Senin, 01 April 2013

The Last Battle




Pandangannya menelitik ke arahku. Meneliti perubahan-perubahan yang terjadi padaku setelah lama kami tak bertemu. Mas Dias kemudian tersenyum.
            “You’ve changed a lot, El. Perempuan sekali kau sekarang,” katanya sambil terus mengamatiku. Aku yang datang menemuinya dengan rok lebar berwarna merah pastel yang lembut, dipadu dengan atasan berenda dengan jilbab senada. Musim semi tengah mengakrabi Birmingham, coat tebal mulai sering ditanggalkan.
Aku tersenyum. Sambil juga mengamati raut mukanya yang terakhir kali kutemui dua tahun lalu,  saat kami terlibat bersama-sama dalam sebuah pendirian sekolah Alam di daerah pinggiran kota Bandung. Tak banyak berubah, selain tubuhnya yang lebih tegap dan jambang yang mulai menumbuhi janggutnya.
            “ Yeah, dunia terus berubah. Juga kadar hormon estrogenku. “ kilahku. Kami berdua sudah terbiasa dengan perbincangan ala kosakata kami sendiri. Dan secara otomatis kami berdua saling paham apa yang hendak disampaikan.
            “ Cantik sekali, El,” jarang dia memujiku seterus terang itu. Aku kembali tersenyum, dan aku melihatnya memandangi mataku. Entah bermakna apa.
            “ He changed you a lot, right?” Tanyanya kemudian, kemudian tangannya memainkan tali kamera Sony Nex 7 yang super seksi itu. Mas Dias mulai terlihat tidak nyaman dengan mengalihkan perhatian dengan bermain-main dengan kameranya itu, sepertinya dia tak suka dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan.
            “ Siapa sih manusia yang begitu powerfulnya bisa mengubah seseorang, Mas? Enggaklah. Dia nggak merubahku. Aku yang berubah, ya mungkin setelah bersamanya. Semacam triger, pemicu barangkali. Oh ya, katanya kau sudah bertunangan Mas, congrats ya. Siapa nih  perempuan yang beruntung itu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dia berhenti memainkan tali kamera kesayangannya itu setelah mendengar pertanyaanku. Lalu matanya mencari mataku lagi.
            “Mungkin kamu kali ini bersedia menjadi perempuan yang beruntung itu, El?” tanyanya dengan matanya yang lurus-lurus memandangku. Aku agak merasa jengah dibuatnya.
            “ Come on Mas Dias, I knew you. Kamu nggak akan segila itu, ehehe” candaku mencoba mencairkan suasana. Lalu kemudian kami tertawa bersama, namun ada garis pias yang tertangkap di wajahnya. Lalu dia buru-buru menyesap kopi yang dipesannya.
Pertemuan tadi malam di Cafe Amore, sebuah sudut kota Birmingham itu berlanjut dengan ngobrol seperti reunian dua sahabat yang lama tak bertemu. Dua sahabat? Tidak bisa murni dibilang sahabat. Semenjak Mas Dias menyatakan ingin membangun sebuah hubungan serius denganku sekitar dua tahun lalu. Tapi dulu aku menjawabnya, menjadi sahabat nampaknya lebih menyehatkan bagi kami.
            “ Mas, aku merasa lebih nyaman jadi sahabat aja. Kita terlalu mirip. Laju kita nanti akan sangat terprediksi. Kita butuh ruang, dan butuh orang yang menantangi kita untuk terus bertumbuh, bukan?” jawabku kala itu. Sebenarnya hal itu untuk menambahkan alasan bahwa aku memang tidak mengalami loncatan-loncatan reaksi kimia apapun bila bersama Mas Dias.
Dan kedatangan Mas Dias ke Birmingham selama dua hari ini dengan alasan mampir dari konferensinya di London, untuk menanyakan kembali untuk terakhir kalinya kesediaanku mendampinginya. Dan itu dilakukannya setelah dia sudah memutuskan bertunangan dengan Arina, teman sekantornya di LSM tempat kerjanya di Jakarta. Kenapa laki-laki seperti Mas Dias bisa mengambil langkah segila itu?
            “ El, this is my last battle, my last chance. Kau tidak tau selama ini aku selalu terus mengikuti lajumu? I knew everything’bout you. Termasuk keputusan konyolmu untuk bertahan dengan lelaki yang nggak pasti itu.” Kali ini Mas Dias memaksa kembali bertemu di sela-sela jadwal makan siangku. Sudah setahun ini aku bekerja sebagai auditor di KPMG cabang Birmingham, dan hidupku baik-baik saja. Aku hanya kontak dengan Mas Dias beberapa kali saja via skype. Mungkin dia stalking membacai blogku, kicauanku di twitter atau racauanku di facebook. Jejaring dan media sosial membuat dunia begitu sempit.
            “Elia, you don’t have much time anymore. Kamu bukan lagi perempuan yang banyak waktu lagi untuk memilih. Kita masih bisa sama-sama, so would you?” Nada dalam perkataan Mas Dias kali ini terdengar lebih menyudutkanku.
Aku memandangi raut mukanya lagi. Aku sangat mengenali laki-laki yang ada di hadapanku ini. Kami lama bersama-sama, bertumbuh bersama, tapi itu bukan cinta. Bila otak logikaku yang banyak bicara, atau rayuan teman-reman untuk menerima saja lamarannya, pastilah sudah semenjak dulu kami bersama. Tapi mengapa ia tak juga mengerti, hingga harus terbang sebegini jauhnya, untuk menanyakan kembali pertanyaan yang sama kepadaku.
            “ Mas, aku hidup sampai hari ini artinya waktu masih memberi kesempatan padaku. Maukah kau kupilih karena aku merasa sudah tak punya banyak waktu lagi? “ aku ingin memberinya jeda dengan kalimat yang kuucapkan perlahan.
            “ Kita bisa hidup bersama dengan baik, aku percaya itu. Tapi aku ingin berbagi hidup mas, bukan hanya berbagi rutinitas dan keseharian. Kamu lihat aku sekarang Mas? Bila kau bilang kau mengikuti laju hidupku selama ini, kau pasti tahu bagaimana pertumbuhanku sampai sekarang. Bukan kamu nggak cukup baik untuk aku, Mas. Cuma kita butuh seseorang yang mampu mengimbangi dan memacu laju kita masing-masing. Dan kita bukan seseorang yang pas satu sama lainnya,” jawabku. Semoga ia paham maksudku.
            “ Jadi benar, dia si lelaki secangkir teh hangat manis itu? Kamu masih tetap mau lelaki biasa aja yang bisa kamu ajak ngobrol sampai lupa waktu sambil minum teh manis hangat?” kali ini entah mengapa ketegangan di raut mukanya mencair.
Aku tergelak, lalu tersenyum. Aku mengangguk kecil.
            “ Ngobrol itu maksudnya “berbagi hidup” tapi tetap menikmati rutinitas hidup seperti halnya minum teh hangat manis. Sok filosofis ya aku,” ungkapku.
            “That’s you, El. That’s makes you different. Well, trus kamu begini mau sampai kapan? Ini seperti bukan kamu yang pakai logika dalam mengambil keputusan.” Telisiknya, sambil mencari-cari jawab pada mataku.
            “ You did your last battle. Aku juga ingin begitu, Mas. I will do my last battle. Biarkan aku memutuskan kali ini berdasarkan...semacam firasat.. pertanda barangkali.” Jawabku, sambil ragu memilih kata-kata yang tepat.
            “ Kamu gila El, gimana ntar kalau firasat atau pertanda kamu itu ternyata salah?” sergahnya. Tangan kanannya memperbaiki letak kaca mata minusnya.
            “ Ya terima kenyataan kalau aku salah lah, Mas. Bukankah hidup juga tentang belajar menerima? “ jawabku singkat. Sebenarnya kalimat itu juga menjawab keraguan pada hatiku sendiri. Mas Dias tersenyum padaku. Dia sedang belajar hal yang sama pada detik terakhir setelah kalimatku terucap. ***

Flash Fiction—
Ndalem Pogung, Jogya 1 April 2013. 1.34. am. Ampun deh ini kepala kalau udah mau nulis, enggak mau tidur kalau belum kelar jugaaa...baiklah, saatnya zzzz.



Previous Post
Next Post

0 Comments: