Rabu, 25 Februari 2015

Menunggu


Saya tiba-tiba teringat sebuah kejadian yang beberapa saat yang lalu di daerah East Kilbride. Kala itu kali pertama saya ke sana, Glasgow ternyata luas juga. Masih banyak area-area yang belum dikunjungi. Kami jalan-jalan di East Kilbride Park-entah apa nama tepatnya saya sungguh lupa. Kala itu dunia saya sedang gulana, tak tentu apa yang saya lihat dan apa yang saya pikirkan. Kamera yang tersimpan di tas punggung juga enggan kukeluarkan. Kadang-kadang hidup memang begitu, tak selamanya langit biru biru cerah, kadangkala juga muram durja.
East Kilbride memang lumayan jauh dari pusat kota, akses bisnya saja lumayan lama waktu tunggunya. Busnya lewat setengah jam sekali. Namun sebenarnya daerahnya sangat indah, semacam daerah pedesaan dengan hijau. Bus yang kami tumpangi melewati jalanan kecil yang sepertinya hanya cukup untuk badan bus saja. Meliuk liuk di antara hamparan rumput-rumput yang masih keliatan hijau di akhir musim dingin.  Park di East Kilbride yang kami kunjungi juga cantik sebenarnya. Ada domba-domba lucu di kejauhan, lalu ada danau luas yang airnya membeku. Kau bisa bayangkan kalau si bebek-bebek itu berdiri di atas air karena air danaunya membeku. Pemandangan yang menarik sekali sebenarnya, namun sekali  hal itu tidak menghapus keenggananu untuk mengeluarkan kamera dan memfotonya.
“ Jadi mau ke museumnya nggak?” tanya teman seperjalanan saya. Museum –yang saya pun lupa apa namanya- itu terletak sekitar 10-15 menit jalan kaki dari taman itu. Mungkin pas untuk sekalian jalan-jalan di area itu.
Namun rasanya enggan kemana-mana. Saya menggeleng,
            “Pulang saja yah” kata saya. Diapun mengiyakan. Lalu kami berjalan menuju bus stop terdekat. Bus stopnya di area antah berantah, sepi. Hanya seorang nenek yang tengah menunggu bis di bus stop itu.
            “Busnya barusan lewat, aku ketingalan bus. Busnya baru akan datang setengah jam lagi,” kata si nenek itu.
Yah begitulah hidup, kadang-kadang kita merasa “terlambat”.
            “ Wait, yeah wait. Kadang-kadang apa yang bisa kita lakukan adalah menunggu, tetap menunggu,” kata si nenek itu bicara sendiri.
Kadang-kadang saya merasa curiga Tuhan sedang mengirimkan pesan lewat si nenek tua itu.
Nenek itu kemudian mengajak mengobrol, suaranya sudah parau tak begitu jelas kutangkap. Ditambah lagi suasana hatiku yang sedang mendung, makin tak kutangkap maksud pembicaraannya. Teman seperjalananku yang lebih sering menimpali obrolan si nenek itu.
Kerut di wajahnya sudah banyak, tubuhnya sudah bongkok. Tapi si nenek masih bisa bepergian kemana-mana sendirian. Salut juga.
Saya menunggu bus stop sementara pikiran saya berkeliaran kemana-mana. Sementara si nenek itu terus saja bergumam sendirian di sebelah saya.
            “ 5 minutes left,” katanya.
            “ owh, sebentar lagi. Kalian membuat penantian saya terasa cepat,” kata si nenek itu sambil tersenyum.
Ah, ternyata memang kita bisa “menciptakan” semuanya,  termasuk waktu.
Saya kira kecurigaan saya benar, Tuhan tengah menyampaikan sesuatu lewat si nenek itu.
Kadang-kadang kita memilih menunggu sesuatu yang layak kita tunggu. Waktu punya keindahan misterinya tersendiri.
“ God speak to everyone. But not everyone listen "  (Conversation with God) Neale Donald Walsch.
Previous Post
Next Post

0 Comments: