Selasa, 07 Mei 2013

Memasak dan Obrolan tentang Rasa


Dulu saat saya kecil merasa terpaksa bila disuruh-suruh memasak, cuci piring, cuci baju dan segala macam pekerjaan perempuan. Tapi “rasa terpaksa” itu lama-lama menjadi biasa. Biasa itu ternyata berbahaya. Rasa biasa terkadang membuat kita menekan banyak rasa ke kurva standar, sehingga kadang kita mengabaikan rasa-rasa yang kita punya. Saya juga tak pernah menolak dan protes bila ibu saya bereksperimen dengan rambut saya yang panjang dulu saat SD, tapi paling sampai gerbang saya sudah memburakkan rapi jalinya tatanan rambut saya. Saya tidak punya kebiasaan untuk mengungkapkan apa yang saya sukai atau apa yang tidak saya sukai. Anak baik adalah anak yang penurut, itu pikir saya waktu kecil
            “ Ayo mau beli mainan apa, nanti budhe belikan?” begitu ketika diajak jalan-jalan budhe saat kecil pun saya menggeleng. Tidak usah, kata saya. Anak baik tidak boleh minta macam-macam, itu yang ada di kepala saya.
Kenapa saya tak punya cerita harus dipaksa-paksa berangkat sekolah seperti adik saya yang susahnya bukan main bila waktu pagi tiba untuk ke sekolah? Kenapa saya tak punya kisah-kisah mbolos sekolah, tengilnya ulah-ulah anak beranjak remaja? Anak baik harus rajin belajar, begitu doktrin di kepala saya.
Hahaha kalau dipikir saya lucu ya waktu kecil, pun saya tidak tahu siapa yang mendoktrin itu semua berada di otak saya. Orang tua saya bukan tipe orang tua garis “keras” yang harus begini harus begitu. Dulu, saya memang berpikir begitu, sehingga mostly cerita saya terdengar lebih lempeng dibanding anak-anak yang lain.
Tapi sebenarnya sekarang saya menyadari bahwa butuh sebuah proses panjang untuk bisa menemukan seorang saya yang berani memutuskan apa yang saya suka, atau apa yang saya tidak suka. Dalam hidup, manusia akan ada pada titik-titik dia mengetahui hal-hal apa yang ia sukai, akan dihadapkan pada persimpangan, pilihan-pilihan hidup dan banyak hal lainnya. Banyak yang menemukannya di awal, ada yang sedikit terlambat, ada pula yang terbilang sangat terlambat.
Manusia yang jujur akan perasaannya sendiri. Saya tiba-tiba terpikir akan hal tersebut.
            “Manusia bukan siapa-siapa sebelum ia mewakili perasaannya sendiri” (Fadh Djibran)
Kutipan di atas mungkin tak sepenuhnya tepat kalimatnya, aku lupa bunyi teks aslinya, tapi mungkin kira-kira begitu.
Bukankah sering kita menyembunyikan perasaan kita sendiri, sampai-sampai kadang kita tak lagi peka mendeteksinya. Saya bukan ingin sedang mengatakan agar seseorang harus mengatakan atau mengungkapkan semua rasa yang dirasai masing-masing kita. Saya hanya ingin memastikan bahwa kita mengerti rasa yang kita rasai. Kita mewakili perasaan kita sendiri. Tidakkah kau pikir betapa seringnya kita memerangi perasaan kita sendiri? Tidakkah kau merasa lelah? 
Bukankah berdiri dan hidup dengan perasaan kita sendiri terasa lebih membebaskan? Lebih hidup?
Rasa itu hal yang sangat pribadi, setidaknya menurut saya. Tidak ada satu orangpun yang mampu mengklaim mengetahui rasaku, dan juga saya tak pernah sanggup memastikan bagaimana rasamu, rasa kalian. Kecuali jika saya mengatakannya pada kalian, atau kalian mengatakannya pada saya. Itupun dengan asumsi bahwa apa yang kalian atau saya katakan adalah rasa yang sebenarnya.
Rasa, tiba-tiba saya sangat tertarik dengan satu kata ini. Rasa ternyata begitu unik dan ajaib. Apakah karena ia juga bisa berubah-ubah?
Seperti di awal tulisan ini saya bilang tidak suka bila harus disuruh-suruh masak. Dulu saya berpikir, pasti karena Ibu tidak suka masak jadi saya sebagai anak perempuan satu-satunya harus bisa masak agar saya saja yang bertugas memasak (ahaha beneraan itu yang dulu terpikir). Karena saya ingin jadi anak baik, jadi saya nurut (polosnyaaa hihi).
Tapi sekarang, saya suka memasak. Bahkan terkadang memasak bagi saya adalah terapi jenuh, terapi stress. Seni memasak dengan menghasilkan rasa yang pas menurut lidah saya, sekarang ini menjadi hal yang menyenangkan.
Lihatlah rasa itu bisa berubah terhadap hal yang sama. Tapi setidaknya saya tahu apa yang saya rasakan. Apa menurut kalian kalimatku itu terdengar aneh? Memang ada ya orang yang tidak tahu perasaannya sendiri? Menurutmu? Ehehe..
Ah, betapa randomnya alir pikiran saya. Lebih baik saya merasai masakan saya hari ini sebelum saya bertambah random.


Seperti Cah Bayam Rindu Tahu
                                                             
Kambing dibumbui sesukanya
Random ya menunya seperti randomnya alur pikiran saya? Ehehe masa berkuah dan berkuah. Itu enggak dimakan dalam waktu yang sama kok. Cah bayam tahu itu berkawan telor ceplok tadi siang. Jadi....Ah, tak usah kau tanya berapa kali saya makan hari ini *langsung kabuuur...

Glasgow, 6 May 2013. 8.30 pm menunggu maghrib..hiyaaa jam segini belum juga gelap.
Semoga  saya dan kalian  semua semakin bisa mewakili perasaan masing-masing.

Previous Post
Next Post

0 Comments: