Membincangi Ego Diri
Mendung sudah mulai terlihat di luar jendela. Purwokerto hampir setiap sore kini diguyuri hujan. Sayang memang, karena itu artinya saya lagi-lagi tidak bisa jalan kaki sore di GOR, yang letaknya hanya di samping kantor kampus. Rutinitas jalan sore sudah hampir sebulanan ini merupakan kebiasaan baru yang ternyata nagih banget untuk dilakukan. Tepatnya semenjak badan saya mulai “protes” dengan terdeteksinya kadar tertentu di badan saya yang di atas normal. Fase-fase sakit kemarin cukup membuat saya down dan merasa tidak berdaya, karena selama ini saya merasa-nya sehat-sehat saja. Hanya saja, yang mungkin tidak disadari adalah saya terlalu memacu tubuh, pikiran dan energi saja di luar ambang batas keseimbangan.
“Iya
sih memang sibuk banget…tapi kan sebenarnya semuanya hampir bisa dikatakan
dapat terselesaikan dengan baik kan?”—dulu saya berpikir seperti itu.
Sampai
akhirnya tubuh saya mengirimkan “warning”
itu
Dan keadaan
itu membuat saya banyak merenung dan berpikir. Sepertinya ada pola yang harus
saya rubah. Yang berubah banget terutama pastilah pola makan saya agar berupaya
untuk menormalkan kembali kondisi tubuh. Dan itupun ternyata tidak mudah,
karena seringkali kita makan makanan tertentu sebagai “comfort food” yang setelah makan, mood kita terasa lebih baik.
Mungkin itu yang sering kita dengar sebagai emotional
eating, yakni dengan makan makanan tertentu untuk membuat perasaan ataupun
mood kita menjadi lebih baik. Pernah nggak kalian kayak gitu?
Dulu ketika sudah seharian lelah bekerja ngerjain ini itu, pikiran pertama yang terlintas ketika hendak pulang ke rumah itu..”mau makan apa ya yang enak?” Waktu itu pembelaan yang ada di pikiran saya adalah hal itu sah dilakukan sebagai reward, kompensasi karena sudah bekerja dan berupaya keras seharian. Dan parahnya karena saking lelahnya, habis makan biasanya ketiduran. Mungkin pola ini yang lama-lama membuat tubuh saya protes. Kebanyakan kerjaan, energinya seringkali habis, bahkan mungkin sebenarnya defisit. Namun, ini tidak saya sadari.
Saya
beberapa waktu lalu mendengarkan paparan Reza Gunawan, praktisi kesehatan
hoslistik pendiri klinik True Nature Holistic Healing yang membahas tentang toxic
success. Intinya sih “sukses beracun” itu terjadi ketika kita bisa menjadi
sakit secara mental, jiwa, pikiran hingga fisik dikarenakan oleh proses
perjuangan menuju sukses yang tidak sehat”.
Sepertinya
itulah pesan yang tubuh saya sedang ingin sampaikan. Dulu, beberapa temen
pernah mengatakan saya orangnya itu ambisius, dan selama ini saya menyangkalnya.
“Enggak
ah, perasaan normal-normal saja. Saya memang orangnya high achiever, pekerja keras, kuat tekad mewujudkan apa yang ingin
saya raih. Nggak salah juga kan?” itu sih dalam hati saya selalu menyangkalnya
demikian.
Soalnya
bagi saya ambisius itu terdengarnya negatif gitu. Hingga kemudian beberapa saat
lalu saya berbincang dengan seseorang, dan iseng bertanya “memangnya aku
terlihat ambisius ya?”
“Kalau aku, mengukur seseorang itu
ambisius negatif atau tidak, ya pada poin keseimbangannya sih. Persepsi
kebanyakan orang, ambisius itu punya keinginan sangat kuat untuk mencapai
sesuatu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keseimbangan,”- begitu
tutur seseorang itu.
Jleb
nggak sih rasanya? Jawabannya itu memang tidak eksplisit bilang saya termasuk
kategori ambius. Tapi kalimatnya itu membuat saya berpikir seketika bahwa kemungkinan
saya memang mengindahkan prinsip prinsip keseimbangan itu. Terlalu banyak
kerja, istirahatnya kurang, males olahraga, makan-nya nggak sehat.
Tapi
memang susah sebenarnya ya kita mengukur keseimbangan? Selama ini saya
merasanya sehat sehat saja, sampai suatu ketika tubuhnya merespon dan protes. Dan
kemudian itu membuat saya berpikir.
“ Memang sih, PR terbesar orang hidup itu
ya adil untuk membagi porsi pada hak dan kewajiban. Dan seringkali kita belum mengetahui
berapa sebetulnya takaran porsi untuk adil itu, sebelum kita mengalami sesuatu
yang nggak enak pada diri kita.” Tutur seseorang tadi itu.
Itu persis yang terjadi pada diri saya.
“ Setelah aku pelajari, ternyata dalam
diri kita sendiri ada banyak entitas ego. Dimana kalau kita ngga bisa
berkomunikasi baik dengan mereka, hidup kita isinya akan jadi ribet terus. Misalnya
gini: ada entitas ego yang menginginkan kita sukses dalam karir. Maka dia akan
memacu kita untuk terus bekerja sekeras mungkin untuk mencapai apa yang menurut
kita menjadi sebuah standar sukses. Apa entitas ego ini salah? Nggak, karena
memang di situlah peran dia. Tapi kelemahannya, dia nggak peduli bahwa
kapasitas tubuh kita bisa mengimbangi nggak dengan ritme kerja kerasnya? Nah,
sementara itu ada entitas ego yang lain yang menginginkan kita hidup seimbang,
demi kesehatan tubuh. Di situlah konflik antar entitas ego bisa terjadi.”Begitu
pendapat teman diskusi saya itu. Berat ya kalimatnya ya? Hehee ampun memang lah
wkwk..
Tapi
isinya jleb jleb..saya mungkin harus lebih banyak membicangi ego saya, untuk
berupaya paling tidak agar lebih seimbang lagi memperlakukan jiwa, pikiran dan
tubuh. Mungkin kalau tidak seperti ini, akan saya terus menjalani hidup dengan
terus tidak mengindahkan keseimbangan. Memacu diri tanpa tahu batasannya.
Kadang-kadang
hidup begitu ya, ada saatnya kita menjeda dan berpikir kembali tentang pola
bagaimana kita menjalani hidup. Kalau saya pikir, hidup itu tentang terus
belajar dan belajar tanpa henti. Belajar membincangi diri, termasuk ego-ego di
dalam diri. Itulah yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sembari melajukan
langkah langkah kaki dalam rutinitas jalan sore. Dengan semilir angin, suara musik
di earphone dan perbincangan
perbincangan saya dengan diri sendiri.
Salam
hangat dari sore-nya Purwokerto yang bergelayut mendung.
ConversionConversion EmoticonEmoticon