Sabtu, 19 September 2015

Sepotong Cerita dari Bandara




“Pramugari di sini nggak mesti cantik ya?” tiba-tiba saja terlontar kalimat demikian, kala saya melihat pramugari yang berlalu lalang di depan kami.
Kami tengah berada di salah satu bandara di UK, menyesap secangkir kopi sejenak sembari menunggu jadwal penerbangan.
“Iyah yah, biasa aja ya. Bajunya juga sopan,” tukas seseorang di samping saya.
Saya menyesap kembali secangkir coffee latte yang saya pesan di gerai kopi Costa. Angin bulan September berhembus lumayan kencang menerpa kami yang berada di bagian luar bandara. Bandara ini tidak terlalu nyaman, tidak ada ruang duduk tunggu kecuali yang berbayar yang disediakan. Jadi kami akhirnya menghabiskan waktu dengan memesan kopi dan memilih menikmatinya di luar, di kursi-kursi yang disediakan gerai kopi itu.
Kami masih mengamati pramugari-pramugari itu. Penampilannya biasa saja, bajunya sopan, cara jalannya pun nampak bisa, tidak dibuat buat agar terlihat menarik. Kami akhirnya terlibat percakapan mengenai penampilan.
            “Nyatanya banyak stigma negatif pada perempuan karena penampilannya dalam pekerjaannya. Kayak SPG misalnya,” lanjut obrol saya. Masih banyak kan industri-industri yang mengatasnamakan kepentingan marketing kemudian mengharuskan perempuan untuk berpenampilan “gimana-gimana dalam artian yang jadinya kurang sopan”.
Kalau diamati di sini, banyak front liner, pegawai yang sejenis customer service itu penampilannya biasa. Nggak harus yang berkategori cantik, langsing, tinggi, dan sejenis kriteria lain yang biasanya di Indonesia identik dengan persyaratan pegawai yang biasanya berurusan dengan konsumen langsung.
            “Kadang kala fungsi utamanya yakni melayani jadi hilang esensinya yah kalau terlalu mengedepankan penampilan, walau nggak semuanya sih begitu,” sahut teman seperjalanan saya itu.
Iyah sih, padahal yang yang paling utama itu sifat bisa berkomunikasi dengan baik, nyaman diajak bicara, luwes, ramah dan bermisi untuk melayani.
Kami sering nggak habis pikir kenapa kebanyakan pegawai administrasi  di Indonesia jutek jutek, harus siap stok sabar banyak-banyak deh kalau mau berurusan dengan hal-hal seperti itu. Nggak semuanya sih tentu saja.
Saya juga jadi teringat pembicaraan kami tentang bagaimana orang-orang sini menujukkan “kelasnya” atau eksistensi atau apalah yang dibilang keren bagi masyarakat. Kalau di Indonesia kan kebanyakan masyarakat menilai dari penampilan, ya penampilan fisik misalnya fashion, tas dll yang bermerk, mobil yang bla bla bla, rumah mewah, life style yang glamour,  dan punya ono lah itulah.
Kami akhirnya jadi tertarik mengamati apa yang ditunjukkan orang-orang sini untuk menunjukkan kekerenan mereka ya? Soalnya untuk penampilan relatif biasa saja. Supervisor saya biasa ke kampus pakai jins dan kaus, atau hem pendek kalau acara-acara resmi. Begitupun yang lain-lainnya seperti post-doc pun berpakaian kasual. Belum pernah sekalipun saya melihat mereka pakai pakaian formal dengan jas, dasi blaser dll, bahkan di acara konferensi internasional. Jadi ngebayangin sih kalau misal mereka kemana gitu, nggak ada lah yang tau kalau mereka itu ahli kelas dunia di bidangnya.
Mobil? Kebanyakan orang sini pergi menggunakan transportasi umum. Okelah, karena fasilitas transportasinya sudah memadai ya. Tapi dengan itu pun, saya bisa melihat mereka nggak ada tuh pakai mobil untuk gaya-gaya-an atau ingin menunjukkan kelas sosial mereka. Kayaknya nggak ada denger-denger cerita rekan-rekan di lab yang saingan mobil jenis x, y..begitu ada yang beli x, pada mau ganti type ini, type itu. Kayaknya nggak pernah denger aja sih sejenis pembicaraan yang model beginian.
Kenapa yak di Indo itu percakapan sejenis di atas untuk sering banget terdengar? Ehehe.
Makanya kami penasaran, apa “sesuatu” yang mereka tunjukkan untuk menunjukkan mereka keren nya? Apa memang mereka nggak butuh juga menunjukkan ke-keren-an mereka? Mungkin juga sih..buat apa juga sih keren ditunjuk-tunjukkan? Ahaha.
Tapi beneran dengan mengamati fenomena-fenomena seperti itu jadi belajar banyak juga sih. Bukan untuk membanding-bandingkan di sini begini, di Indonesia begono. Kok kesan-nya semua yang di Indo jelek, di sini baik. Heheh enggak kok, pastilah banyak yang baik-baik dari Indonesia. Tapi kalau ingin mempelajari yang baik-baik di sini boleh juga toh?
Angin mulai berhembus lebih kencang, saya merapatkan coat yang saya pakai. Dan kami kemudian memutuskan untuk ke dalam ketika jadwal keberangkatan rekan seperjalanan itu kian dekat dan saya juga harus kembali ke Glasgow.
Eh kalau kalian menunjukkan ke-keren-an kalian lewat apa? Ahah iseng nanya ;p

Salam di awal musim gugur dari Glasgow. 18 Sept 2015

 
Previous Post
Next Post

2 komentar: