah redup.
            “ Mungkin bila bersama, kita berdua terlalu terang, menyilaukan. Mungkin kita harus berbagi cahaya, mas.” katamumu, masih dengan parasmu yang selalu debarkan hatiku, Sita.
Harum vanilla khas tubuhmu masih melekat di hidungku, Sita. Senyum melengkungmu yang sanggup memijarkan seluruh hidupku masih terus di hatiku. Dan betapa ingin kugapai tanganmu, agar kita bersama. Tak peduli silau, redup atau gelap. Aku ingin bersamamu, Sita. Selalu. Tapi tapak terakhirmu sudah tak kulihat lagi. ***
 
Yak, anda tersesat di antara tulisan random di atas, Selamat ;p

Glasgow, 18 November 2012