Mungkin ada satu hal yang tidak kamu tahu, kalau aku sering merekam wajahmu dalam ingatku.
Mungkin
karena aku tahu, waktu bagi kita.. bisa habis kapan saja.
Aku
masih merekam, kilasan senyummu kala kita menapaki jalan-jalan di antara daun
daun gugur yang menguning.
Atau
senyummu yang menyeringai nakal, ketika melemparkan tumpukan salju yang kau
bentuk bola bola padaku,
“Sakit
tahu!’, kilahku. Lalu kau pura pura merasa bersalah..dan detik berikutnya harus
bersiap siap dengan lemparan bola saljuku. Lalu kita tertawa di antara bulir
bulir salju yang turun dari langit..walau kaki hampir membeku, dingin merayapi
kulit. Tapi hati kita menghangat.
Bus
berhenti beroperasi kala itu. Lapisan es terlalu tebal, membuat kita harus
berjalan menembusi dingin saat langit mulai menggelap.
Aku
juga merekam tawamu. Saat dengan randomnya kita pernah bermain badminton di
dekat danau perdesaan antah berantah. Berbekal tiket bus, dan sepasang raket
karena digodai langit yang membiru cerah.
Dalam
sepersekian detik itu, aku merekam tawamu yang bahagia. Tak biasanya tawamu
serenyah itu. Kala angin menerbangkan shuttlekok seenaknya sendiri, lalu tawa
kita terdengar di udara. Rekaman itu masih jelas. Seperti kemarin.
Seperti
saat kita bersepeda, menyusuri sungai ataupun taman taman kota, menunggu senja.
Ada
banyak rekaman rekaman itu.
Senyum
di wajahmu.
Kadang
kadang aku mencari cara, bagaimana caranya membuatmu tersenyum. Aku tak pernah
pandai melucu, tak sepertimu yang jenaka.
Aku
rindu membuatkan telur kecap, iga lada hitam, sate padang, nasi goreng putih atau
hanya sekedar semangkok mie rebus telur yang mudah sekali membuat wajahmu
berbinar.
Aku
pun masih mengingat, kala menjahit dengan tangan.. lengan jasmu yang terlalu
panjang.
Rasanya
seperti kemarin
Seperti
kemarin
Waktu
kita telah usai.
Tapi
biar kukenang rekaman rekaman itu.
Rasanya
seperti kemarin.***