Kamis, 25 April 2013

Berjalanlah, Ber-arah-lah, Bertumbuhlah




Hidup bagi manusia bila dimatematiskan mungkin serupa kumpulan dari kejadian yang kita jalani per detik, per menit, per hari, per minggu, per tahun. Momen per detik itu tadi suatu saat akan membentuk jejaring sebentuk kenangan. Jalan di belakang kita adalah serangkaian kenangan, hidup sebenar-benarnya adalah pada detik ini, ada jalan ke depan yang masih dalam angan adalah serupa masa depan.
Mungkin ada manusia yang hendak membuang bagian-bagian dari masa lalunya karena mungkin terasa menyakitkan atau tidak mengenakkan. Tapi bila hidup adalah perjalananmu dengan waktu, dan kenangan adalah perjalananmu yang terdahulu, bukankah ada tangga-tangga yang hilang bila ada bagian yang terbuang? 
Misalnya bila suatu saat kita ada dalam suatu perjalanan, lalu ban mobil kita tiba-tiba gembes, tertusuk paku, atau oleng sedikit tiba-tiba menabrak tiang, atau kita salah arah. Apakah kita akan melupakan itu semua karena hal-hal tersebut seringkali adalah hal-hal yang tidak menyenangkan? 
Bukankah hal-hal tersebutlah yang memperkaya perjalanan? Letihnya akan membuat pencapaian akan titik perjalanan tertentu menjadi terasa lebih berharga? Walau manusia lebih cenderung lebih suka mengingat yang sukaria, kegembiraan dibanding dengan kesedihan, kedukaan, ataupun nestapa. Tapi bila kita mau belajar, bukankah semua rasa itu berasal dari sumber yang sama?. Kesedihan adalah kegembiraan yang belum terungkap wajahnya, karena dengan kesedihan, kita mampu menampung kegembiraan sama dalamnya. Bila di jalan kita tidak menyelesaikan masalah ban yang kempes, perjalanan kita di penghujung kota mungkin akan terasa biasa saja. Kesedihan serta masalah adalah cara-cara hidup untuk mempersiapkan kita untuk merasai kegembiraan dan kemenangan dalam porsi yang sama. Jadi bukankah semua rasa bersumber sama bila kita mau berpikir, mau “Iqro” membacai kehidupan?
Bayangkan bila engkau tiba-tiba masuk ke dalam lorong waktu, melesat kemudian tiba-tiba ditempatkan dalam posisi suatu titik, pada suatu tempat? Tanpa adanya cerita perjalanan di setiap jengkalnya, tanpa ada bekal pembelajaran di setiap tikungannya, Bukankah titik tempat kau berdiri kini menjadi terasa begitu hampanya. Apa bedanya dengan titik yang kau injak sebelum memasuki lorong waktu dengan titik yang kau injak sekarang?
Bila menilik hal tersebut, bukan perjalanan dengan segala cerita, segala masalah dan warna warni rasa itu menjadi penting?
Manusia bukan mahkluk yang seharusnya hidup hanya dengan perulangan-perulangan. Rutinitas-rutinitas harusnya pun mengalami transformasi bukan sekedar menjalani hal yang sama setiap harinya. Manusia dibekali cipta, karsa, rasa untuk menggelindingkan perubahan, untuk mewarnai semesta dengan karya-karyanya, untuk memaknai dengan rasa setiap transformasi perjalanan hidupnya. Bertumbuhlah ! 
Hidup ini terus berjalan, bahkan saat kita ingin menghilang pun, hidup ini tetaplah berjalan. Seberapa lama engkau berjalan mungkin sepadan dengan jumlah angka usiamu, bila hidup dimaknai dengan hitungan detik yang telah dijalani. Tapi seberapa jauhnya? Seberapa bermaknanya? Ukuran-ukuran itu akn menjadi berbeda setiap manusia.
Apalagi bila seseorang tidak pernah menyadari bila hidup adalah perjalanan, mungkin ia memandangnya sebagai perulangan rutinitas, sebagai serangkaian hari dimana ia harus bertahan hidup. Ada yang bilang menjalani hidup mengalir seperti air, namun kadang ia lupa bahwa air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Manusia-manusia yang berjalan tanpa peta, tanpa arah mungkin memang akan sampai ke suatu tempat, namun ia gamang karena tak tahu pasti apa sebenarnya ditujunya.
Manusia berlarian, bekerja, berkejaran dengan waktu, dengan deadline, kemudian lelah, istirahat sejenak lalu berlarian lagi. Ada suatu perulangan terus menerus di sini. Hampir setiap manusia bergelut dengan ritme seperti ini setiap hari. Tapi mengapa engkau bisa menemukan seseorang dengan pertumbuhan diri yang terus melaju dengan segala ritme rutinitas dan keseharian hidupnya? namun kadangkala menjumpai pula orang yang terlihat stagnan ataupun hanya pelan bergerak lajunya.
Manusia yang berjalan ke suatu tempat, tahu apa yang hendak ditujunya, tahu apa yang diinginkannya pasti akan merasa bergerak, melaju setapak demi setapak menuju apa yang ditujunya. Berbeda dengan manusia yang bergerak tanpa tahu apa yang ditujunya, untuk apa ia berjalan, untuk meraih apa, ia akan berjalan tanpa arah dan seringkali memaknai perjalanan adalah rutinitas langkah demi langkah.
Kedua jenis manusia itu bukankah sama-sama berjalan? Maksudnya sama-sama menjalani detik demi detik hidupnya? Tapi bukankah ada jurang perbedaan yang begitu dalamnya.?
Bila engkau hampir sampai di penghujung, dan menengok perjalanan di belakangmu lebih panjang dari pada jalan yang mungkin tersisa di depannya. Lalu tiba-tiba menyadari ada jalan-jalan yang semestinya engkau tempuh tapi tidak engkau tempuh. Ah, semoga kita tidak terjebak dalam suatu penyesalan karena ketidakberanian, karena kepengecutan, karena ketidakpercayadirian, karena bersembunyi di balik alasan-alasan. Bukankah lebih baiknya manusia selagi masih diberikan waktuNya, lebih sering menanyai dirinya sendiri kemana ia ingin  melangkah? Hal-hal apa yang memaknai hidupnya? Dan apa yang membuat diri kita dan hidup terasa bermakna. 
Hidup akan berubah menjadi tumpukan detik-detik yang kaukumpulkan tanpa makna bila engkau gagal memaknai semuanya.
Hiduplah, berjalanlah, melajulah, bertumbuhlah ke arah yang lebih baik dan menunjukkan yang terbaik dari dirimu sendiri.
Hingga hidup, adalah perjalanan ke dalam dirimu. Mari berjalan dan terus berjalan, dalam pertumbuhan yang lebih baik.
Saya, dalam perjalanan ke dalam diri saya sendiri.

Ndalem Pogung, 25 April 2013. 

Selasa, 23 April 2013

Menjajal Menu The House of Raminten Yogyakarta


Saya dan pisang bakar strawberry..yahuiii

Bu, ketemu jam 1 siang ya di Raminten” begitu bbm anak saya, si ica. Sudah dari jam 3 pagi dalam perjalanan pulang saya dari Malang si Ica itu sudah menanyakan jadi enggak mau ketemuan ehehe. Anak itu seperti sudah kebelet banget curhat sama simboknya ini. Dia bersama tiga orang temannya jalan-jalan ke Jogya dari Jakarta dan dia menyempatkan untuk ketemu dengan saya. Dan pas Ica menyebut Raminten, saya pun mengajak Mba Rahmi untuk ikut serta. Sudah lama saya pengen mencobai makan di Raminten karena mendengar rekomendasi dari beberapa kawan yang pernah berkunjung ke sana.
The house of Raminten ini terletak di Jalan FM Noto Kotabaru Yogyakarta, didirikan oleh Hamzah HS, dan nama Raminten itu diambil dari nama peran yang diperankan oleh Hamzah di Sitkom Jogya TV. Konsep “Unique, Antique and Elegant” dicoba diusung sebagai trademark The House of Raminten ini. 

Ini dia pesanan tahap pertamaaa...tadaaaaa,,,
Begitu masuk Raminten, aura tradisional memang terpancar kental. Alunan gending jawa, harum wangi dupa dan pelayan-pelayan dengan mengenakan pakaian tradisional jawa. Sedangkan pelayan perempuannya memakai kemben.
            “ Mas tu hobi ke Raminten soalnya pelayannya pake kemben” kata sahabat saya pada pacarnya saat kami berkumpul bersama-sama. Lalu kami tertawa bersama sama waktu itu.
Nah, kali ini kulihat sendiri pelayan perempuannya pakai kemben. Wui seksi dong? Ah enggak juga. Kembennya masih nggak horor, dan juga kesan dan definisi seksi bagi saya mungkin jauh dengan anggapan orang kebanyakan.
            Nah untuk makanan dan minumannya juga bervariasi dan yang penting itu harganya standar kantong deh. Saya memesan es carica, mendoan, pisang strawberry, sate telur, sate rempela ati..eits saya doyan makan amat! Untuk soal rasa, untuk minumannya lumayan di atas rata-rata enaknya. Artinya memang variasi menu minumannya dibilang yahud, porsinya juga large, sementara harganya standar. Pokoknya untuk menu minumannya jempolan deh. Untuk rasa makanannya saya nilai standar saja, artinya memang tidak terlalu istimewa dibandingkan dengan tempat lainnya. Tapi ada menu-menu unik yang mungkin kalian penasaran untuk mencoba seperti Ayam Koteka (nah lho kayak apa bentuknya?), Es Melankolis, Wedang gajah ndekem, Cunduk Raminten dan masih banyak lagi yang unik-unik.

Pilihan Menunya...Monggo dipilih

Tempat ini memang cocok untuk kongkow ngobrol lama-lama sambil makan dan minum. Tempatnya lumayan nyaman, ada berbagi pilihan tempat yang disediakan, termasuk di tingkat dengan hawa yang lebih segar. Kalian bisa lesehan dengan tatami khas tikar jepang, atau duduk dengan kursi. tKalian tinggal pilih dimana yang nyaman untuk kongkow bersama teman-teman.

With Mba Rahmi

Nah siang itu, kongkow bersama si ica diisi dengan cerita panjang lebar ica yang sudah lama ingin diluncurkan. Begitu pesan makanan, langsung deh cus cerita berhamburan darinya. Dan seperti biasa ritualpun berulang. Harusnya saya pasang tarif yah per sesi konsultasi ahahaha #kidding. Saya memang menikmati tiap orang-orang berbagi ceritanya pada saya. Satu hal yang saya pelajari, bahwa terkadang orang itu hanya butuh didengarkan. Bagaimana diri kita sepenuhnya “ada” untuk mendengarkan orang yang sedang bersama kita. Kadang orang ada tapi sebenarnya sebagian dirinya pergi kemana-mana. Tidakkah familiar di penglihatanmu, bila ada orang yang sedang bersama tapi salah satunya sibuk berulang kali dengan gadjetnya? atau pandangannya terlalu sering mengarah pada arah lain. Dia ada di situ, tapi seutuhnya dia tidak benar-benar ada di situ. Saya belajar bagaimana mendengarkan dengan baik, dengan sepenuh-penuhnya ada bersama orang yang bersama saya. Pandang matanya saat bicara, perhatikan mereka, seakan kita di situ memang benar-benar untuknya. Sebetulnya diri kita juga sangat peka dan merasa, apakah orang yang kita ajak bicara sungguh-sungguh mendengarkan kita atau hanya selintas dengar saja.
Saya masih ingat, sahabat saya Ustadz Arian yang menemui saya di kantor untuk membicarakan acara Launching bukunya, sempat sok protes saat saya mengalihkan perhatian dan beberapa kali membalas whataps di ponsel saya.
            “ Aih Gue dicuekin nih” katanya setengah protes walaupun saya tahu dengan nada bercanda.  Ahaha, ampun deh padahal cuma sesekali saja whataps-an denganmu kala itu #ups.
Begitulah, orang lain akan peka dan merasa kehadiran kita dengan sepenuh kesadaran untuk “ada “ atau tidak. Kemudian selain mendengarkan dengan baik juga saya menghindari untuk melakukan “penghakiman” pada orang curhat pada saya. Kadang kita secara bawah sadar akan segera melontarkan penghakiman ataupun pendapat-pendapat menurut “kacamata” kita dengan nada yang berkesan ofensif.
            “ Kamu nggak bisa dong kayak gitu terus, harusnya kan...bla..bla...”
            “ Stop deh bertindak kayak gitu, apa kamu nggak mikirin diri kamu sendiri bla bla..”
Menurut saya, sebagus apapun, sebenar apapun saran kamu, orang yang kamu ajak bicara lebih cenderung menganggap pendapat atau saranmu sebagai bentuk ofensif yang menyerangnya. Alih-alih akan mendengarkan saranmu, justru orang itu akan cenderung defensif. Dia akan mundur pelan-pelan, dan saya ragu apakah orang itu akan berbagi cerita lagi denganmu. Inilah bagi saya unik dan menariknya seni berkomunikasi sekaligus seni “rasa” berinteraksi dengan orang lain. Tentu saja saya masih tahap belajaran. Mungkin itulah kenapa sejak kuliah dulu, di antara bala kurawa saya, saya dipanggil “simbah” oleh mereka walaupun saya umurnya paling muda. Dan sekarang saya menikmati dipanggil “Bue”, “Ibu”, “Kak”, “Mba”.
            “ Nggih, Bue” sebut seorang ex-mahasiswa saya yang sekarang bekerja di Kalimantan. Saya sering senyum-senyum membacanya.
Tapi biar kamu saja yang memanggil saya “adek’ #eaah lost focus!

With Ica
Kini saya sering terkaget-kaget dengan curhatan orang-orang yang beraneka macam. Mulai dari yang ABG, Mahasiswa, yang beranjak dewasa, yang sudah menikah, yang punya anak, yang punya mertua unik, yang mau bercerai, yang broken home, dll. Orang bercerita pada kita, karena hanya dengan benar-benar didengarkan saja, bebannya akan berkurang. Orang kadang tak meminta penyelesaian, cukupkan saja pendapat-pendapat kita bila memang diminta. Interaksi saya dengan mereka semua itu semakin meyakinkan saya bahwa kita tak berhak untuk menghakimi siapapun, karena kadang kita tidak tahu cerita di balik si individu tersebut. Kita tidak benar-benar tahu apa yang terjadi. Jadi siapalah kita yang serta merta menghakimi seseorang?
            “ Bu, kayaknya banyak banget ya yang curhat sama ibu. Lah trus ibu nampung sebanyak itu trus curhatnya sama siapa?” iseng si Ica nanya begitu. Ahaha saya cukup menjawabnya dengan seulas senyum saja.
Sore itu, diiringi hujan di sudut Jogya saya menikmati kebersamaan saya dengan cerita-cerita orang dekat saya. Dan bersyukur mereka hadir dalam hidup saya, dan mau berbagi cerita. Sekitar pukul 4 ica dijemput lagi oleh temannya untuk segera ke Stasiun Tugu menuju Jakarta.
Dan usailah acara temu kangen di Raminten sore itu. Tempat yang lumayan asik untuk kongkow, minum makan dan berbagi cerita.
Di depan The House of Raminten

Semoga hidup kalian semua kaya oleh kasih orang-orang terdekatmu.
Salam kasih.
 




Senin, 22 April 2013

Mengunjungi Malang/Mengulang Kenang (Day 2)



Hari kedua di Malang, paginya diisi dengan bersantai di hotel, membungkus kado dan menikmati secangkir kopi. Oh ya, saya ingin menceritakan tentang penginapan saya ini. Saya tahu tempat ini dari suggest Mba Nurhay, dosen sekaligus teman saya yang memberikan nama Enny’s Guest House dan no kontaknya. Sebelumnya saya sudah ngintip-ngintip dulu di websitenya dan saya pikir cukup lumayan untuk dicoba. Dan setelah menempatinya, kesan saya tidak salah. Terletak di area kota yang mudah sekali terjangkau, di Taman Wilis yang gampang untuk mengakses area-area kota Malang.  Saya masih ingat, dulu sering mampir ke tempat jual buku di Wilis yang harganya miring, atau jalan kaki ke daerah Kawi yang saat malam menjadi kawasan wisata kuliner yang yahud untuk dijajal. Untuk harganya, saya pikir standar dan terjangkau. Untuk kamar yang saya sewa, saya pesan kamar standar dengan bigbed seharga 200 ribu/malam. Fasilitasnya lumayan, ada TV, kipas angin, dan kamar mandi dalam. Untuk air putih, air hangat, gula, teh, kopi, cream tersedia di ruang makan.


Ini dia foto kamarnya :)
Enny’s Guest House sendiri suasananya sangat hommy, itu yang saya suka. Penataannya asri, hijau dan ada kesan tradisional yang kental. Begitu saya memasuki guest house ini, suasana yang menyenangkan langsung terasa. Beberapa bule bersantai di teras dengan secangkir teh dan obrolan hangat. Beberapa orang lainnya ada di lobi nampak hangat berbincang-bincang. Pelayanan stafnya juga cekatan dan ramah. Yah, menurut saya lumayan deh buat kalian-kalian yang membutuhkan tempat menginap dengan fasilitas standar dengan harga yang terjangkau. Setahu saya pilihan kamarnya pun bervariasi, ada yang lebih bagus lagi, atau kalian mau mencoba kamar tradisional dengan bambu? Nah di guest house ini juga ada kamar eksotis bamboo room yang nyaman ini dengan harga 325 ribu/malam. Ini saat saya berfoto di depan kamar tersebut, asik bukan?

Di depan Bamboo Room
Ehehe iyah, sebelum berangkat resepsi saya tak menyia-nyiakan lokasi guest house yang lumayan untuk latar foto. Pegawai-pegawai hotelnya pun sangat ramah, bahkan membantu mengambilkan foto berdua dengan sahabat saya di bungalow santai yang nyaman ini


Bersama Mba Rahmi di tempat leyeh2nya Enny's Guest House


            “ Mba, foto-foto di  atas mba di kamar bambunya..bagus lho mba,” kata si bapak pegawai Enny’s Guest house.
            “  Nanti saya promosikan deh tempat ini, pak” gurau saya pada para pegawai guest house tersebut.
            “ Nanti kalau ke sini lagi, kita kasih diskon mba,” balas gurauan mereka. Jadilah saya menjelajah guest house itu, sampai agak lupa kalau saya harus ke resepsian segera. Setelah check-out, saya menitipkan barang-barang di guest house dulu, dan menelpon taksi.
Dan sambil iseng menunggu taksi, si mba rahmi masih asik asal jepret-jepret saya.




Kalau ini di meja-meja samping bisa buat ngupi2 sambil ngobrol
Lalu taksi membawa kami ke resepsi di Gedung Cakrawala, Area kawasan Abdurahman Saleh. Dan begitu taksi merapat ke gedung, saya bisa melihat Nuning yang ada di deretan penerima tamu. Ah, akhirnya bertemu juga. Begitu saya keluar dari taksi, dia menyambut saya dengan pelukan hangat.
            “ Ah, ada tamu dari Inggris” teriaknya sambil cepat-cepat keluar dari kursi penerima tamu untuk menyambut saya. Ah ah, senangnyaaaaa. Saya dan mba rahmi kemudian masuk ke dalam gedung dan mengucapkan selamat pada Dik Dian dan keluarga. Bapak dan Mama menyambut saya dengan hangat, bahkan Mamanya Nuning masih sempat bilang :
            “ Wah mba siwi, tapi hari ini nggak ada sambel teri lho ya,” kata beliau menggoda saya. Hihi, masih ingat saja masakan kesukaan saya, sambel teri. Dulu saat menginap di rumah, Mamanya Nuning sering memasak sambel teri dan membuat saya makan dengan lahapnya. Usai berfoto bersama, kami menikmati sajian yang disediakan sambil ngobrol dengan Nuning. Lama tidak bertemu rasanya ingin banyak bertukar cerita. Lumayan juga ngobrol-ngobrol sambil dia wara wiri karena banyak yang ingin ketemu. Maklum saja dia pulang tak dinyana dari Belanda, jadi banyak saudara-saudara atau sahabatnya yang ingin bertemu dengannya. Sekitar jam 1 siang, saya menelpon taksi untuk kembali ke guest house, tapi sebelumnya foto berdua dulu dengan Nuning yang begitu cantik dandan dengan kebaya birunya

Reunion with Nuning
Sedangkan saya, mengenakan gamis brukat hijau kekuningan dengan kombinasi opnaisel merah keunguan. Saya naksir pada gamis itu pada pandangan pertama di Carita Jogyakarta. Paduan kombinasi warnanya saya suka, begitu pula model aplikasinya, jadi tak tahan untuk tidak membelinya. Sedangkan untuk kerudungnya, simpel saja saya memakai kombinasi dengan dua kerudung paris segi empat yang saya punya. Cukup dengan memakai kerudung dasar paris warna hijau yang serupa dengan gamisnya kemudian dililit kerudung paris  merah keunguan yang sama dengan warna kombinasinya, lalu tinggal menyematkan bros bunga-bunga. Hihi, saya memang hobi memadupadankan gaun. Biasanya saya jahitkan kain dan sesuaikan dengan model kombinasi yang saya suka. Tapi saat nemu gaun yang bikin naksir hati ini, langsung embat saja hehe. Soal padu padan, saya sering menikmati jadi sok konsultan mode temen-temen yang mau kondangan ataupun menghadiri sebuah acara. Lucu juga bila sahabat bbm pas di tanah abang milih warna batik, aksesoris dan menunjukkan foto tampilan saat acara. Aih, obrolan perempuan sekali!
Usai mengambil barang di guest house, taksi kemudian meluncur ke Toko Oen, tempat janjian saya dengan mba Nurhay. Dia itu sebenarnya dosen pelatihan bahasa Inggris saya dulu di Malang, namun karena seusianya hampir sama (sesama angkatan 99) jadi usai pelatihan, hubungannya layaknya seperti teman saja. Jauh hari saya sudah ngabari kalau mau ke Malang, agar dia bisa menyempatkan waktu untuk ketemu. Hujan deras mengguyur malang kala itu, dan mba Nurhay belum terlihat juga. Saya kirim bbm nggak terkirim, sedangkan hpnya saya telpon juga nggak nyambung. Akhirnya saya dan mba rahmi memesan minum dan makan duluan. 

Pesanan Es Krim Oen
Saya memesan es krim peach, dan soup jagung, telur, kepiting cocok untuk cuaca hujan. Saat menikmati es krim peach saya, tiba-tiba telpon saya berbunyi, no telpon asing dengan kode negara aussie. Humm aneh siapa yang menelpon? tapi pun tetap saya angkat.
Aih, ternyata mba evi (dosen pelatihan di UM Malang juga) yang menelpon dari Aussie mengabarkan bila Mba Nurhay baru saja kehilangan BBnya. Oalaah kasian banget Mba Nurhay yang sambil menunggu waktu ketemuan dengan saya, ia jalan-jalan sebentar. Eh malah Hpnya kecopetan, pantesan saya saya kontak tidak berhasil. Akhirnya Mba Evi berperan sebagai informan pada mba nurhay untuk menemui saya di Oen. Keren banget yak, janjian aja ditelpon dari Ausie ahaha. Sedangkan menurut cerita mba nurhay setelah ia datang, setelah kehilangan BBnya dia segera mencari akses internet untuk memberi kabar. Kebetulan mba evi online, kemudian memintanya untuk menelpon saya. Karena no hp saya ganti, dan mereka nggak tau no hp saya yang baru, maka Mba Evi nelpon dulu ke sahabat saya di Semarang untuk minta no hp saya. Yaah jalannya panjang : Malang-Aussie-Semarang, baru bisa kontak saya. Teknologi memang luar biasa.
Ah, walaupun baru terkena musibah kehilangan HP, syukurlah Mba Nurhay nampak baik baik saja. Ngobrol ke sana kemari layaknya teman lama. Dia memesan sekoteng untuk menghangatkan badan. Sementara saya memesan lagi kopi susu dan kentang goreng sambil menunggu waktu. Hehe kami memang berniat nongkrong menunggu hujan sambil menunggu waktu ke terminal.

With Mba Nurhay

Hampir jam 4 sore, mba nurhay pamit untuk kembali ke rumahnya di daerah Lawang. Ah ah, saya ingat kebun teh Wonosari di daerah Lawang, ingin ke sana lagi suatu saat nanti. Sebelum ke terminal, saya menyulap gamis dengan jeans untuk siap-siap ke terminal. Setelah sholat magrib di terminal, saya dan Mba Rahmi kembali menghampiri bis zena yang akan membawa kami kembali ke Jogya. Tempat tunggunya sudah berbeda dibanding dua tahun yang lalu saat meninggalkan kota ini. Hujan masih saja terus turun, ah..datang dan perginya saya di Malang terus diiringi hujan kota itu. Tepat pukul 19.00 malam, Zena melaju pelan meninggalkan Terminal Arjosari. Tapi saya masih terus menyimpan kota itu dalam hati saya. Suatu saat, saya akan mengunjunginya lagi.

** Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu yang belum sempat saya jawab.


Mengunjungi Malang/Mengulang Kenang (Day 1)



04.00. Jum’at. 12 April 2013. Terminal Arjosari, Malang

            Gerimis rintis menyambut kami begitu sampai di Terminal Arjosari, Malang. Hawa dingin khas Malang langsung menghampiri kulitku. Saya langsung menyalangkan mata ke sekitar terminal yang aku tinggalkan sekitar dua tahun yang lalu. Mengira-ngira perubahan bilakah ada, memutar lagi rekaman lama dan mencipta rekaman baru. Ini kali pertama saya mengunjungi Malang lagi, dan ada getar-getar hati yang tak bisa kupungkiri. Bahwa saya memang mencintai kota ini. Dengan bis Zena yang berangkat jam 20.00 semalam dari Terminal Giwangan, Jogyakarta, saya kembali mengunjungi kota apel nan sejuk ini. Saya sengaja mengambil opsi transportasi yang persis sama saat dulu saya terbiasa bolak balik ke Malang untuk pelatihan bahasa Inggris. Saya pun mengulang ritual yang sama, menaiki bis Zena, dan tiba di Terminal Arjosari menjelang subuh. Semuanya hampir sama. Terminalnya yang masih “buluk”, berantakan dan banyak calo-calo premannya. Tapi aroma sejuk kota ini juga masih sama. Ingin saya hirup udaranya dalam-dalam hingga memasuki tubuh saya bersama kenang lama. Suara adzan subuh dari masjib terminal pun sepertinya masih seperti dulu, dan membawa saya dan sahabat saya melangkahkah kaki ke arah masjid. Badan terasa sedikit penat, tapi mungkin raga saja sudah terbiasa dengan perjalanan, ia menikmatinya.
Kami tiba di masjid yang terletak  di bagian belakang terminal, dan masjid pastilah tempat yang nyaman dan aman untuk menunggu terang, begitu pikirku. Setelah sholat subuh, kami menunggu terang sambil leyeh-leyeh di masjid. Eh leyeh-leyeh itu maksudnya saya tidur hehe, sementara sahabat saya duduk bersandar ke tembok sambil mendengarkan lantunan ayat-ayatNya lewat headset sambil menjagai barang-barang kami. Namun ada insiden yang cukup tidak menyenangkan terjadi, yakni saat sahabat saya ternyata ketiduran sambil duduk, dan seseorang mengambil tas selempangnya yang berisi dompet, kartu atm dll. Untung saja, sahabat saya langsung sadar beberapa saat setelah kecurian dan mengejar orang tersebut. Beruntunglah tas itu beserta isinya berhasil kembali ke tangannya dengan selamat. Ah memang, dimanapun kita harus berhati-hati walaupun itu di dalam masjid. Apalagi bila di area terminal antar kota begini. Alhamdulillah, tas teman saya masih aman.
Hari sudah mulai terang, kami memutuskan untuk mencari kopi dan sarapan di kedai-kedai terminal, sambil memikirkan mau kemana setelah ini. Ah ah mau kemana? ehehe selamat datang pada duniaku, dunia serba tak terduga hihi. Gila aja ya, jauh-jauh ke Malang terus nggak tau mau kemana. Sebenarnya niat utama kedatanganku ke Malang kali ini untuk menghadiri resepsi kakaknya sahabat saya. Sahabat saya dan keluarganya sudah saya anggap seperti saudara, jadi pengen sekali hadir pada acara istimewa tersebut. Apalagi sahabat saya itu, Nuning, sengaja pulang dari Wageningen, Belanda di sela-sela studi masternya dengan diam-diam tanpa bilang dulu pada keluarga. Ceritanya dia mau bikin kejutan dengan tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya. Aish, kejutan memang selalu menyenangkan, termasuk saya pun senang dengan terlibat memesankan tiketnya dari Jakarta-Malang lalu Malang-Jakarta. Jadi, misi saya ke Malang memang untuk ketemu lagi dengan Nuning, sahabat saya itu, setelah lama tak bertemu sekalian mengulang kenang mengunjungi Malang. Rindu saya pada kota ini sudah menggila rasanya.
Sebenarnya tadinya saya dan Nuning ingin sekali bereunian di Eropa, karena saya kini tengah melanjutkan studi di University of Glasgow, UK sementara dia mengambil master di Wageningen University, Belanda. Tapi waktunya belum sempat, dan akhirnya kami bereunian dulu di Malang. Semoga terlaksana untuk reunian di benua biru itu suatu saat.
Tadinya saya akan berangkat sendirian, jadi memang saya tidak terlalu mempersiapkan rencana, kecuali sudah booking penginapan di Enny’s Guest House jauh hari. Niat saya hanya keliling-keliling sendirian lalu ketemu sahabat saya hari jumatnya, lalu sabtu ke acara resepsi, lalu ada janji dengan Mba Nurhay, dosen pelatihan saat saya pelatihan dulu lalu pulang kembali ke Jogya.
Tapi saya dan rencana memang selalu saling mengejutkan, karena perubahan adalah kata yang terlalu akbab bagi saya. Siang sebelum malamnya saya berangkat, sahabat saya, Mba rahmi tiba-tiba ingin juga ikut jalan-jalan. Mba rahmi itu sahabat saya saat menempuh master di Tropical Medicine UGM dulu, dan kini satu lab lagi di Mikro UGM. Hidup memang penuh kejutan kan? Maka saya pun memesankan tiket bis segera dan malamnya berangkat bersamanya. Dan karena ada partner jalan, sepertinya sayang bila cuma muter-muter nggak jelas di Malang. Maka saat Zena melintasi Pasuruan dengan kerlip bintang gemintang di luar jendela, saya bbm beberapa teman untuk mensuggest tempat wisata di Malang yang asik untuk dikunjungi. Rizka, teman saya menyarankan saya ke Selecta. Setelah sebelumnya dia terus menerus menggodai saya untuk pergi ke Bromo.
Ayo mba, sekalian ke Bromo, nanggung udah deket lho” godanya. Aih, saya sebenarnya sudah lama ingin sekali ke Bromo, dan dia sangat tahu itu, maka tak henti dia menggodaiku. Huhu, Bromo, salah satu wishlist wisata saya, tapi belum juga kesampaian. Rute ke sana sepertinya harus dipersiapkan dengan matang karena agak uniknya jalan. Jadi saya tidak terlalu berani nekad untuk ke sana tanpa persiapan. Bromo, tunggu saya untuk menjejakkan kaki suatu saat nanti!
Rizka, itu mahasiswi kedokteran unsoed dan saya dosen unsoed tapi hubungan kami tak pernah seperti dosen dan mahasiswi. Selain saya memang tidak  pernah mengajarnya, kami memang dipertemukan karena kesamaan interest akan eropa, buku, wisata dan filsafat. Beberapa kali kami nongkrong di cafe es krim, atau cafe coklat sambil ngobrol. Baiklah, saya akhirnya memutuskan untuk ke Selecta sesuai rekomendasinya sambil menunggu waktu check-in hotel tiba.
Masalahnya, bagaimana caranya menuju Selecta? #jreng.
Sambil menikmati secangkir kopi pertama pagi itu, saya bertanya pada si mba penjual kopi itu tapi dia menggelengkan kepala tidak tahu. Lalu sambil menunggu pesanan bakso Malang untuk sarapan, saya ke toilet dan nanya-nanya jalur ke Selecta pada si penjaganya.
            “Muter-muter mba kalau pakai kendaraan umum, nyewa mobil saja. “ terangnya. Sambil serta merta memanggil si bapak-bapak setengah baya dengan kaus hitam yang menawarkan jasa anter jemput.
            “ Anter aja atau anter jemput mba? Gampang nyewa mobil mba. Kalau seharian 300an lah. Kalau cuma anter 100 ribu. Jauh soalnya mba,” kata si bapak itu.
Weih, mahal juga. Kalau rombongan mungkin masih ok untuk sewa mobil, tapi kalau cuma berdua sepertinya kemahalan. Setelah berbasa basi dengan si bapak penyewa mobil saya kembali ke kedai untuk menikmati bakso Malang menu sarapan saya. Tapi otak saya masih berpikir, nanya ke siapa yang kira-kira menyebutkan informasi yang membantu.
Nah ada ibu-ibu yang keliatan baik (ahaha sok bisa baca muka orang) yang mau sarapan juga di kedai yang sama. Lalu dengan berbasa basi (aih, saya kebanyakan basa basi), saya nanya cara menuju ke Selecta pada si ibu itu. Eh, ternyata beneran si ibu itu baik.
            “ dari sini ke Terminal Landungsari dulu mba, trus dari situ naik angkot oranye ke arah Mbatu (Batu-red), nah ntar tanya-tanya di terminal angkot yang menuju Selecta,” Jawab si ibu itu.
Ah ah, sepertinya dengan keterangan itu maka Selecta bakal bisa dijangkau. Itung-itung jalan-jalan beneran pakai angkot.
08.30. Angkot A-L menuju Terminal Landungsari.
Cus, kita berangkat menuju angkot-angkot kecil mencari plat A-L (Arjosari-Landungsari). Eits dulu saya kalau mau ke kos saya dulu di Jalan jember no 5 juga naik angkot plat ini. Hiyaaa dan angkot AL membawa saya melintasi rute yang sama, jalan-jalan yang sama, dan kenangan kembali berhamburan. Termasuk saat saya lihat Jalan Jember dan kos saya dari jauh, jalan saya biasa jalan kaki menuju kampus pagi-pagi, Matos (Malang Town Square) tempat saya nge-mall dan makan bersama teman-teman, sementara tempat saya pelatihan dulu sudah pindah ke gedung yang baru. Saya benar-benar menikmati perjalanan menuju Terminal Landungsari walaupun saya belum mandi ahaha. Dengan ongkos Rp. 3500/per orang kami tiba di terminal Landungsari.
Nah dari terminal Landungsari, kami naik angkot berwarna oranye yang ke arah batu. Udara mulai terasa lebih sejuk, semilir anginnya bikin betah dan nuansa hijau-hijaunya sungguh memanjakan mata. Angkot kota Malang ini memang tidak terlalu nyaman, karena kecil, tempat duduknya sempit dan berdempet-dempetan. Hampir sama dengan angkot kota Purwokerto. Tapi memang itulah satu-satunya pilihan transportasi yang ada, kecuali kamu bawa mobil sendiri, naik taksi atau sewa mobil. Selain itu, memang harus sabar sedikit karena kadang lama, berhenti dulu menunggu penumpang penuh. Yaaah, nggak apa-apalah, itung-itung beneran jalan-jalan keliling pakai angkot ehehe,
Nah dengan ongkos Rp 3000/orang kami tiba di terminal batu. Nah, di terminal batu, kamu tinggal memilih jurusan mana sudah ada labelnya masing-masing. Hampir semua wisata kota Malang terkonsentrasi di daerah batu, jadi ada banyak sekali pilihan yang bisa kamu coba.
Nah, kami kemudian menaiki angkot berwarna ungu menuju Selecta. Saya sendiri belum pernah ke Selecta, dulu saat di Malang jarang juga jalan-jalan, lebih sering berwisata kuliner bersama teman-teman. Semakin menanjak, udaranya makin sejuk, hijaunya menentramkan. Saya melihat beberapa penginapan asri di sana, aih sepertinya sangat menyenangkan bila bisa menginap. Saya memang maniak dengan suasana asri, hijau, udara sejuk di dataran tinggi seperti di Batu, di Dieng-Wonosobo, Tawangmangu, ataupun Baturaden-Purwokerto. Betaaaaah pokoknya.
            “ Coba ya, nginep di sini, pagi-pagi di balkon, menghirupi udara segar, sambil minum secangkir kopi atau teh manis hangat. Atau nulis-nulis sambil memandangi perbukitan yang menghijau. Ditemani kamu,” kata hati saya bisik-bisik. Aih, abaikan ahaha.
Nah sampailah kami di Selecta akhirnya. Dengan ongkos Rp 3000/orang saja. Aih kalau dihitung-hitung murah ya, dibandingkan dengan sewa mobil yang 100 rebu tadi itu hihi *ngirit. Sesampainya di gerbang kami membeli tiket seharga Rp. 15.000/orang sambil menitipkan tas-tas kami. Hehe maklumlah kami langsung dari terminal ke sini jadi barang bawaannya cukup berat. Si bapak penjaga yang ramah itupun menyilahkan untuk menitipkan tas kami.
Dan kalian tahu apa yang saya lakukan begitu sampai? Mandi! Ahaha
            “ Ya ampun, jauh-jauh kemari cuma numpang mandi,” ledek Mba rahmi.
Aih, saya cuma ketawa-tawa saja. Badan lengket nggak enak, dan pula ingin ganti baju untuk siap-siap foto-fotoan di Selecta *haish tetep. Hawanya yang sejuk, airnya yang sedingin es sungguh sukses menyejukkan badan sekaligus hati saya. Dan kami bersiap keliling Selecta. Yipieee..
Ah, memang indah tempat ini. Cocok untuk refreshing ala saya. Asal aja ijo-ijo, asri, udara sejuk, dijamin saya susah pulang hehe. Dan selecta menawarkan itu semua. Lihat fotonya cantik bukan?





Kami puas berpose, foto-foto dan melihat-lihat sekeliling dengan bebas karena tidak terlalu banyak pengunjung. Nah, salah satu yang saya hindari saat pergi jalan-jalan justru pada saat hari libur. Saya sering merasa nggak nyaman kalau di tempat wisata terlalu banyak orang dan ramai. Jadi kali ini, pas sekali waktunya, hari jumat dijamin jarang yang ke tempat wisata.
Saya akui penataan dan pengelolaan tempat ini cukup yahud. Ada banyak pilihan wisata, ada taman bunga, ada bungalow lapang pandang yang bisa untuk bersantai, ada restoran atau tempat makan, tempat permainan anak-anak ataupun wisata air. Saya harus bilang tempat ini sungguh reccomended untuk dikunjungi.
Tempatnya masih banyak yang alami, seperti foto saya di depan air mancur kecil ini. Salah satu hobi saya adalah foto-foto dengan latar yang tak biasa dilihat orang. Artinya, orang bisa saja datang ke tempat yang sama, tapi foto saya mengambil lokasi dengan sudut yang tidak biasa *somboooong haha. Nah, untung saja saya jalan bersama Mba Rahmi yang dengan murah hati menjepret jepret saya, yaaah terpuaskanlah hasrat foto-foto saya ehehe.

Sayangnya kalau sudah begitu, saya jadi males belajar fotografi. Karena ternyata masih menikmati jadi objek jepretan daripada subjeknya. Saya dulu beli kamera rasa seriusan niatnya untuk belajar fotografi, karena saya suka travelling. Tapi sampai sekarang belum juga serius belajar mengutak atik kamera Nikon D 5100 saya itu, karena masih menikmati jadi modelnya LOL.
Nah, tibalah kami di taman bunga yang mirip taman bunganya Keukenhof, Belanda *kayaknya sih, soalnya belum sempet kesana ahaha. Begitu mau foto-foto mengambil latar belakang bunga-bunga warna itu, tiba-tiba hujan rinai-rinai turun perlahan. Saya dan hujan rinai rinai memang jodoh. Kami akhirnya berteduh di kursi-kursi sambil memandangi hamparan kebun bunga dan hujan rinai-rinai. Aih, momen yang magis.
Saya paling menyukai hujan rinai-rinai, bulirannya lembut hampir tak terlihat, seperti terbang-terbang menuju hatimu. Suara hujannya nya rintis lirih, tapi gemanya begitu terasa di dada. Udara sejuk, hujan rinai-rinai,dan hamparan bunga. What a perfect combination!
Ternyata hujan rinai-rinai itu betah lama-lama menciumi bunga-bunga itu, sementara perut mulai protes kelaparan, maka kami beranjak menuju tempat makan yang tak jauh dari kebun bunga. Tapi sebelum makan siang, secangkir kopi pastilah pas untuk memadukan suasana. Hummm sebuah jalan-jalan yang begitu menyenangkan, kecuali resahku karena kau menghilang #eh.
Setelah minum kopi, pesanan kami selanjutnya adalah makan siang. Nasi, ayam bakarnya sungguh maknyuusss. Apalagi sambelnya bikin makan lahap hap hap.
Usai makan siang, hujan mulai reda..maka kami menyusuri kebun bunga sehabis hujan dan foto-foto di sana. Sayangnya indahnya pandangan mata ternyata tak bisa tertangkap indahnya sempurna dalam kamera. Jadi kalian harus ke sini sendiri untuk menikmati indahnya.
Termasuk bila ingin berpose jadi sok putri bunga seperti ini  hihi :


Oh ya, di sini juga ada flying fox bila kalian mau berwisata adrenalin. Sayang saat itu, tidak buka jadi kami tak bisa mencoba. Kami melanjutkan jalan-jalan sebelum pulang dengan terus mengarahkan lensa. Seperti pada pemandangan maha indah seperti ini :



Memandangi lukisan alam maha sempurna dari ketinggian, ah cantiknya tiada tara. Rasanya rehat jiwa, sejuklah raga karenanya. Saya selalu terpikat dengan lanskap seperti ini, favorit banget untuk saya.
Setelah puas, saya dan sahabat saya pulang menuju hotel tempat saya menginap. Dan yes! Hotelnya reccomended juga, saya akan cerita di catatan saya selanjutnya. Hari itu ditutup dengan istirahat sebentar dan sholat di guest house. Kemudian selepas maghrib kami menuju Matos dengan becak! Yeiiih mbecak melewati jalan-jalan yang dulu saya lewati membuat hati saya dilanda badai kecil-kecil (ahaha mana ada badai kecil-kecil). Tiba di Matos, saya mencari kado buat Dik Dian (kakaknya Nuning), lalu makan di food courtnya. Dengan menu yang selalu sama saat saya makan di food court Matos dulu. Kwetiew goreng pedas, menunya sama seperti dulu, rasanya juga masih seenak dulu, walau saya kini adalah saya yang berbeda saat menginjakkan kaki lagi di kota ini. Saya mengulang kenang, dan mencipta terus sejarah dalam kekinian. Hidup bagi saya adalah kekayaan masa lalu, keberkahan hari ini dan harapan masa depan. Malamnya, dengan suara lamat-lamat Mikha Angelo yang menyanyikan “What makes you beautiful” di X Factor Indonesia, saya terlelap. Sambil berharap kamu terbawa serta ke dalamnya.

Catatan -Antara Banjarnegara-Kebumen dan Jogyakarta-


Rabu, 17 April 2013

The Woman I Love



Kupandangi dia dari jauh, mengenakan rok motif bunga-bunga warna merah marun, dipadu padan dengan atasan casual namun tak menghilangkan kesan femininnya. Raut mukanya nampak serius membacai buku yang dipegangnya, seperti takut ada yang terlewatkan barang sebarispun. Angin senja menerbangkan pelan ujung-ujung jilbab meran marunnya. Rasanya mataku ingin merekam semuanya pelan-pelan, agar tak satupun adegan yang terlewatkan. Walau bila tengah begitu, aku, lelakinya, seperti tak pernah ada dalam dunianya. Asing.
Dia, perempuanku dan buku di tangannya. Dia sudah terbang kemana-mana, bersama kata-kata, spasi, deksripsi, prosa atau puisi. Sementara aku memandanginya, tak paham dengan itu semua. Dan entah kenapa aku selalu ingin mengusili untuk menyelip memasuki dunia abstraknya. Menjadi pengacau paling mempesona dalam hidupya. Lalu benar saja, raut muka seriusnya itupun akan bersungut-sungut, marahnya padaku yang selalu pura-pura. Aku tergelak, dan dia tersenyum merona, campuran pura-pura marahnya dan bahagia hatinya. 

Maybe I annoy you with my choices
Well, you annoy me sometimes too with your voice
But that ain't enough for me
To move out and move on
I'm just gonna love you like the woman I love

Dia, yang berlari-lari dalam dunianya. Aku kadang tersuruk-suruk mendampinginya. Spontanitasnya yang meledak-ledak seperti bunga api. Nekad dan tidak rapinya membuatku sering menggelengkan kepala. Hidupnya seperti merambah hutan belantara, entah perampok, entah mahaguru yang ditemuinya, tak pernah terduga. Tapi apapun, hanya padaku ia selalu mempercayakan keluh kesahnya. Sedangkan aku, pun berlarian, sering hilang ditelan ritme lariku yang membuat hidupku seperti tanpa jeda. Dan dia lah yang menjadi jedaku, spasiku. Perempuanku.

We don't have to hurry
You can take as long as you want
I'm holdin' steady, My heart's at home
With my hand behind you
I will catch you if you fall
Yeah I'm gonna love you like the woman I love

Dari jauhpun aku bisa mengenalinya. Aromanya vanilla. Sepertinya aroma memang lebih digdaya dibandingkan mata. Kadang angin membawanya serta, memberi sedikit kemurahan pada keangkuhan jarak. Aroma vanillanya kadang tiba-tiba menyeruak seperti hadirnya yang tiba-tiba.
Aku tak perlu menghapal, namun selalu tahu ia selalu meletakkan ikat rambutnya di bawah bantal, lalu dia uring-uringan mencarinya kemana-mana. Dia, yang masih mencuri-curi minum kopi walau aku pernah bilang untuk menguranginya. Dia, yang mengaku-ngaku memakai mantel hujan, namun nyatanya membiarkan hujan kecintaannya itu menciumi tubuhnya. Aku cemburu setengah gila. Dia, perempuanku, dengan segala tingkah menyebalkannya. Tapi hidupku berwarna karenanya.

Sometimes the world can make you feel
You're not welcome anymore
And you beat yourself up
You let yourself get mad, And in those times when you stop lovin'
That woman I adore
You can relax, Because, babe, I got your back
Uh, I got you, Uh, Yeah

Lalu apa yang membuatmu tak nyaman? Yang menyebalkan? Tanyanya suatu kala. I don’t wish to change you, kataku. Cinta mungkin juga tentang hal-hal menyebalkan yang entah mengapa terasa menyenangkan. Tentang kesalahan-kesalahan yang entah mengapa terasa termaafkan. Tentang kesalahpahaman yang selalu bisa diluruskan. Tentang kemarahan yang bisa diredakan.
Genduuuuuut, maafin adek ya, rajuknya suatu ketika. Dan semua baik-baik, saja.

I don't wish to change you, You've got it under control
You wake up each day different
Another reason for me to keep holdin' on
I'm not attached to any way you're showing up
I'm just gonna love you like the woman I love
Oh, Yeah I'm gonna love you
'Cause you're the woman I love

Lalu kupandangi dia kini, dengan bilah-bilah uban yang semakin banyak menghiasi rambut panjang hitam legamnya. Dulu, dia selalu memintaku mencabuti ubannya saat muda. Tapi bersama kami belajar sedikit-sedikit mengenai aturanNya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة

Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.” 

Perempuanku, engkau tetap mempesona dengan uban-ubanmu, dengan pipimu yang kini tak sebakpia dulu.
Dia, masih tekun membacai buku-buku di rak buku rumah kami yang hampir kekurangan tempat. Dia, yang masih saja tenggelam dalam dunianya,  di antara kata-kata, prosa, dan puisi yang ditulisnya. Tapi dia masih saja duniaku. Perempuanku. 


Inspired by “The Woman I Love” Jason Mraz. *kapan saya dinyanyiin lagu ini? #eh

Ndalem Pogung kala senja, dan gerimis rintis di luar jendela. 17 Apr 2013. 17.30.