Kamis, 11 Juli 2013

Ramadhan Kedua



Memang  tak ada bedug yang ditabuh semarak untuk menyambut Ramadhan, tak ada hingar bingar euforia menyambut bulan suci ini, tapi rasanya hati bersiap menyambut Ramadan dengan suka cita. Ini kali ramadan kedua yang saya jalani di negeri yang jauh ini. Bila dulu ada rasa mellow, rindu rumah dan suasana Ramadan yang hangat, kini sudah tak terlalu lagi. Seorang sahabat yang baru kali pertama menjalani puasa Ramadan di Australia curhat dilanda galau mellow menjelang Ramadan. Kangen suasana rumah pastinya. Siapapun pasti menginginkan untuk menjalani puasa dan suasana Ramadan dengan orang-orang tercinta. Tapi keadaan kadang tidak memungkinkan, seperti posisi saya misalnya. Tapi daripada bermellow ria, saya lebih baik berpikir bahwa “tidak semua orang bisa mengalami pengalaman berpuasa di luar negeri, di tempat yang mayoritas masyakarat non muslim”. Jadi anggap saja kesempatan Ramadan kedua ini menjadi sebuah pengalaman yang berharga dan mungkin hanya bisa terasai beberapa kali saja dalam hidupku. Jadi anggap saja sebuah pengalaman yang seru!
Memang seru karena jadwal puasanya yang jumpalitan dengan jarak antara buka puasa dan sahur yang sangat pendek ehehe. Imsak di sini mulai pukul 2.30 menurut Masjid Al Furqan (salah satu masjid di Glasgow, sementara menurut Glasgow Central Mosque, beda satu jam (1.30) dengan). Nah lho, ikut yang mana coba?
            Kalau lagi ngantuk pengen segera tidur, ikutan yang jam 1.30, kalau lagi nggak ngantuk ikut jam 2.30 aahaha,” kataku sambil becanda pada Ari, flatmate-ku saat membahas tentang jadwal imsak. Aih, cara ibadah macam itu? Oportunis ahaha.
Pasalnya kami berbuka pukul 10.00 malam (magrib lebih tepatnya) dan jarak waktunya dengan sahur sangat pendek. Jadi saya harus tetap terjaga sampai subuh, baru kemudian tidur. Itulah mengapa kukatakan jadwalnya bikin jumpalitan itu. Tapi daripada jadwal imsaknya ikutan model oportunis, mending saya ikut satu aliran deh (aliran jadwal imsak ahaha). Saya seterusnya selama ramadhan ikut yang jam 2.30, kan selama menanti sahur bisa sambil ngerjain sesuatu, nulis barangkali biar lebih produktif #gaya.
Iyah, kami di UK harus menjalani puasa selama sekitar 19 jam lamanya dan pas di musim panas yeaah komplit. Apalagi cuaca sekarang ini lagi panas-panasnya. Bahkan aku yang seorang manusia tropis berasa gerah dan kepanasan. Tapi so far, tidak terlalu masalah dan lancar-lancar. Ya masa iya enggak kuat puasa?hihi
Jadwal bisa diatur-atur dengan tidur setelah pulang dari lab, baru bangun untuk masak menjelang maghrib, lalu terjaga sampai subuh, baru tidur lagi. Kalau jadwal puasa jumpalitan, kita juga harus punya strategi untuk bisa mengatasinya.
Orang-orang di sini memang hanya segelintir saja yang tahu bahwa sedang bulan puasa ramadhan. Aura ramadhan itulah yang tak bisa kami dapatkan di sini. Pastilah sangat berbeda dengan di Indonesia dengan beraneka ragam pernak pernik ramadhan. Menjelang berbuka pasti sudah berjajar para penjual camilan menu untuk berbuka puasa seperti pasar tiban yang memanjakan para pembeli dengan segala variasi pilihan menunya. Spanduk-spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa di mana-mana ataupun iklan-iklan tivi berjejalan. Sebagai negara dengan mayoritas beragama islam, maka tentu wajar saja bahwa bulan Ramadan ini menjadi seperti pesta. Kadang mencuatkan ironi, puasa yang sejatinya seharusnya menahan diri malah berubah menjadi aksi “main hajar” dengan makan kalap saat berbuka. Atau mungkin lazim, bila “yang biasanya tak ada menjadi ada”. Tengok saja, biasanya menu makan sederhana, namun bila bulan puasa tiba lihatlah setiap rumah pasti menyajikan sajian-sajian yang sehari-hari mungkin tidak ada. Bukankah malah saat bulan puasa dana untuk belanja malah membengkak? Ironi yang menjadi lumrah. Asal tidak terlebihan, saya menganggapnya sebuah hal yang wajar. Walau pasti lebih baik bila puasa ini termaknai dengan sebuah hakikat, bukan sebuah rutinitas ibadah belaka yang mengedepankan bungkus tapi isinya kosong.
Suasana ramadahan di sini memang tak terlalu berbeda dengan suasana biasanya. Hanya seperti mengganti waktu makan saja. Tapi ada rindu yang menyelinap dalam hati pastilah tetap ada. Rindu tarawih di masjib bersama bapak ibu, karena di sini tarawih hanya bisa sendirian di flat, karena masjid jauh dan waktunya sehabis maghrib saja jam 10.30an lalu mau pulang tarawih tengah malam? Tapi begitulah keadaannya. Rindu memasak menyiapkan menu untuk berbuka dan sahur, sedangkan di sini masak untuk diri sendiri saja, paling-paling berbagi dengan teman satu flat. Sementara bila di rumah kami selama bulan puasa biasa berbuka puasa dan sahur bersama. Di rumah saya, ada meja makan yang posisi duduk setiap anggota keluarga saat makan bersama hampir tak pernah berubah. Kemarin saya hanya bisa mengontak mereka untuk mengucapkan selamat berpuasa Ramadhan Ah rindu kadang biarlah menjadi rindu. Merasai rindu menjadi bagian dari katalog rasa yang ditawarkan pada manusia. Bukankah dengan rindu suasana Ramadan di tanah air kini saya lebih menghargai apa yang dulu saya alami? Bahwa ada banyak hal untuk dirindukan. Pun saya bersyukur dengan apa yang saya punya dan alami sekarang. Pengalaman yang lain dari kebanyakan orang-orang di Indonesia dan semoga bisa menarik pembelajaran darinya.
Ada banyak berkah menjelang ramadhan yang membuat hati saya suka cita. Outline buku ilmiah saya diterima oleh penerbit dan kini sedang menyiapkan naskah lengkapnya. Dan hari ini menerima email dari editor Wego Indonesia bahwa saya diterima sebagai salah satu kontributor situs travelling terkenal di Indonesia tersebut. Rasanya ada suntikan semangat baru untuk menjalani hari-hari saya melakukan riset dan studi, serta berusaha menyeimbangkan dengan aktivitas menulis.
Selamat menunaikan ibadah puasa, kawanku. Semoga kita bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Glasgow, 11 July 2013. Menanti waktu sahur.


Previous Post
Next Post

0 Comments: