Sehabis
shubuh ini aku mengintip tulisan di blogmu lagi. Sepertinya jemariku sudah
mempunyai gerakan bawah sadar untuk membuka link itu di Hpku, dan segera
membacai tulisanmu lagi. Terkadang
berharap kau menulis tentang aku lagi, walau tak pernah kau sebutkan
sebuah nama, tapi aku tahu pasti sosok yang tengah kaubicarakan itu aku. Aku yang
telah menjadi hantu-mu bertahun-tahun lamanya. Namun pada saat yang sama, ada
harapan untuk tak lagi menemukan tulisan tentang aku dalam catatan dunia mayamu
itu. Sungguh, walau harapan itu terkadang disertai desir perih dalam hati.
Desir itu sepertinya berupa ketidakrelaan yang manusiawi.
Aku,
yang selalu diam-diam masih sering menengoki hidupmu sejak 10 tahun terakhir
ini. Terkadang hanya memastikan setelah berpisah denganku engkau baik-baik
saja. Baik-baik saja, sesederhana itu
sebenarnya. Tapi entah mengapa keadaan “baik-baik
saja”mu itu tetap salah satu hal yang penting dalam hidupku. Entah, untuk
yang satu ini aku tak pernah punya sebuah penjelasan yang pasti.
Setanggi
Timur, perempuan yang dulu kupanggil Anggi. Manis ya namamu, seperti juga parasmu
itu. Hidup menciptakan sebuah perlintasan untuk kita agar pernah bertemu dalam
sebuah harmoni. Kereta kita pernah melaju beberapa waktu, sampai rel kita
terputus. Aku hilang dari duniamu. Kau juga menghilang dari duniaku.
Tapi
kau tak pernah tahu bahwa aku sebenarnya tidak pernah benar-benar menghilang. Aku
masih mengintipi duniamu. Masih melihat timeline
jejaring sosialmu yang untungnya masih kau-set publik, hingga aku masih bisa
menengokinya. Ada desir dalam hatiku saat melihat engkau bertumbuh menjadi
perempuan yang sebegitu tangguhnya, dan manis tentunya. Desir itu bukan lagi
desir keinginan untuk melajukan kereta kita berdua lagi, Anggi. Tapi desir
kelegaan bahwa bahwa engkau hidup dalam kebaikan dan kemandirian, walau ada
kehampaan yang sayangnya justru aku yang ciptakan.
Kau
tahu berapa banyak orang yang mencintai dan akhirnya bisa bersama dengan
pasangan yang dicintainya? Aku tidak tahu, tapi mungkin juga tidak terlalu
banyak, dengan alasan yang aku tidak tahu kenapa. Tapi aku pernah mendengar bahwa
kita akan bersama dengan orang yang lebih membutuhkan kita. Mungkin itu benar,
Anggi. Mungkin memang benar bahwa perempuan yang bersamaku kini lebih
membutuhkanku dibandingkan kamu. Dan kau mungkin juga lebih membutuhkan lelaki
yang saat ini pelan-pelan berupaya menggantikan aku.
Desir
di hatiku kembali muncul saat kata “menggantikan”
menggema. Aku tak tahu pasti apa. Apakah kita berdua sebenarnya belum benar-benar saling rela?
Entahlah, aku yang terbiasa menghantuimu, walau tahun-tahun kita sudah lewat. Walau kenangan yang berkarat itu masih juga kau simpan rapat-rapat. Tak tahu jua mengapa engkau masih menggengam erat aku yang walaupun tak kau pasti tahu kabar beritanya. Terkadang aku tak memahami jalan pikirmu. Tapi masih saja kujumpai hantuku yang hadir dalam tulisan-tulisanmu, dan tentu pula masih hadir dalam hatimu. Kau tahu rasanya sedih dan bahagia sekaligus, Anggi-ku? Seperti itu pula rasaku.
Entahlah, aku yang terbiasa menghantuimu, walau tahun-tahun kita sudah lewat. Walau kenangan yang berkarat itu masih juga kau simpan rapat-rapat. Tak tahu jua mengapa engkau masih menggengam erat aku yang walaupun tak kau pasti tahu kabar beritanya. Terkadang aku tak memahami jalan pikirmu. Tapi masih saja kujumpai hantuku yang hadir dalam tulisan-tulisanmu, dan tentu pula masih hadir dalam hatimu. Kau tahu rasanya sedih dan bahagia sekaligus, Anggi-ku? Seperti itu pula rasaku.
Tapi
mungkin ini saatnya, hantu itu pelan-pelan menghilang. Biarkan aku mengamatimu dari jauh, dalam diamku
yang tak pernah kau tahu. Juga sebaris doa di akhir sujudku yang terlantun juga
untukmu selalu. Sebaris doa yang sungguh terbit dari dalam hatiku, entah sebagai
apa. “Semoga engkau baik-baik saja,
Anggiku-
Ah akhiran –ku itu seharusnya harus pelan-pelan kuhilangkan.
Ah akhiran –ku itu seharusnya harus pelan-pelan kuhilangkan.
Semoga engkau baik-baik saja,
Setanggi Timur.
Terkadang
cinta bisa diwujudkan dalam doa. Semoga dengan doa ada ikatan benang antara dua
manusia yang walau bagaimanapun takdirNya masih bisa saling menyapa. Saling
menyapa dalam doa.
(Sebuah
Tulisan untuk Seorang Sahabat)
2 Komentar
Berharap dia tahu :'(
BalasHapus*tapi pentingkah itu?
uhuk uhuk hehe :))
BalasHapus