Selasa, 14 Mei 2013

Tentang Perempuan



Ah tiba-tiba saya tergelitik menulis tentang perempuan. Mungkin karena akhir-akhir ini saya membacai beberapa tulisan tentang perempuan, ataupun mendengar berita-berita menyoal perempuan. Membaca tulisan yang cukup menghentak milik okke sepatu merah di sini : http://blog.sepatumerah.net/2013/05/tolong-jangan-ajari-ibu-saya/ dan juga membaca status salah seorang  motivator yang entah mengapa menyentil syaraf pikir saya. Saya memang tidak sepenuhnya tidak setuju dengan beliau, hanya terasa ada yang bergejolak dalam diriku.
Mungkin karena tulisan itu memberikan kesan perempuan begitu dependen terhadap laki-laki. Dan hal itu membuat kepala saya yang seharusnya memikirkan tentang data-data presentasi, semalam rasanya ingin mengeluarkan unek-uneknya.
Saya sering sedih melihat perempuan-perempuan yang kurang berdaya. Padahal perempuan mempunyai banyak sekali potensi untuk mengembangkan dirinya. Mereka menjadi dependen terhadap laki-laki, seringkali terutama pada sisi ekonomi. Depedensi inilah yang terkadang menjadikan bargaining position perempuan menjadi lemah. Kasus-kasus KDRT yang kemudian tak pernah terlaporkan, pelecehan atau eksploitasi TKW.
Saya ingat saat di Dubai saat kembali ke Glasgow. Seorang perempuan berumur 40 tahunan menghampiri saya, kebingungan mencari gate, sendirian dan tidak bisa berbahasa inggris. Dia mengaku bekerja di Qatar. Ah, prihatin. Saya antarkan beliau ke gate yang semestinya, dan memastikan ia menunggu di tempat yang benar.
Memang aliran emansipasi wanita telah banyak mengubah pandangan baik perempuan ataupun laki-laki terhadap posisi perempuan. Posisi-posisi pekerjaan yang bagus sudah banyak terbuka untuk perempuan, bahkan sudah masuk ke ranah politik dan posisi-posisi publik. Tapi tetap saja, depedensi perempuan terlihat masih luas menggejala.
Saya feminis? Mungkin. Saya hanya ingin perempuan-perempuan lebih berdaya sehingga ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Sebagai perempuan, saya tidak pernah menolak kodrati perempuan untuk mengurus rumah tangga, melahirkan, menyusui, melayani suami, memasak atau istilahnya perempuan itu “kudu pinter masak, macak, manak”. Istilah itupun pasti sering kau dengar. Saya tidak pernah mempersoalkan kodrati perempuan akan hal-hal tersebut. Bagi saya itu refleksi kelembutan perempuan untuk bisa mengurus suami, keluarga dan anak-anak sebagai generasi penerus. Tapi perempuan selayaknya pula diberikan kesempatan untuk mengapreasi dirinya sendiri, memberdayakan dirinya sendiri. Dualitas peran perempuan inilah yang dari dulu saya kagumi. Tidak meninggalkan kodratinya sebagai perempuan, tapi mampu menghidupi hidupnya dengan karya. Entah apapun itu.
Saya hanya sedih melihat perempuan-perempuan yang seringkali tidak berdaya secara ekonomi. Mungkin kalian melihat beberapa wawancara perempuan-perempuan dalam lingkaran tokoh politik yang tengah berperkara dan semarak beritanya akhir-akhir ini.
            “ Ya bagaimana lagi, anak saya dua, selama ini saya tergantung pada suami saya”. Begitu kalau tak salah dengar dari istri seorang yang sedang menjalani perkara tersebut.
Saya hanya ingin perempuan mendapat kesempatan untuk menunjukkan potensinya, mendapat pendidikan, kesempatan dalam pekerjaan, politik, tanpa mengingkari kodratnya sebagai perempuan. Banyak yang mencibir feminis sebagai perempuan yang lupa kodratnya. Perempuan sombong yang mau mengangkangi peran laki-laki. Semua orang punya pandangan sendiri-sendiri, namun saya pikir emansipasi bila ditempatkan pada tempatnya akan melahirkan banyak anak-anak negeri yang hebat.
Saya teringat buku “Ku antar kau ke Gerbang” (Ramadhan KH) yang menceritakan tentang Ibu Inggit ganarsih, istri Soekarno. Sayang saya belum berkesempatan membacanya secara lengkap. Inggit Ganarsih menunjukkan ia dapat menjalani berbagai peran dengan apik sebagai perempuan.

Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin dimanja” (hal 99)

Begitu ia dengan lembutnya menjalani kodrati perempuan, tapi ia juga berperan dalam tahun-tahun sulit perpolitikan Soekarno. Sampai-sampai Prof. S.I Poeradisastra dalam kata pengantarnya menuliskan : “Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia
Sebagai ibu, kekasih, kawan.  Sesungguhnya perempuan bisa memainkan berbagai peran dalam satu diri.
Entahlah mengapa saya tiba-tiba tertarik menuliskan tentang ini. Saya hanya ingin menyeru agar perempuan berdaya. Perempuan bisa berdaya dimana saja, tidak musti kerja kantoran. Banyak ibu-ibu yang sukses bekerja di rumah, berbisnis, berkarya, mengajar, menulis. Ada banyak potensi yang ada dalam diri perempuan.
Perempuan dengan kelembutannya menjadikan pelukan hangatnya tempat pulang paling menentramkan.
Perempuan dengan keberaniannya mampu menghadapi apa saja, dalam kondisi-kondisi yang sulit sekalipun.
Perempuan dengan ketegarannya menghadapi saat-saat sulit dan nestapa, tapi tetap mengalunkan doa dan semangat untuk orang-orang yang dicintainya.
Perempuan dengan pilihan-pilihan yang diambilnya. Perempuan dengan karya-karyanya. Dengan berbagai perannya mendampingi lelaki tercintanya, menjadi ibu untuk anak-anaknya. Perempuan tangguh yang menjadi dirinya sendiri. Berdampingan dengan laki-laki untuk saling menghebatkan, bukan mengantungkan diri pada lelaki seperti abdi.
Perempuan Indonesia, Mari berdaya.
Jangan sebut aku perempuan sejati bila hidup berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tak butuh lelaki yang aku cintai (Nyai Ontosoroh-Bumi Manusia-Pramadya Ananta Toer).

Glasgow, 14 Mei 2013. Menjelang malam dengan sapuan dingin yang tak seharusnya datang di musim semi yang hangat. Glasgow dan cuaca memang sering tak bersepakat. 


 


Previous Post
Next Post

0 Comments: