Minggu, 27 Februari 2011

Tentang Rasa

Melihat judulnya jangan keningmu berkerut-kerut dulu, huum..ini bukan tentang cinta-cintaan ehehe..hey kenapa aku berprasangka pada pemikiranmu?..hufff..aku hanya berpikir bahwa kalian akan menduga bahwa tulisanku selanjutnya akan bertema cinta-cintaan ehehe..Sungguh bukan, aku hanya ingin bercerita sedikit tentang hariku dan rasa..

Inspirasiku menuliskan tentang hal ini tiba-tiba datang saat aku sedang membalap tadi sore. Yeah, saat kombinasi dari suara deru motor si hitam manisku, bercampur dengan deru kendaraan yang lain, sapuan angin, gerimis rintis, hawa dingin yang menerpa jaketku, membawakan sensasi dingin menyelusup lembut dalam kulitku. Kemudian kecepatan yang melaju, yeaah..aku suka perjalanan, saat merasakan diri tengah melaju menuju suatu tempat, rasanya luar biasa. Karena itulah aku suka membalap-naik motor dengan kecepatan di atas rata-rata—sedikiiiiit--. Ditambah lagi, dengan sekilasan pikiran di kepala, tentang curhatan teman, tentang rencana hari senin yang harus membalap pagi-pagi lagi, dan tentang seseorang halaaah ehehe..

Pada saat itu aku berpikir, aku merasa hidupku sempurna..(haduuuh bayangkan hanya naik motor yang belum lunas itu saja merasa hidupku sempurna ehehe)..aneh..huumm..apa kau berpikir itu hanya efek dari kejadian manis yang kualami hari itu?? Huumm rasanya setiap kejadian kalau kuanggap manis akan menjadi manis ;p

Baiklah akan kuceritakan sedikir, seharian ini, rasanya aku hanya menghabiskan sangat sedikit untuk bicara, paling hanya sekedar menyapa Mbak Pon (yang mbantuin ibu kos-red).

“ Nyuci dulu mba pon, ntar siangan pulang” jawabku saat dia bertanya, saatku hendak mencuci-kegiatan yang merupakan salah satu terapi merilekskan hidup hihi—

Selanjutnya berisi kegiatan beres-beres, dengan tetap online, tersenyum menjumpai ada wall baru dari si tukang rewelku
wawawaw...congratulation for the speaking, listening and thinking (:D) in english with Alain y.....I am really happy to read those status and comments below....Great!!! :)
Huumm…dasar…rewel yang manis;p
Lalu sahabat bala kurawaku yang di Bali menyapa via YM, lalu berhaha hihi di dunia maya. Sampai akhirnya dia pamit,

“ Mau ngitung larva dulu..kerjo sik yo” pamitnya. Lalu akupun keluar sarapan sebentar, huum sarapan dengan ikan pindang dan mendoan..nyummy

Aku segera kembali ke kos, dan menyelesaikan pendaftaran online-ku di University of Edinburg, huaaah membutuhkan banyak writing. Kukerjakan dengan santai, sembali fesbukkan tentu saja, dan berbincang sebentar dengan sahabat PDEC via skype. Lalu iseng juga membuka-buka informasi tentang institute tempatku melamar ini. Yeah, bagiku kuliah bukan hanya soal mendapat pengetahuan dan gelar, tapi aku harus nyaman “hidup” di tempat itu. Humm..tenyata Roslin Insitute itu tempat berhasilnya upaya kloning si domba Dolly..waw, dan bila kau membaca The Da Vinci Code-nya Dan brown, kau akan tahu The Roslin Chappel, tempat persembunyian holy grail..nah, kastil itu di desa itu. Humm sepertinya jadi nih hidup di sana ehehe. Pendaftaranku selesai, segera kukirim email ke Alain-calon supervisorku- untuk memberitahukannya bahwa aku sudah men-submit aplikasinya, dan memintanya membantuku “memaksa” universitas untuk menerbitkan conditional offer. Humm, lelah..akhirnya aku pamitan pada sahabatku yang sedari dari tadi ngobrol via chat YM

“ Off dulu ya, mau nyuri tidur sebentar sebelum mbalap” ketikku di kotak YM yang menjembatani komukasi jarak jauh itu. Salah satu hobiku-mencuri waktu tidur- yap, tidur pada waktu yang singkat, mungkin sekedar 30 menitan-huumm rasanya luar biasa, huum rasanya luar biasa..cobalah ehehe. Apalagi mendung di langit Purwokerto sudah berubah materi menjadi bulir-bulir hujan, aih…pasti tidurku akan sempurna. Tapi belum lelap 10 menitan..ringtone Yogyakartaku berbunyi--kriyip-kriyiip..siapa gerangan. Kubuka, dan kubaca..huumm—heuheu konsultasi, konsultasi asmara lagi fiuuuh..walaupun beliau jauh lebih senior—tapi bila urusan asmara sedang membelit jiwa—rasanya membutanya sama saja hehe piss. Akhirnya peran “simbah” kujalankan sambil tidur, aahaha..kirim sms—tidur lagi—ringtone berbunyi lagi—bales lagi ehehe multitasking, walaupun akhirnya rencana mencuri tidurnya tak berjalan sempurna.

Tepat 30 menit (eh lebih sedikit ding), akhirnya bersiap pulang ke rumah, karena hujan sudah mulai mereda, hanya gerimis rintis. Dan huumm, rencana menghadiahi diri sendiripun terlaksana, mampir dulu sebentar ke toko es krim-brazil (walau harganya jauh lebih ekonomis dengan toko oen-malang, tapi percayalah rasanya jauh-jauuuuh lebih enak ehehe), kupesan ice cream coffee-ehehe rasa kopinya mantap. Walau telah terikat janji untuk mengurangi kopi-tapi menikmati kopi sesekali sah rasanya, dan kali ini ice cream coffee-pun terasa lekat manis dan sedikit pahit di lidah, menciptakan kombinasi sempurna pada tingkatan rasa tingkat tinggi..halaaah ;p dan tetap dengan melayani dua konsultasi asmara dua problema via sms..multitasking mode ON..ehehe

Dan yah begitulah cerita sepanjang hari, hanya untuk meyakinkan kalian bahwa tidak ada hal-hal “aneh” yang terjadi sebelum aku membalap. Aku tidak baru saja mendapat undian rumah—walaupun aku tengah menginginkan rumah hehe—atau tidak baru saja memperoleh kabar dari penerbit bahwa naskahku diterima –ehehe lha wong belum dikirim ;p—jadi sungguh, semuanya berjalan biasa, dengan rasa yang luar biasa, sempurna. Dan mungkin di antara kalian yang menemukan tulisan ini pasti ada yang menyeletuk :

“Apanya yang luar biasa? Apanya yang sempurna? Lha wong biasa-biasa saja..gitu-gitu doang, nggak ada yang istimewa”

Ehehe tak salah kawan bila kau berkomentar begitu. Tapi sayangnya, kalian tidak punya otoritas sama sekali untuk menentukan kadar “rasa”ku. Seperti juga aku sama sekali tak mempunyai otoritas menentukan rasa siapapun, kecuali “rasa’ku sendiri. Dan ini inginkan kubicarakan kawan, betapa istimewanya rasa. Kita bisa menjadikan apa saja kejadian dalam hidup sesuai pilihan akan rasa dalam mensikapinya. Semuanya bisa menjadi luar biasa, cerah ceria, ataupun sempurna tergantung usaha kita menempatkan dan merasai “rasa” itu. Aku penguasa tunggal penentu rasaku sendiri. Orang lain yang seperlintasan hidup denganku, sahabat dengan canda tawa cerianya, dunia luar dengan turun naiknya hidup, semuanya adalah variabel-variabel yang mempengaruhiku memilih “rasa”, tapi palu akhir tetap pada wewenangku. Bila demikian kawan, sungguh sempurnanya hidup ini karena kita bisa memilih rasa kita sendiri? Kau mau rasa apa? Rasa manis?pahit? masam sedikit?atau segar ceria manis? atau kombinasinya ?ehehe..terserah kalian semua…karena hidup ini dirasai dengan rasa kita sendiri…

Dan marilah dengarkan Astrid menyanyi lagu “tentang rasa”

--Aku tersesat menuju hatimu..beri aku jalan yang indah…

Ijinkanku lepas penatku..tuk sejenak lelap di bahumu..—

Heuheuu…*melengkapi komentar sahabat bala kurawa tentang betapa selera musikku berubah

**Dan rasanya bahasa tulisku juga mulai berubah, huuumm tulisan ini rasanya bukan “aku”.ahaha..fiuuuh..

Minggu, 20 Februari 2011

Sayangilah Dirimu Sendiri dengan Kasih yang Cukup

Aku menyayangi diriku dengan kasih yang cukup. Orang lain berperan untuk menambahkan, melengkapi, mewarnai, dan menyempurnakannya. Bila suatu saat kasih itu berkurang, berubah atau bahkan hilang, aku akan tetap hidup dengan kasih sayang yang cukup

SENT-kukirim sms itu kepada salah satu sahabat bala kurawaku. Aku hanya ingin mencerahkan langit-nya yang saat ini tengah mendung. –setelah kalimat yang kutemukan di salah satu tulisan itu juga berhasil mencerahkanku--

“wawaaw mantra sakti ajaib..tapi mendungnya masih ada..sedikit, boleh telpon?” balasnya kemudian. Dan kejadianpun berulang, sesi ngobrol panjang dalam rangka saling mencerahkan ehehe that’s what a friend means for..

Dia tengah cemas akan satu kata –kehilangan-, bahkan kecemasan akan kehilangan sebelum waktunya. Huum..setiap manusia mungkin pernah merasakan hal itu, *kalimat bertopeng untuk mengatakan: aku juga seperti itu ehehe ;p

Tapi kehilangan seperti juga setiap rasa dalam hidup, adalah salah satu bumbu, yang kadang tak terelakkan untuk dirasai.

Rasa kehilangan ini berteman dengan kata “menuntut”, menuntut agar semua berjalan sesuai dengan mau kita, semua rencana berjalan dengan ingin kita. Bahkan memaksa bahwa andai saja tidak pernah ada kata dan rasa kehilangan.

Sebenarnya diri ini dipenuhi kecemasan akan “ketidaksiapan” akan sebuah kehilangan. Konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi atas nama kehilangan.

“ Pasti saat ini kau tengah ada dalam zona “menuntut”, harimu menjadi mendung tanpa sapaannya, tanpa canda cerianya, tanpa perhatiannya. Dan kau tengah cemas setengah mati, karena kau tahu akan segera kehilangannya, begitukah?”dengan hati-hati kuajukan pertanyaan.

Dan yang kudengar di ujung telepon sana, adalah suara parau, dan isak tangis..heuheuu..ah rasa, apapun rasa itu, kadang aku mengaguminya, bahwa dunia dan hidup pasti akan begitu hambarnya tanpa satu kata ‘rasa”.

Untuk itulah, kalimat “sayangilah dirimu dengan kasih yang cukup”nampaknya menjadi kalimat sederhana dengan artian yang mendalam. Mungkin dengan kalimat itu, kita menjadi tak terlalu cemas akan kehilangan-kehilangan dalam hidup.

Sayangilah dirimu dengan kasih yang cukup. Bahwa dunia akan cerah ceria bila kita tersenyum, menghadiahi diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang membahagiakan, mengajak bicara diri sendiri, dan memberikan yang terbaik untuk diri sendiri. Bagaimana engkau akan menyayangi orang-orang di sekitarmu tanpa engkau menyayangi diri sendiri terlebih dulu?

* karena kasih tak pernah berbatas, maka limpahkanlah pada dirimu, pada orang-orang terkasihmu atau juga orang-orang yang bahkan tak kau kenal…dan juga karena kasih adalah memberi bukan menuntut..

--untuk sahabatku, bila kehilangan itu akhirnya datang..rasailah rasa itu, lalu ingatlah kalimat tadi, dan hidupmu akan tetap berjalan dengan kasih yang cukup—kalau masih berat..bila masih terasa perih..just call me..ehehe..ready 24 hours for emergency call. Special service for a friend ehehe…karena hidup harus terus berjalan, dengan kasih dan cinta yang cukup..ehehe..

*20 Feb 2011. 23.29—di antara menulis proposal risetku.. dan tiba-tiba berpikir, bila disertasi adalah sebuah novel, sebuah tulisan-tulisan spontan seperti tulisanku di atas, mungkin dengan cepat bisa kuselesaikan ahaha..selamat hidup dengan kekinian, dalam detik ini, untuk menjadikannya detik yang terbaik.


Jumat, 18 Februari 2011

Sebuah Percakapan..

“ Aku lelah denganmu. Sudahlah, kau tak perlu aku lagi. Berjalanlah sendiri, seperti maumu, seperti inginmu, seperti rasa yang selalu kau perturutkan itu.”

Aku mendengar suara-suara itu. Lamat-lamat namun semakin jelas kudengar. Aku mengerutkan kening sejenak mendengar kalimat-kalimat itu, huuum, sepertinya Si Kepala sepertinya tengah marah.

“Tidak begitu, percayalah. Aku hanya terkadang tidak bisa memilih, ada kekuatan ajaib yang seperti merasukiku. Tapi, aku masih selalu butuh pertimbanganmu” Suara Si Hati terdengar sedikit merajuk, mencoba menenangkan Si Kepala.

“ Kau tak pernah mendengar kata-kataku lagi, sebenarnya kau tau, tapi tak mau tahu. Kau selalu menentukan maumu sendiri.” Si Kepala berteriak dengan keras. Kulihat Si Hati terdiam sebentar, sepertinya ia tahu kata-kata yang diucapkan Si Kepala benar adanya.

“Sebenarnya tidak seperti itu, sungguh.. tidak seperti yang kau pikirkan. Aku mendengar kata-katamu” kata hati mencoba menyanggahnya.

“ Kau memang mendengar, tapi hanya mendengar. Semua kata-kataku mentah, apa kau benar-benar mendengar?tidak, kau tetap berjalan dengan maumu sendiri”. Si Kepala nampaknya kali ini sungguh telah kehilangan kesabarannya.

Hening sejenak, tak ada seorangpun yang berkata. Aku bingung harus berbuat bagaimana, harus berpihak pada siapa.

“ Tapiii…kau tidak pernah tahu, betapa sulitnya menjadi aku.” Tiba-tiba Si Hati berkata dengan nada suaranya yang sedikit parau, sebuah kalimat yang lebih terasa seperti sebuah keputusasan dibanding sebuah pembelaan.

“Sebenarnya kau bisa, tapi kau tak mau. Selama ini kita bisa berkompromi, berdamai, kita bisa beriringan bersama, tapi ada apa akhir-akhir ini dengan kita?”. Si Kepala nampaknya sedikit melemahkan nada suaranya.

Si Hati dengan lemah mendongak, memandang si kepala, lalu memandang padaku dengan tatapan dengan makna yang tak kumengerti. Matanya berair, sepertinya ia menanggung beban yang berat. Aku iba, tapi tak tahu harus bagaimana.

Kulihat dari kejauhan ada seorang kakek tua renta berjalan, kerut-kerut di wajahnya terlihat nyata. Dia berjalan menghampiri kami,

“ Adakah yang bisa kubantu?.kudengar ada sesuatu yang diperdebatkan” Suaranya parau, suara yang dihasilkan dari pita suara yang tinggal sisa-sisa karena termakan usia.

Kami menoleh padanya, menatapnya dengan tidak yakin. Dia tersenyum, entah apa makna di balik senyumnya itu. Tapi sepertinya senyumnya itu menawarkan pertolongan.

“Kalian tak percaya padakukah?” Ia berucap sambil tersenyum. Ooww..ternyata ia mengerti jalan pikiran kami. Huumm, sepertinya ia punya penerawangan yang bagus.

“ Apa yang bisa kautawarkan untuk membantu kami?” tantang si kepala dengan arogan.

“Kau tahu pasti bahwa aku tidak akan merubah apapun, walau kau bujuk aku dengan cara apapun!” kata si hati menimpali.

Aku bimbang, hanya menatap si hati dan kepala dengan pandangan yang tak jua mengerti mengapa mereka kali ini sulit sekali berkompromi.

Si kakek tua itu kembali tersenyum.

“ Berjalanlah seiring denganku. Itu saja..aku tidak pernah berniat memaksakan apapun kehendak kalian. Silahkan memperturutkan apapun yang masing-masing kalian inginkan. Tapi mari berjalan beriringan denganku..” kata kakek tua itu dengan nada suara yang tenang.

Si hati dan kepala terdiam, mereka nampak memandang tajam pada si kakek tua, mungkin tengah mencerna apa yang dikatakan kakek tua tadi. Tak menyangka “hanya’ itu solusi yang ditawarkan si kakek tua, sesederhana itu.

Aku membisu..bingung sejenak. Harus bagaimana ku jawab, kutoleh si kepala, ia hanya terdiam. Lalu kuminta pertimbangan pada si hati, ia juga membisu.

“ Apa kau bisa menjamin jalan ini akan berhasil ?” fiuuh kenapa pertanyaan itu yang keluar dari mulutku, kalimat yang tak bisa menyembunyikan keputusasan di baliknya.

“Apa engkau punya pilihan lain?” si kakek tua ini hanya menjawabku dengan pertanyaan balik.

Aku berpikir sejenak..memandangnya lagi, seakan meminta kepastian darinya. Tapi kepastian itu milik siapa, bila tak ada yang pasti..dan bila yang pasti adalah perubahan.

“ Baiklah..kuberi waktu engkau sejenak..aku akan menghampirimu lagi. Walau aku tahu pasti apa yang akan kau putuskan” fiuuhh sial, si kakek tua nampak sangat percaya diri.

Si kakek tua itu beranjak pergi meninggalkan kami, berjalan terus..dan terus..aku mengingat-ingat, nampaknya ia terasa familiar dalam ingatanku. Setelah punggungnya tak terlihat lagi, aku baru mengingat sesuatu dengan pasti. Ia..benar..aku baru ingat, si kakek tua itu..adalah variabel waktu..waktu yang terus berputar, berjalan bersama detik yang sebenarnya tak pernah sama itu.

“ Berjalanlah beriringan denganku.itu saja” kembali terngiang tawarannya beberapa saat yang lalu. Aku memandang si hati dan si kepala, mereka nampak masih saling bersitegang. Aku menghela nafas sebentar, dan menyadari kepercayaan diri di balik kata-kata si kakek tua ada benarnya.

“Berjalanlah beriringan denganku. Jangan pernah merasa aku memaksamu memahami sesuatu yang belum bisa kaupahami kini. Karena aku yakin, kau akan memahaminya suatu saat nanti. Jangan pula bimbang bagaimana caranya, karena semesta mempunyai mekanismenya sendiri. Percayai saja dirimu dan mari berjalan beriringan denganku” suara lamat-lamat si kakek tua itu terdengar lagi.

Kali ini aku tersenyum mendengarnya, memandang si hati dan si kepalaku dan ingin segera mengatakan sesuatu pada mereka. ***

14 Feb 2011. 0.06 am