Minggu, 13 September 2015

Goenawan Mohamad dan Harapan




“Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup—yang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah. (Catatan Pinggir, GM)

Tempo hari saya menghadiri salah satu acara Discover Indonesia yang diselenggarakan di Glasgow, In conversation with Goenawan Mohamad. Saya mengenal nama itu, tapi saya belum begitu sering membacai tulisan-tulisannya. Beberapa bait prosa yang dibawakannya pada saat acara tersebut membuat saya penasaran, ramuan kata-katanya tak biasa.
Secara sosoknya GM juga seorang yang lugas dan cerdas. Bahasa inggrisnya juga sangat bagus, mampu membuat acara semacam talk show itu menjadi enak dinikmati,
Tapi bukan itu yang ingin saya cermati, saya tertarik bagaimana beliau memandang “harapan” yang tidak biasa seperti orang kebanyakan.
Atau mungkin kebanyakan orang demikian, tapi tak terlontarkan dalam kata-kata seperti yang saya kutipkan di awal tulisan ini. Saya membacai beberapa tulisan beliau melalui websitenya, dan semakin sering saya menjumpai bagaimana beliau memahami harapan dalam konteks realitas.
Harapan, yang saya kenal seringkali dianut oleh dua kutub. Kutub optimisme dan kutub pesimisme. Bagi si kutub optimisme, harapan adalah energi penggerak laju hidupnya. Bagi si pesimisme, mereka sering kali berkata, jangan berharap agar tidak merasakan kekecewaan.
Saya dulu adalah si penganut si optimisme. Jalur jalur hidup saya kebanyakan ditempuh oleh semangat-semangat harapan. Saya terbiasa mengandalkan harapan untuk mewujudkan banyak impian-impian saya. Impian-impian yang seringkali tak berani diperjuangkan orang-orang yang tak berani berharap.
Saya kadang-kadang tak tahu bagaimana mewujudkan apa yang ingin saya raih, tapi yang saya tahu saya punya harapan dan keyakinan. Terkadang hanya itu.
Tapi manusia bersikap seringkali sesuai dengan pengalaman hidupnya, bagaimana lingkungan ia ditumbuhkan dan orang-orang di sekelilingnya.
Dulu saat mendengar tentang gagasan “makanya jangan berharap agar tidak merasakan kekecewaan” saya sungguh tidak bisa mencerna gagasan tersebut.
Saya maklum dan mengerti maksudnya, tapi saya sungguh jauh dari tipikal penganut kutub tersebut.
Agar tidak merasakan kekecewaan? Ah, jadi kau takut kecewa? Ah, jadi kalian tidak berani sakit dan menghadapi saat saat sulit?
Tapi kemudian kehidupan membawakan saya pengalaman-pengalaman tak biasa dimana saya harus menghadapi tumbangnya harapan-harapan yang tak terbayangkan. Bukan berarti perjalanan saya ke belakang berlalu tanpa pengalaman harapan yang tumbang dan kekecewaan. Banyak sekali, tak terhitung jumlahnya, tapi kala itu selalu saja harapan itu tak pernah lepas. Tapi ada waktu ketika harapan besar yang saya ikatkan selama masa waktu yang panjang, serasa kandas dengan cara yang tak terbayangkan. Tidak ada yang lebih merubuhkan saya si penganut harapan ini daripada kehilangan harapan.
Dalam perkabungan perkabungan itu saya merasai bagaimana rasanya tidak mempunyai harapan. Tidak bisa.
Saya masih ingat saat saat sulit itu.
Saya juga masih ingat sebuah kalimat yang saya dengar kala itu,
“Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu hidup lagi?,” begitu tanyamu waktu itu. Di samping sayu dan matinya harap di mataku.
“ Beri aku harapan” kalimat itulah yang saya lontarkan kala itu, di antara bisu yang lebih sering terjadi.
Mulai saat itu saya belajar, bagaimana berharap di tengah optimisme dan pesimisme sekaligus. Karena saya tahu, harapan itulah yang tetap membuat langkah langkah saya hidup.

Kita tak meng-harap. Kita ber-harap. Kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya harapan: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya.” (Catatan Pinggir, GM)

Jika kita tak melepaskannya, ah ya. Saya tetaplah si optismisme itu, yang kini bisa belajar melihat dari sisi pesimisme.
Saya tetap membuat rencana-rencana, walau tahu rencana-rencana itu mungkin saja mentah ataupun bisa saja diijabah. Saya tetap menaruh harap, walaupun tahu masa depan bisa membawakan saya pada keputusan-keputusan Tuhan yang tak bisa kita kendalikan.
Kini, tiap hari kau semakin melihat..mata saya semakin dihidupkan harapan. Harapan yang pelan-pelan menghidupkan lagi semangat dan hidup saya.

sebagaimana Lu Xun, penulis Cina, menyatakan, “Harapan adalah seperti jalan di daerah pedalaman, pada awalnya tidak ada jalan setapak semacam itu, namun sesudah banyak orang berjalan di atasnya, jalan itu tercipta.” (catatan Pinggir, GM)



Pertemuan saya dengan Goenawan Mohamad, mengingatkan saya lagi tentang harapan. Beliau menghadirkan sisi harapan dalam konteks yang begitu manusiawi. Bukan hanya dalam bunga bunga optimisme, tapi juga harapan dalam perkabungan-perkabungan dan kekecewaan. Saya menamainya, kepasrahan.
Terimakasih

Glasgow, 14 Sept 2015. Ketika gerimis dan sinar matahari datang sekaligus, begitulah..seperti pelajaran tentang manajemen harapan, dalam optimisme dan kesiapan pesimisme sekaligus. 
Previous Post
Next Post

1 komentar: