Kamis, 26 November 2015

Membandingkan Kebahagiaan




Seeking happiness outside ourselves is like waiting for sunshine in a cave facing north
                                                                                                            (Tibetan)



Saya harus kembali mengingat kalimat di atas, membuka lagi buku yang ada di rak. Begitulah hidup, harus mengingat kembali..menyadarkan diri kembali. Sering kan kita merasa terhanyut pada jalannya hidup? Dan kok berasa sering iri, kok berasa sering susah bersyukur, kok sering protes-protes sama Tuhan..ihiks, manusia banget yaah..ahaha.
Itu tandanya disuruh “sadar” kembali, mengingat lagi. Kadang-kadang kita tiap hari menghadapi paparan macam-macam yang membuat mood gampang swing nggak jelas, tekanan yang membuat kita stress, ataupun masalah-masalah yang membuat kita terkadang merasa “lelah”.

Yang sering terjadi adalah saat keadaan nggak sesuai dengan mau kita, lalu deh muncul bibit bibit bernama kesedihan ataupun kekecewaan. Itu bibit-bibit kalau dipupuki ataupun dibiarkan tumbuh terus lama-lama akan menggerus energi positif, lalu menyebarkan rasa-rasa yang semakin menciutkan kebahagiaan. Yang kadang berbahaya adalah, kita nggak sadar ketika kita membiarkan bibit-bibit tersebut terus tumbuh. Oleh karena itu, kepekaan itu penting banget. Kalau sudah sering dilatih, kadang-kadang “rasa” kita semakin peka kalau energi kita banyak mengalir untuk perasaan-perasaan yang negatif. Tapi ya gitu, kalau semakin jarang dilatih, kepekaan itu bisa makin tumpul.

Beberapa saat ini, saya dijangkiti “sensi” kalau terpapar hal yang sedang saya upayakan, yang lama yang inginkan, bertahun tahun saya perjuangkan namun belum juga mewujud. Sedangkan orang lain “nampaknya” mendapatkan itu dengan mudahnya, seperti effortless. Namanya saja “nampaknya”, tentu saja tidak seperti itu adanya. Walaupun tahu dan sadar kalau nggak seperti nampaknya, namun tetap saja ya..sensi-sensi sedikit..eh banyaak mahahah.
Sensi itu kemudian “melahirkan” protes semacam kalimat : “Tuhan, kok Engkau masih belum mengangguk juga sih”
Nah kan..begini ini kalau dibiarkan bisa merusak. Akhirnya kita membanding-bandingkan kebahagiaan kita dengan orang lain. Iya tahu sih, don’t compare ourselves to others! Itu rumusnya..tapi praktiknya, masih lah yaaa kadang-kadang hihih..
“ Kok mereka bla bla bla..ya...kok dia bla bla yaaa..”

Kalau lagi begitu, memang saatnya harus banyak banyak melongok ke dalam diri. Melihat keberkahan, rejeki, kebahagiaan yang telah Tuhan berikan pada kita. Cari dan terus cari alasan-alasan untuk terus bersyukur.
            “ Kamu itu harus banyak bersyukur lho, udah dikasih kesempatan sekolah tinggi di luar negeri, dapat beasiswa, bisa jalan-jalan..bla blaaa” itu sih sering dibilang temen-temen.

Iya sih itu bener juga, tapi Tuhan ternyata kasih standar peperangan orang itu beda-beda,  setiap orang menghadapi peperangan ujiannya masing-masing.

Lihat ke dalam diri, terus berjalan ke dalam diri. Kadang-kadang memang banyak distraksi di sepanjang jalan. Anggap saja warna warni.

Ah, percayalah, tulisan ini lebih pada sebagai pengingat diri sendiri.

Salam,
Glasgow di saat suhu yang makin menggigil
 
 

 
Previous Post
Next Post

2 komentar:

  1. Dalam suatu perenungan, aku pernah membuat semacam 'serabut rezeki' yang aku asosiasikan dari serabut otak / syaraf, teori butterfly effect dan fisika kuantum. Ribet2 merenung, kesimpulannya tetep jatuh juga pada qur'an. Intinya, Jika di bumi, misal, ada dua miliar laki-laki atau perempuan yg masih ingin menikah, tiap orang memiliki kesempatan menikahi satu (kalo laki2, lebih) dari dua miliar itu. Bisa dapet orang inggris, itali, serbia, atau dari benua lain, yang kuncinya ada di qadar / kapasitas / usaha. Kalo dengan si A, misal, akan punya anak 2, rumah 3, mobil 2. Tapi kalo dgn si B, anaknya banyak, rumahnya satu tapi gede, mobilnya dua. Sama si C, beda lagi. Terus begitu, hingga nyaris tak terhingga kemungkinannya. Tapi, ini hitung2an matematika, ga termasuk iman. hehe, ngaco yak? :P

    Kalo tentang kesedihan, yg sering aku sampein ke siswa atau temen, "Kita bersedih, karena pikiran kita mencengkeram sesuatu yang seharusnya kita lepaskan," belajar ikhlas memang berat yak?hehe

    BalasHapus
  2. ehehe begitulah, secara teori kadang sudah khatam, praktik masih terseok seok :D

    BalasHapus