Senin, 25 Mei 2020

Cerita Tentang Rumah Mint


“Iya bu, tapi kalau harus bener-bener nyicilnya maksimal 1/3 dari penghasilan emang kudu yang cicilan sekitar 15 tahun,” begitu curhat seorang kawan yang tengah mencari rumah--Mencari tanah untuk membangun rumah, lebih tepatnya.

Dari curhatnya itu, saya kembali sadar bahwa mempunyai rumah pada saat ini memang tidak mudah dan butuh perjuangan. Punya cicilan selama 15 tahun nggak kebayang sih capeknya kayak apa, walaupun nilai uang cicilannya akan terus turun. Tapi pengalaman pernah punya cicilan tiap bulan itu rasanya nggak enak, kayak punya tanggungan gitu. Tapi di sekitar kita, banyak yang mengambil cara ini untuk memiliki rumah, biar nggak numpang sama mertua ataupun karena keinginan ingin mandiri. Saya pun membeli dengan cicilan kok.

Saya dulu belum terlalu “kenal” dengan financial planning. Jadi pengelolaan keuangan lebih ke asal-asalan saja, asal aman.Tujuan finansial juga nggak begitu jelas, mungkin karena masih sendiri jadi belum menganggap perencanaan keuangan itu penting. Tapi ada satunya sih nggak saya amati, kok dulu belajar ekonomi di sekolah nggak pernah diajari gini-gini ya? Coba gitu diajari financial planning, how to spending, how to saving ataupun investasi. Karena ternyata pengetahuan tentang hal hal tersebut sangat berguna untuk kehidupan kita.

Dulu, tujuan finansial saya paling-paling buat travelling. Karena saya suka jalan-jalan, dan menganggap pengalaman menjelajah itu hal yang berarti dalam hidup. Lalu sekitar 1 tahun sebelum saya pulang ke Indonesia, ada teman yang menawari saya rumah. Dia mau pindah ke lain kota karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di sana. Waktu ditawari rumah, saya merasa belum kepikiran memiliki rumah.
            
Nantilah, masih sendiri juga”-mungkin ini yang membuat saya merasa belum perlu. Ditambah juga, waktu itu saya belum memantapkan hati untuk tinggal di Purwokerto.

Tapi akhirnya saya pun memutuskan membeli rumah--bukan rumah temen saya yang nawari itu sih. Tapi yang tidak banyak tahu bahwa saya menghabiskan tabungan saya agar memperbesar DP rumah sehingga cicilan yang harus saya tanggung nggak terlalu banyak. And then, kejutan setelahnya adalah saya nggak dapat beasiswa perpanjangan Dikti untuk menyelesaikan S3 saya di Glasgow. Itulah yang membuat saya jualan tempe, bakso, sate, bolak balik Glasgow-Edinburgh tiap minggu pas Ramadan untuk jualan, agar saya tetap survive.

Ada satu momen yang masih terus saya ingat, ketika saya ikut bazar Ramadan di Glasgow. Seorang teman dari Indonesia yang order masakan saya mengabarkan nggak bisa ke bazar karena anaknya masih tidur. Makanya saya mengantarkan ke rumahnya seusai kegiatan bazar. Dengan membawa orderan, saya ke rumah teman Indonesia tersebut. Sampai di pintu, saya serahkan orderan masakannya…tapi si mbaknya malah mrebes mili,

Lalu saya yang tadinya biasanya saja, jadi tertular ikut mrebes mili. Ah, kami yang hidup di negeri jauh dari Indonesia, mungkin memang tahu betul perjuangan masing masing dari kami. Cerita-cerita itulah yang membuat saya cinta sama rumah yang saya sebut Rumah Mint itu.

Sekarang, rumah mint sedang direnovasi karena pengen nambah dapur yang lebih luas di belakang. Karena saya suka masak dan dapur sebelumnya cuma secuil hehe. Sebenarnya soal finansial, saya termasuk pemain aman, tapi kok ya nekadan. Saya bingung juga menyebutnya tipe apa kalau baca di Buku-nya Mbak Prita Ghozie, perencana keuangan favortit saya. Saya tipe no-utang utang club untuk soal konsumtif-dan renovasi rumah bukan kebutuhan urgent, jadi jelas saya mengambil biaya renovasi dari tabungan. Oke itu sifat pemain aman-nya ya. Tapi nekadan-nya itu ketika udah hire tukang dan tau perkiraan biaya renovasinya yang bikin tercengang hahah..

Ternyata ya bikin bangunan jaman now mantep banget ya biayanya. Akhirnya rada ngebut juga kerjanya agar ada pemasukan pemasukan tambahan, dan Alhamdulillah masih aman sampai sekarang. Tapi perencanaan keuangan itu penting banget sih, sama punya tujuan finansial biar hidup lebih tertata rasanya. Dan, hidup dengan situasi finansial yang aman itu juga membawa ketenangan hati juga lho. Saya banyak mendengar permasalahan keuangan, bahkan katanya soal finansial juga berpengaruh pada kehidupan rumah tangga. Ada satu kalimat dari mbak prita ghozie yang saya suka banget, intinya bahwa kita hidup itu sesuai dengan kemampuan finansial kita. Dengan slogannya Live a Beautiful Life!
Kapan kapan saya review bukunya Mbak Prita ya.


Rabu, 20 Mei 2020

Menepi di Tengah Pandemi



Suasana di luar jendela lenggang, sepi. Hanya nampak sesekali ada lalu lalang orang yang mau bekerja di sawah sebelah rumah. Seperti beginilah memang suasana sehari-hari di sekitar rumah. Salah satu yang membuat saya jatuh cinta pada lingkungan daerah rumah ini..suasananya yang damai dan tenang. Sementara ladang jagung dan sawah di sebelah samping rumah itu layaknya bonus pemandangan yang setiap hari dapat saya nikmati dari teras atau sekarang dari balik jendela dapur. Udaranya masih segar dan bersih, apalagi saat membuka jendela pagi hari. Sungguh, ritual pagi yang selalu menyenangkan.
Saat ini dunia masih dilanda pandemi Covid-19 sejak kemunculannya Desember 2019 lalu. Dan sejak pertengahan Maret 2020, kampus sudah menerapkan kebijakan wfh/work from home. Bagi saya, situasi ini sungguh sangat tidak pas karena pada saat yang sama saya sedang renovasi rumah yakni menambah dapur di bagian belakang rumah. Sebelum wfh saya tidak merasa terganggu karena hampir pasti jam 8 pagi saya sudah bersiap ke kampus, hanya ngobrol ngobrol sebentar ketika ada hal yang perlu dibicarakan soal bangunan *yang seringnya saya nggak ngerti juga haha* tapi tetep harus mikir harus bagaimana :D

Kemudian saya seharian di kampus dan baru pulang ke rumah menjelang maghrib saat tukang-tukang sudah pulang. Jadi gangguan kericuhan dan keramaian di rumah sangat minimal. Tapi semenjak wfh, saya struggle untuk menghadapi kondisi bahwa saya harus stay di rumah, tetap harus ngerjain pekerjaan macem macem via online di tengah riuh rendah bunyi bunyian pekerjaan tukang. Setengah bulan belakangan akhirnya saya memilih untuk ke kampus untuk "melarikan diri". Pikir saya, paling tidak kampus merupakan tempat yang aman karena sepi, di ruangan juga sendiri dan sangat minimal berinteraksi dengan orang lain. 

Mulai kemarin tukang sudah mulai libur menjelang lebaran, jadi saya menikmati wfh full di rumah. Yah memang, kondisi pandemi ini banyak menggubah keadaan. Tetap saja, saya rindu untuk beraktivitas normal bekerja seperti biasa, bisa berinterasi dengan rekan rekan kerja serta para sahabat yang menceriakan hari. Saat ini, interaksi dengan orang lain menjadi sangat minimal. Memang masih bisa via whataps, google meet, zoom dan sarana sarana online lainnnya. Namun tetap saja terasa berbeda ya? tapi mau tidak mau, kita harus menerima kondisi seperti ini.

Kangen piknik..jalan jalan? banget. saya biasanya pasti secara rutin mengagendakan jalan jalan walaupun nggak jauh-jauh agar bisa menjaga ritme kewarasaan dan kebahagiaan. Kalau sekarang? memandangi sawah dari jendela dapur, merasakan hembusan angin mengayun-ngayunkan tanaman padi aja sudah bikin hati adem. Tapi kan tetep kangen menjelajah dunia! hehe

Situasi ini mengingatkan saya pas lagi ngejar submission thesis S3 waktu studi di Glasgow. Saya memutuskan untuk bekerja dari rumah, dibandingkan harus pergi ke lab untuk menulis. Saya ingat, waktu itu rekan seflat saya sedang pulang ke negaranya jadi saya praktis sendirian. Saya pernah merasakan nggak ngobrol langsung ketemu sama orang lebih dari semingguan. Karena di Glasgow, nggak setiap hari kita bisa ketemu temen-temen sesama Indonesia. Paling kalau ada acara pengajian, PPI atau ada acara khusus lainnya. Sementara di tahun terakhir, sahabat sahabat dekat sudah semakin sedikit yang masih stay di Glasgow. Jadi rutinitas saya ya nulis, masak...kemudian agak siangan, pergi ke LIDL atau toko daging, sayur sekedar jalan jalan atau membeli bahan bahan makanan. Jadi ngobrolnya ya interaksi pas di kasir doang. Untuk seorang introvert seperti saya, yaaa oke oke saja sih ternyata ketika harus melewati kondisi yang seperti itu. 

Namun kondisi pandemi seperti ini terasa berbeda, karena mobilitas kita juga terbatas. Kalau nggak penting-penting amat, diusahakan tidak kemana mana. Mungkin saatnya untuk menepi sejenak dari hiruk pikuk rutinitas biasanya yang selalu berkejar kejaran. Walaupun pekerjaan di masa wfh ini juga ya terus berkejaran hehe...

Tapi sekarang saya punya waktu untuk memasak mempersiapkan menu berbuka puasa, menata nata rumah lagi. Memang masih belum selesai juga renovasi rumah mint karena ternyata bener kata orang "rumah tuh kalau diturutin nggak ada selesai-selesainya" hehe. Setelah dapur, saya pengen merenovasi teras depan juga biar bisa untuk nongkrong nongkrong dengan nyaman. Tapi so far, saya puas dengan hasilnya..seperti foto di atas itu pojok bar rumah mint setelah renovasi yang tadinya gudang yang jarang sekali dibuka. Sementara dapurnya sudah berfungsi walaupun belum ada kitchen set-nya. Nunggu ada rejeki berikutnya hehe..

Semoga kalian semua tetap sehat ya di tengah pandemi ini.***

Rabu, 11 September 2019

Cerita dari Birmingham Coach Station




Dari ruang tunggu Birmingham Coach Station saya mengamati orang-orang yang berlalu lalang, sibuk dengan tujuan mereka masing masing. Terminal, stasiun, bandara seringkali merupakan tempat yang tepat untuk mengamati orang orang. Baru saja nampak di depan saya melangkah bapak paruh baya, dengan senyumnya yang tersungging, dengan gerak bahunya yang kentara bahwa dia tengah bahagia. Sementara ketika saya menyalangkan mata ke arah depan. 

Perhatian saya tertuju pada seorang laki-laki yang tengah mengamati jadwal keberangkatan. Mata saya tertuju pada kruk kanan kiri yang nampak menyangga tangannya. Tas punggung besar nampak dipikulnya. Kemudian pandangan saya turun kearah bawah, dan seketika hati saya terkesiap menyadari bahwa kaki-nya hanya satu. Celana panjang sebelah kirinya diikat. Nampak dari kejauhan, dia kemudian berjalan dengan kruk-nya menuju tempat duduk.

Melihat pemandangan tadi, seketika membuat saya berpikir..dan merasa beruntung anggota badan saya masih lengkap. Tadi pagi dengan perjuangan saya menggeret koper dari penginapan saya, Ibis Budjet Birmingham ke Birmingham Coach station. Sudah jamak kalau disini kemana mana jalan kaki. Maka dengan beberapa kali berhenti sembari melihat google map, saya menyeret koper dan membawa tas punggung. Beberapa hari di UK, membiasakan kembali kemana-mana jalan kaki. Pegel? Iyaa banget. Karena kebiasaan di Indonesia yang kemana-mana naik motor, atau ada Gojek, Grab dll. Saya sih membayangkan, dengan kedua kaki yang masih normal saja saya ngos ngosan sampai Birmingham Coach Station. Bagaimana si mas mas dengan satu kaki tadi? Namun dia nampak baik baik saja, bepergian sendiri tanpa bantuan orang lain.

Kadang-kadang kita ternyata kurang bersyukur ya dengan apa yang kita punya. Maunya banyak ini itu, merasa belum lengkap..belum bahagia kalau belum meraih ini itu. Namun terkadang ini diingatkan dengan hal-hal sederhana seperti yang saya temui hari ini.

Saya ada di Birmingham menunggu jadwal perjalanan menuju Glasgow. Yang mungkin saja beberapa orang juga ingin merasakan bagaimana rasanya menginjakkan kaki di Britania Raya. Tuhan, kembali lagi bermurah hati membuat saya merasakan lagi kesempatan pulang di negeri ini.

Mungkin ada banyak hal yang belum saya raih..tapi hari ini saya diingatkan lagi untuk bersyukur dengan apa yang saya punyai. Berkah Tuhan yang selalu melimpah untuk saya. Terimakasih.***
  
Birmingham coach station-4 September 2019


Jumat, 30 Agustus 2019

Secangkir Kopi di Abu Dhabi




Secangkir coffee latte kupesan dari gerai kopi Costa yang kujumpai di Terminal 3 Abu Dhabi International Airport. Sembari menunggu jadwal penerbangan berikutnya menuju London yang masih beberapa jam lagi. Sayang memang, setelah kutanya pada petugas ternyata tidak memungkinkan untuk membuat visa transit untuk keluar jalan-jalan sebentar memanfaatkan fasilitas free tour airport. Harusnya memang sebelumnya diurus dulu. Ah perjalanan kali ini memang tanpa perencanaan yang jelas hehe. Himpitan jadwal kerjaan menjelang berangkat membuat persiapan ala kadarnya banget. Nggak sempet nyari oleh oleh khas Indonesia untuk supervisor saya di Glasgow nanti. Baru ngeh juga saya ternyata nggak bawa sambungan charger colokon 3. Printilan-printilan seperti itu terlewatkan karena persiapan yang ala kadarnya. Ah ya sudahlah, dinikmati saja segala keseruan keseruan yang ada.
Di tengah membalas satu-satu pesan yang masuk dari beberapa orang, ada satu pertanyaan dari sahabat saya yang menggelitik,
“Eh, kan sering pergi-pergi gini, biasanya gimana cara move on ketika masa transisi dari satu momen ke momen yang lain?” begitu tanyanya,
Ealaah, pertanyaannya berat. Tapi membuat saya berpikir juga sih. Salah satu kesulitan manusia itu memang living in the momentLiving in the now. Bagaimana untuk hidup pada saat ini, fokus pada masa sekarang yang terjadi. Selalu ada tarikan tarikan perasaan dan memang ketika dalam bepergiaan, fluktuasi perasaan perasaan seperti itu memang lebih terasa.
      Dalam perjalanan saya ke Gambir saja, masih ada beberapa telpon dan whataps-whataps urusan  pekerjaan. Dan yang tidak saya menyangka justru di situ saya merasa bahwa saya merindukan pekerjaan dan orang-orang yang biasa bekerja dengan saya. Di momen itu saya tiba tiba merasa beruntung. Mungkin saja banyak di luar sana yang menganggap pekerjaan itu beban berat atau hal yang tidak menyenangkan. Saat itu saya merasa beruntung karena walaupun sering ngeluh karena kebanyakan kerjaan, tapi saya  tetap menikmatinya. Menikmati segala lelah, rusuh, dan penatnya kerjaan yang sering kali datang bertubi menghampiri. Dan satu lagi yang membuat saya merasa beruntung, yakni pada saat itu juga saya menyadari, lebih tepatnya kembali menyadari bahwa saya punya rekan rekan kerja yang asik dan menyenangkan. Ini membuat ketika deraan pekerjaan datang, walau lelah namun tetap terasa tidak terlalu memberatkan.
        Ketika pergi, entah mengapa kita menjadi lebih jelas untuk mengerti perasaan perasaan kita sendiri. Lebih banyak mengamati orang-orang, dan mengamati diri kita sendiri. Dalam pergi ke tempat tempat yang jauh, ada jeda yang istimewa di sana. Yang sering luput kita dapat dalam rutinitas sehari-hari yang rasanya sering berlarian. Waktu cepat berlalu, namun makna sering kali terluput. Dan mungkin dengan pergi dan mengambil jeda, serupa memberikan waktu bagi jiwa untuk kembali lebih mengamati diri sendiri.
          Kembali ke pertanyaan sahabat saya, “bagaimana caranya untuk move on dari satu momen ke momen yang lain?" Apalagi ketika kita merasai momen yang istimewa, kemudian harus kembali menjalani kehidupan yang lain lagi. Iya bayangkan hanya selang beberapa jam, hidup bisa langsung berubah. Berada di tempat antah berantah, sendirian. Tentu saja hidup berubah, mengadaptasi perubahan demi perubahan. Mungkin itulah mengapa terkadang kita butuh perjalanan. Bagaimana caranya move on? Pertanyaan itu mungkin salah jika dialamatkan ke saya. Saya pun masih kesusahan menghadapi ketika kadang perasaan masih ditarik-tarik oleh momen momen di masa belakang yang tetap hadir di masa kini. Lha Glasgow aja selalu narik narik pulang..seperti saat ini. Membuat saya mengerahkan tabungan dan energi untuk mengurus perjalanan saya pulang ke Glasgow.
Ah pulang, bukankah sebuah kata yang istimewa?
Semoga saya menemukan pulang.
Perjalanan kali ini saya tidak langsung menuju Glasgow. Tapi melalui London, karena ini berjumpa dengan Mita, sahabat saya plus jalan-jalan di London. Lalu lanjut ke beberapa kota sebelum pulang pada Glasgow.
        Daripada  mempertanyakan bagaimana caranya move on dari satu momen ke momen lain yang cepat berganti, saya cenderung untuk lebih banyak belajar menerima. Termasuk menerima ketika beberapa momen enggan pergi dari hati. Biarkan..kalau memang seperti itu adanya. Mungkin memang ada momen momen istimewa yang terus terpatri dalam hati. Ah biarkan saja…
Ada sebuah kalimat yang saya lupa kubaca dimana “ketika kita menyangkal suatu perasaan tertentu, maka perasaan itu akan semakin mengekal’.
Dan ternyata, belajar menerima pun tidaklah mudah. Apalagi ketika belajar menerima hal hal yang tidak kita rencanakan, tidak kita sukai, atau yang tidak kita inginkan. Tapi kadang hidup, membuat kita harus belajar menerima hal hal tersebut. 
Coffee lattee saya sudah mulai mendingin, orang orang di depan saya berlalu lalang dengan urusan dan tujuannya masing masing. Saya masih di sini, bersama secangkir kopi dan pikiran pikiran saya sendiri. ***

Abu Dhabi International Airport, 30 Agustus 2019

Kamis, 11 April 2019

Cerita dari Kedai Kopi



Hujan belum lagi reda, saya masih bersama alunan samar musik di kedai kopi yang akhir-akhir ini menjadi tempat pindah kerja usai dari kampus. Ritme kerja memang berubah jauh sejak mendapat tugas tambahan sebagai Sekretaris Jurusan akhir januari lalu. Seharian bisa ngerjain ini itu, tapi di akhir hari berasanya nggak ngerjain apa apa. Karena yang dikerjakan biasanya hal-hal administrasi, rapat, urusan panitia ini itu. Habis waktunya untuk mengerjakan yang bukan “kerjaan sendiri”.
Pekerjaan yang semenjak pulang dari kuliah di Glasgow sudah padat, sekarang sudah semakin padat merayap. Tapi mungkin  kondisi seperti itulah yang saya butuhkan saat ini.
Makanya, seringkali saya mampir ke kedai kopi ini usai dari kampus untuk menyelesaikan kerjaan saya sendiri. Seperti nulis manuscript artikel jurnal yang susah sekali mencari waktu ketika berada di kampus. Selain kadang waktunya memang nggak sempat, juga distraksinya banyak. Bila di sini, lumayanlah cukup produktif, dan hasil artikel yang terbit pun mulai bertelur satu per satu. Saya tidak ingin pekerjaan tambahan menjadi sekjur membuat publikasi ilmiah saya macet. Banyak orang ketika terjebak dalam tugas tambahan, akhirnya melupakan atau tak sempat waktu untuk menulis publikasi.
Saya sendiri, tidak menyangka ketika saya pada akhirnya memutuskan untuk bersedia untuk duduk dengan tugas tambahan. Semenjak jadi dosen, saya tidak pernah berpikir untuk mau ataupun berkeinginan ke arah situ. Saya menilai diri sendiri sebagai pribadi yang tidak terlalu bagus jiwa kepemimpinannya. Saya dulu yang pernah bertanya pada teman-teman semasa kuliah S1 :
            “Kerjaan apa ya yang nggak usah ketemu atau ngobrol dengan banyak orang?”
Begitu lontaran pertanyaan saya. Mencerminkan betapa payahnya kemampuan interpersonal saya dengan orang lain. Dan rasa rasanya berinteraksi dengan orang lain membutuhkan energi yang banyak dan melelahkan.
            “Pegawai perpus tuh, nggak usah ketemu sama orang banyak” jawab sahabat saya dulu sewaktu jaman kuliah S1.
Tapi hidup terus berubah, mungkin saya juga banyak berubah. Walaupun secara pribadi, saya masih saja pribadi yang introvert, yang kadang habis energi ketika banyak berinteraksi dengan orang, kemudian butuh waktu sendiri untuk mencharge energi. Tapi kehidupan berubah, dan saya harus mencoba melenturkan diri pada perubahan.
Pada akhirnya saya bersedia untuk menjajal untuk bekerja dengan tugas tambahan, dengan risiko pekerjaan akan tambah banyak, nggak bisa "ngilang-ngilang", dan waktunya akan banyak tersita untuk urusan pekerjaan. Satu hal lagi, risiko nya adalah nggak bisa apply post-doc dikti atau program lain yang mengharuskan meninggalkan kampus dalam jangka waktu yang agak lama selama periode dengan tugas tambahan. 
Jadinya ketika melihat pengumuman Dikti untuk tawaran post doc 3 bulan tahun ini saya cuma melihat dengan nanar *risiko harus diterima 😁
Kadangkala, kita harus menjajal untuk keluar dari zona nyaman. Mungkin saatnya untuk melemparkan lagi titik yang harus saya kejar. Beberapa tahun belakangan, saya tidak punya titik yang saya kejar. Dulu saya selalu melemparkan titik ke depan, dan membiarkan diri saya untuk berupaya mewujudkannya.
Sudah agak lama, saya tidak punya titik itu lagi. Saya kebingungan ketika akan melempar titik itu...mau ngapain lagi? mau mengejar apa lagi? Kali ini, saya menemukan titik yang ingin saya tuju.
Karena itulah, saya sering ada di kedai kopi ini, agar mempunyai lebih banyak waktu dan energi untuk menulis publikasi-publikasi ilmiah dan hal-hal lainnya.
Karena saya ingin membiarkan diri saya menapaki jalan untuk menuju titik yang saya lempar itu.
Mungkin ini untuk seseorang yang pernah berkata pada saya
“ Seeing you grow up and jump as high as possible is my happiness”

Atau mungkin ini untuk diri saya sendiri.***



Society, 11 April 2019



Selasa, 13 November 2018

Kacamata tentang Kebahagiaan




Hari ini tak sengaja mendapati postingan Mas Andi Arsana, dosen Geodesi UGM di IG story-nya, tentang perjalanannya menuju sebuah meja yang merupakan titik temu antara tiga negara Slovakia, Hongaria dan Austria setelah mengikuti lomba the Falling Walls Lab di Berlin, Jerman. Jadi kalau duduk di meja segitiga itu, kita berada di tiga negara yang berbeda. Untuk sampai di situ, dari Ig story-nya beliau bercerita harus terbang dari Berlin ke Wina, kemudian ke Bratislavia naik bus, lalu menyewa supir taksi untuk menuju ke meja segitiga itu. Sempat mereka berhenti dan kebingungan untuk mencapai tempat itu. Sepertinya lokasinya sulit dijangkau, sampai harus jalan kaki..dan sampailah ia ke meja berbentuk segitiga, dengan tiga kursi panjang yang mengelilinginya. Dengan muka penuh antusias, beliau mengucap dalam videonya,

            “ Hey akhirnya sampai juga...ini adalah meja yang menandakan tiga negara..bla bla..bla..”
Saya mengeryitkan dahi, hanya kayak gitu doang tempatnya? Heheh...namun, sedetik berikutnya saya kembali diingatkan..betapa nilai sesuatu menjadi sangat berbeda bagi setiap orang. Bagi seorang Mas Andi yang selama ini bergelut di dunia perbatasan, mungkin itu keinginan yang sudah dipendam sejak lama. Hingga bisa mencapai tempat itu merupakan pencapaian yang luar biasa.
Seperti juga saya diingatkan pada seseorang yang mengirimkan pesan via FB messenger ke saya. Si bapak yang tidak saya kenal sebelumnya itu bercerita akan ke Edinburgh, dan dia nanya apakah saya tahu dimana makamnya Adam Smith. Dia tahu kalau Adam Smith itu dimakamkan di Canongate Kirkyard Edinburgh, tapi dia nanya siapa tau saya tahu ancer-ancernya. Ya ampun, biasanya orang ke Edinburgh itu ya pengennya ke tempat seperti Kastil Edinburgh ataupun Calton Hill. Lha ini, niat banget pengen nyari kuburannya Adam Smith!
            “Saya dulu itu terinspirasi Adam Smith gara gara dosen saya banyak cerita soal Adam Smith,” si bapak itu bercerita.
Hal tersebut semakin mengingatkan saya bahwa tiap orang punya kebermaknaan hidup yang berbeda masing-masing.
Hal hal yang menurutmu luar biasa, bagi orang lain mungkin saja hanya receh. Ataupun sebaliknya, hal hal yang menurutmu biasa saja, bisa saja menjadi hal luar biasa jadi orang lain.
Ada orang yang merasa keliling ke berbagai negara itu menantang dan memuaskannya, namun ada orang yang kepuasannya ada pada membuat kreasi craft, memastikan anaknya hapal Juz sekian, atau ada pula yang menilai kebermaknaannya pada dedikasi pada pekerjaannya.
Tiap manusia rasanya punya pijar kebahagiaannya masing-masing, yang tentu saja berbeda-beda.
Namun yang saya jumpai, kadangkala orang memakai kacamatanya sendiri untuk melihat kebermaknaan orang lain. Orang memakai standarnya sendiri, untuk melihat orang lain.
Memang dalam perjalanan hidup manusia, ada hukum yang tak terucapkan bahwa ada beberapa hal yang dijadikan standar pencapaian hidup seseorang. Dimana ada alur menjalani bangku sekolah, kuliah, mencari pekerjaan, menikah, punya anak, yang rasanya ada timeline tertentu yang juga menjadi kesepakatan bersama.
Hingga orang orang yang tidak sesuai dengan timeline itu, sepertinya menjadi “orang yang berbeda”.
Saya dalam beberapa kesempatan interaksi sosial adakalanya merasa “direndahkan” hanya karena belum menikah. Bahasa-bahasa yang secara implisit, bahkan kadang eksplisit tersampaikan bahwa “saya sudah, kamu belum”. Beberapa orang merasa “lebih” karena mereka sudah, dan saya belum. Memang ada orang orang yang mengganggap menikah itu pencapaian, ada pula yang enggak lho. Jangan lupa.
Tekanan sosial juga bukan main derasnya lho bagi para barisan “belum menikah” seperti saya. Masih ditambahi judgement-judgement mereka sendiri, tanpa ingat bahwa tiap orang punya ceritanya sendiri yang tidak perlu dibagikan pada orang lain.
Sama halnya dengan pasangan yang belum punya anak misalnya. Ada sahabat saya yang mengalami tekanan baik dari sosial umum, bahkan dari keluarganya hanya karena ia belum hamil juga. Ada sahabat saya lainnya juga yang baru baru ini mengunggah tulisan di IG storynya. Ia baru saja wisuda PhDnya di salah satu universitas di UK. Sepertinya ada orang yang berkata padanya begini :
            “ Kapan nih mbak punya anak. Apa nggak pengen punya anak kayak keluarga-keluarga yang lain?”
Ya ampun basa basi-nya sadis banget sih menurut saya. Kita nggak tahu apa yang telah diupayakan sahabat saya itu selama ini untuk memiliki momongan. Ataupun kita juga nggak tahu apakah sahabat saya itu memang pengen punya anak atau tidak. Bukan hak kita untuk tahu.
Banyak orang bertanya tentang “Kapan?” yang sebetulnya tidak perlu ditanyakan.
Menilik lagi pada kisah di atas tentang Mas Andi dengan meja segitiganya atau si bapak dengan kuburan Adam Smithnya. Tiap manusia punya ceritanya masing-masing. Punya pijar bahagianya sendiri-sendiri. Punya apa-apa yang dirasa penting, berharga, bermakna dan apa yang membuat bahagia..sendiri sendiri.
Tidakkah hidup menjadi lebih tenang, ketika kita bisa saling menghargai hal-hal yang sangat pribadi itu?
            “Mesakke (kasihan banget) mbak , di rumah sendirian. Sepi banget pastinya”
Orang lupa, bahwa kalau dia merasa lebih bahagia dengan  hidup ramai, di tengah banyak orang..belum tentu orang lain. Ada orang yang lebih nyaman sendiri, walau tetap menikmati berinteraksi dengan orang lain, tapi ia butuh mencharge energinya dengan lebih banyak sendiri. Saya stress lho kalau terlalu lama harus berada dalam pertemuan banyak orang. Iya, tiap orang punya keunikannya masing-masing..hal ini yang seringkali dilupakan.
Sayangnya, beberapa orang masih memandang kebahagiaan orang lain dengan standar kacamatanya mereka sendiri. *** 


Minggu, 20 Mei 2018

Menuju Glasgow (Lagi)

I miss The Old ME



Dalam hidup, pasti kita punya suatu rentang waktu yang rasanya merupakan “the best moment in life”. Suatu waktu ketika hidup berjalan indah dan membahagiakan. Sehingga ketika suatu saat hidup terasa berat, banyak dilanda kekecewaan ataupun terasa berjalan membosankan. Ada keinginan untuk kembali “ke masa-masa indah” itu.
Kalian pernahkah merasakan seperti itu?
Bagi saya, masa-masa hidup di Glasgow adalah masa-masa yang membahagiakan, tenang dan damai sekaligus penuh kenangan indah.
Walaupun sebenarnya bila ditengok secara mendetail sebenarnya hidup saya di Glasgow termasuk masa-masa berat, harus menyelesaikan studi S3 dengan segala rintangannya, pun harus berjuang dengan beasiswa yang mepet serta sering terlambat cair. Ada banyak airmata, tapi memang lebih banyak tawa ceria.
Sometimes, I miss the old me!
Saya yang penuh senyum tawa ceria. Karena walaupun ada banyak masa-masa sulit, tapi ketika saya pulang ke tanah air, apa yang saya kenang dari kehidupan di Glasgow adalah masa-masa indah.
Kebetulan, dua tahun terakhir ini saya mengalami banyak hal-hal berat dalam hidup. Kehilangan bertubi-tubi, pekerjaan yang semakin menyita waktu dan energi, serta rangkaian peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan bagi jiwa.
Saya sungguh butuh jeda.
Bila sudah seperti itu, ada terbersit rasa "andai bisa kembali ke Glasgow lagi, mungkin hidup akan lebih tenang.”
Memang seharusnya kebahagaian, ketenangan dan kedamaian hidup ditemukan di dalam diri. Sehingga dimanapun kita berada, tidak mengubah ketentraman di dalam diri. Iya, harusnya begitu teorinya. Tapi hidup ternyata tidak semudah itu. Lingkungan yang toksik, paparan energi negatif ada dimana-mana. Terkadang itu menjadikan upaya menjaga mood yang baik, bisa tiba-tiba terjun bebas.
Perjalanan saya kembali ke Glasgow September tahun lalu merupakan jeda yang begitu istimewa bagi saya. Dua minggu yang sangat berharga. Dua minggu yang saya habiskan untuk menikmati hidup dengan lebih tenang, dan nyaman.
Dan saya rindu untuk mengambil jeda kembali.
Tahun ini rasanya begitu berat, ada banyak kekecewaan, kehilangan harapan, kehilangan seseorang, kehilangan rencana-rencana ke depan. Hidup memang tak pernah tertebak, bisa saja kita dilemparkan dalam keadaaan, trus dibilangin kayak pas ngisi bensin,
            “Dimulai dari Nol ya” !
Adakalanya hidup bisa penuh semangat melesat lesat hingga ada banyak energi untuk mewujudkan impian impian.
Namun, adakalanya hidup meluluhlantakkan semuanya.
Hingga apa yang saya tahu hanya menjalani hidup, menghadapinya. Saya tidak tahu harus bagaimana, harus ngapain...ketika hidup kehilangan daya hidupnya.
Saya tidak baik baik saja,
Saya sungguh merindukan jeda.
Saat ini saya sedang mencoba mengajukan suatu program dari Dikti untuk kembali ke Glasgow, hanya beberapa bulan. Saya pun tidak tahu apakah nantinya akan diterima atau tidak.
Yang saya tahu, saya butuh jeda.
Dan Glasgow, adalah tempat yang pertama kali muncul dalam pikiran saya.
Doakan saya berhasil ya!
 

Jumat, 19 Januari 2018

Reunian di St Mungo, Glasgow

yeaaay ngumpul lagi



Hari ini saya sibuk berbelanja, membeli daging sapi, daging ayam dan bumbu-bumbu, juga kacang hijau. Rencananya saya akan masak soto betawi, sate ayam, dan bubur kacang hijau. Pagi-pagi dari rumah mbak isnia, saya membawa stroller belanjaannya mas basid ke KRK. KRK itu toko halal bucther langganan saya dan juga langganan banyak pula mahasiswa-mahasiswa Glasgow. Nama KRK, Chun Ying (toko cina di daerah City Centre) sangat terkenal di kalangan mahasiswa Indonesia di Glasgow, karena penyelamat perut perut asia kami. Karena kita dapat membeli bahan bahan makanan yang biasa kami konsumsi di Indo, mulai dari daging halal di toko halal bucther dan bahan makanan asia seperti kangkung, tempe, tahu di toko cina.
Saya jalan kaki dari flat Mbak Isnia di daerah Victoria Crescent Road ke KRK di daerah Great Western Road. Menyusuri jalanan-jalanan daerah itu kembali rasanya seperti mengulang kembali kenangan kenangan dulu. Saat hampir tiap hari menyusuri jalan itu, dengan pergantian musim demi musim.

Jalanan Byres road dengan deretan Tesco, Iceland, Bank TSB, Bank of Scotland,  charity shop serta kedai kedai di sepanjang jalan. Jalan itu merupakan salah satu jalan paling terkenal di area West End, karena dekat dengan kampus. Semuanya nampak masih sama. Rasanya juga masih sama. Hawa awal musim gugur juga sudah terasa. Dingin dan angin berhembus lebih kencang, membuat saya harus merapatkan coat yang dipakai. Setibanya di KRK, segera membeli bahan bahan yang diperlukan, daging sapi untuk soto betawi, daging ayam fillet untuk sate ayam plus bumbu bumbu yang diperlukan. 
Di daerah Great Western Road itu, terdapat beberapa halal butcher hingga sangat memudahkan kami untuk tetap bisa menikmati daging halal.  Sampai hapal kalau mau beli cabai yang pedes kalau nggak di KRK ya di Fresh garden, karena bisa dibeli dengan harga yang lebih murah dibandingkan di Chun Ying. Hampir 4 tahun, hidup di Glasgow membuat saya cukup banyak tahu tempat-tempat mana yang lebih murah harganya...ehehe biasa, strategi ala kantong mahasiswa!

Penampakan di Fresh Garden
 Setelah usai berbelanja saya naik bis ke arah city centre, menuju flat mas basid dan Domi. Selama di Glasgow, selain di flat mbak isnia, saya juga sering kali singgah ke sana..untuk masak atau sekedar ngeteh ngobrol ngobrol di ruang tamu. Mas Basid baru juga lulus ujian S3-nya (viva voce), dan saya berbelanja tadi untuk masak masak syukuran kelulusannya, plus reunian mengundang teman-teman yang masih saya kenal di Glasgow. Jadinya saya excited banget kumpul kumpul lagi dengan teman-teman lama saya, kangen pastinya.
Saya juga excited untuk masak besar untuk banyak orang, kegiatan yang dulu sering saya lakukan. Maka malamnya saya sudah memotong-motong dadu daging fillet ayam 2 kg untuk dibikin sate ayam. Bikin sate ayam ala Glasgow gampang saja, ayam fillet dipotong dadu lalu dimarinade dengan kecap manis dan peanut butter, kadang saya tambahkan bubuk coriander (ketumbar). Udah, biasanya saya marinade semalaman, esoknya tinggal dibakar/panggang di oven. Masak besar untuk banyak orang itu seninya berbeda dengan masak untuk sedikit/untuk diri sendiri. Pastinya karena bahan bahan yang diolah itu buanyaaaakk...jadinya ya lumayan capek. Tapi rasa puasnya pun dobel dobel ehehe..
Malamnya selain nyicil untuk marinade sate ayamnya, saya bikin ketupat, dan nggoreng emping untuk soto betawinya. Sementara mas basid dan domi asik ngobrol di ruang tamu, sambil sesekali saya bergabung. Bikin teh anget dan nyemil. Dulu, aktivitas beginipun sering banget jaman kuliah dulu. Masak, ngobrol, makan sama temen-temen, hepinya sederhana.
Esoknya baru mengeksekusi untuk soto betawinya. Dan kali ini soto betawi pertama yang saya bikin! waks, aji aji nekad aja pokoknya. Memang soto betawi udah lama banget pengen dieksekusi, belum jadi-jadi, akhirnya pas ada acara ngumpul-ngumpul, ya udah iseng nyobain bikin. Resepnya cukup ngikutin website favoritnya untuk urusan masak memasak, Just taste and Try! Sukaaa banget website-nya mbak endang ini, soalnya penjelasannya rinciiiii dan step by step banget. 
Selain masak soto betawinya, juga manggang sate ayamnya, dan bikin bubur kacang ijo. Sehariaaan pokoknya di dapur, soalnya masak sendirian. Sementara mas basid siangnya ada acara di lab, dan kemudian bantuin nyiapin untuk beli minum, dan alat alat makan seperti sendok dll. 

Kuah Soto Betawinya belum disajikan ehehe

Sekitar jam 5 temen-temen yang diundang sudah mulai berdatangan. Yang ditunggu tunggu pastinya temen-temen lama yang lama banget nggak ketemu. Ada teh siska dan kang heru, mbak arie restu, mas Asra, Lini dan keluarga..sayang ada beberapa temen lama yang nggak bisa datang. Seru dan seneng banget bisa ketemuan sama mereka lagi..cerita cerita lagi melepas kangen. 
Iyalah, dulu sering banget bersama sama mereka. Yang perempuan-perempuan, tiap bulan pasti ketemu untuk pengajian putri, belum lagi ada pengajian bulanan, plus lagi kalau pas ada persiapan kegiatan PPI. Kayak latihan nari saman di rumah teh sis, dulu tuh bisa sampai sekitar 3 kali dalam seminggu. Dibela-bela in ngebis ke city centre lalu jalan kaki ke Grafton, untuk latihan nari untuk performance in Indonesian Cultural Day. Masa-masa yang sungguh menyenangkan. 

Alhamdulillah, kami bisa berkumpul kembali, berhaha hihi, dan makan bersama lagi. Teh siska membawa bakwan jagung yang maknyus. Dan acara yang paling ditunggu tentu saja, makan-makan. Sekitar 25 orang-an bergantian mengambil soto betawi ataupun lontong sate ayam, atau dua-dua dengan bergantian. Nikmatnya masak tuh saat melihat orang yang kita masakin tuh menikmati masakan kita. Itu rasanya sudah dideskripsikan dengan kata-kata eheheh, bikin nagih banget. Seneng gitu rasanya ehehe...
        " Soto betawinya endes banget mbak," komentar beberapa anak yang datang. ehehe syukurlah mereka suka dan melahap hidangan yang tersaji.
Makan, sambil ngobrol kesana kemari terutama dengan mbak nia, teh siska, mbak arie..temen temen yang masih tersisa di Glasgow. Kebayang juga sih, kalau suatu saat ke Glasgow lagi..lalu temen temen yang dikenal sudah nggak ada. Glasgow pasti rasanya tidak sama lagi. 

Reunian kali ini sungguh bermakna rasanya. Bertemu lagi dengan teman teman lama kala dulu berjuang menyelesaikan PhD saya. Semoga di Indo, nanti ketemu lagi yaaa..
Sore itu, kenangan kembali tercipta. 
Glasgow, tanah penuh cinta.