Angin musim semi menghembus perlahan di taman di dekat Kuil Ginkakuji sore ini. Sengaja aku ingin menghabiskan waktu sambil membaca jurnal-jurnal bahan risetku. Tapi nyatanya pikiranku mengarah pada hal lain. Pada rasa bersalah yang sering kali datang menyeruak. Bilakah rasa cinta ini salah? karena hatiku menjatuhkan pilihan pada orang yang salah. Yah, mungkin bukan pada orang yang salah, namun tentu saja pada waktu yang salah. Mungkin benar cinta tidak pernah salah, namun ia juga bisa datang terlambat. Mungkinkah kebersamaanku dengan Mas Danar selama ini bisa dikategorikan ke dalam suatu perselingkuhan?What? perselingkuhan..kosakata yang memikirkannya saja aku merasa jijik. Aku bukan orang yang seperti itu. Bagaimana reaksi keluargaku bila tahu anak perempuannya yang dikenalnya sebagai perempuan baik-baik, berpendidikan tinggi mempunyai hubungan dengan seorang pria beristri?. Tapi saat seperti ini kemana cinta seharusnya diletakkan?
Tapi ini sungguh tidak seperti itu. Pikirku menenangkan diri. Kepalaku harus bisa mempengaruhi hatiku yang telah sewenang-wenang menjatuhkan pilihan. Entahlah, aku tidak begitu mengerti tentang cinta. Aku hanya tahu aku senang menghabiskan waktu untuk mengobrol apa saja dengannya, mulai dari hal yang remeh temeh sampai hal-hal yang serius, aku bahagia saat padakulah ia bercerita tentang apapun, ataupun kesenangan saat melakukan hal-hal kecil seperti memasak bersama sampai kebersamaan kami di laboratorium.
Oh Dita…kau benar-benar telah bermain api! Terdengar suara dalam diriku. Tidak! Aku menyayanginya, bukan hanya sekedar cinta eros, bukan cinta picisan. Entahlah, aku bingung, menghembuskan nafas perlahan. Memandang kuil eksotis yang keemasan di kejauhan. Turis-turis yang biasanya berkunjung untuk sekedar membuatnya sebagai background fotopun sudah beringsut meninggalkan kuil itu dalam kesendirian. Daun momiji kemerahan gugur perlahan diterpa angin musim semi menjelang sore. Hmm..kedamaian menyelusup dalam hatiku.
“Wah, ternyata ngumpet disini to Dik, kok nggak ngajak-ngajak mau momiji-gari kesini?”. Tiba-tiba suara yang begitu akrab di telingaku mengagetkan persenyewaanku dengan angin musim semi yang mengenyahkan daun-daun momiji dari tangkai-tangkainya.
“Kata Manami-san, kamu mau jalan-jalan sore ke Ginkakuji. Jadi aku susul kemari. Oh ya, ini aku bawakan sushi isi salmon. Ayo dicobain, ini resep dari Bang Ardan loh, kombinasi Jepang dengan selera Indonesia. Ah, Bang Ardan itu belajar genetika di Tokyo apa belajar masak, kayaknya pulang-pulang ke Medan dia malah ganti profesi jadi koki nanti ehehehe”. Senyumnya mengembang, nampak begitu tampan dengan gurat-gurat kematangannya. Seperti biasa candaaannya yang selalu membuat hariku menyenangkan. Ia menempatkan diri di sampingku, tanpa sungkan mengambil setumpuk buku-bukuku dan meletakkan di pangkuannya. Dengan segera ia membuka tas dan mengeluarkan kotak makanan, menyorongkan segera padaku.
“Wah, terima kasih, mas. Kebetulan belum makan siang tadi.” Tanpa menunggu lama, aku juga langsung melahap sushi isi salmon bikinan Mas Danar yang ternyata rasanya tak kalah dari bikinan restoran Jepang yang biasa kami singgahi di daerah Kamogawa. Aku menggeser letak dudukku agar tidak terlalu dekat dengannya, membetulkan letak rok panjang batikku yang disapu hembusan angin. Dan seperti biasa kamipun berceloteh tentang apa saja. Tentang pekerjaan di laboratorium, teman-teman di Universitas Kyoto, Professor Yamaguchi yang tengah sakit, dan tentang kami, pada akhirnya.
“Dik, aku tidak tahu. Mengapa saat-saat bersamamu aku selalu merasa nyaman. Merasa..aku menjadi diriku sendiri.” Kali ini perkataan Mas Danar yang serius membuat jantung berhenti berdetak beberapa detik . Matanya mencari-cari mataku.
“Uhmm..maaf, Dik. Aku tidak tahu. Sungguh, benar-benar tidak mengerti tentang apa yang terjadi di antara kita. Aku senang saat bersamamu, saat menghabiskan waktu melakukan hal remeh temeh denganmu. Apa saja, asal bisa bersamamu. Melihat kau baik-baik saja, melihat senyummu yang berbinar, melihat kau bahagia dengan kehidupanmu, aku bahagia.” Suaranya menggema di telingaku, membuat pandanganku berkabut. Aku tak berani memandangnya. Jantungku berdenyar hebat. Kulemparkan pandanganku pada onggokan daun momiji yang telah menyerah pada angin musim semi. Tak sanggup ia menentukan pilihan kemana angin akan membawanya pergi. “Bukan..bukan karena aku seorang laki-laki kesepian di negeri orang yang butuh penghiburan. Bila itu yang kau sangkakan. Tidak begitu, aku yakin sekali bukan begitu. Aku tidak pernah mengenal betul arti cinta. Bukan cinta yang kukatakan saat umur belasan saat ucapan cinta diobral. Ataupun bukan kalimat yang kuucapkan pada istriku dulu saat memintanya sebagai pendampingku. Dan, mungkinkah ini cinta?” Kata-katanya kali ini mengambang di udara. Menciptakan kegamangan rasa yang sama.
”Ah..lupakan saja kata-kataku barusan. Sungguh tidak sepantaskan aku mengucapkan hal seperti ini terhadapmu. Maaf.” Matanya luruh, mengarah pada kuil Ginkakuji. Ada kekosongan yang terkuak di sana. Hatiku dilanda gempa bumi. Kata-katanya menggoyahkanku, membuai hatiku sekaligus mengoyaknya pada saat yang bersamaan. Melunglaikan syaraf-syaraf kepalaku, membiarkan hati menentukan pilihannya sendiri. Mungkinkah Mas Danar benar-benar cinta padaku? bukan luapan emosi sesaat? bukan kekosongan rasa lelaki kesepian di negeri orang? Tapi walaupun itu benar adanya, cinta yang diakhiri dengan saling memiliki sekali lagi bukan tujuan pada akhirnya.
” Setauku cinta tidak pernah memerlukan kata maaf, Mas. Aku yakin tidak ada cinta yang salah, walaupun itu datang terlambat. Akupun tak bisa mengatur nasib hingga mencintaimu di waktu yang salah, tapi aku yakin cintaku takkan salah.” Luncuran kata-kataku gamang di udara. Ups..tidak! Kalimatku dengan gamblang menjawab pernyataan cintanya. Matanya mendongak ke arahku, tepat pada mataku. Aku terhenyak sejenak. Ia sungguh nampak begitu mempesona dengan kematangannya. Uff..ada yang menusuk dalam dadaku.
” Aku ingin mencintaimu dengan cara yang kuyakini benar, mencintaimu dengan nuraniku. Walaupun terasa sulit, karena aku tetaplah seorang wanita yang masih mempunyai hasrat memiliki. Tapi, aku tidak mau membuat cinta menjadi sebuah kesalahan, terima kasih telah hadir dalam hidupku, Mas.” Entahlah apa yang kuucapkan benar atau salah, aku sudah tidak tahu lagi. Hanya ingin melakukan sesuatu yang kuanggap benar. Walaupun ada setan-setan yang berbisik, ”Dengar Dita, ia mencintaimu juga!Ada banyak cerita indah yang menanti kalian bersama di jalan ke depan!”. Bisikan itu kuenyahkan segera. Bukan untuk membunuh cinta, tapi memastikan jalannya agar tak tersesat.
Ia tersenyum lembut ke arahku. Entah apa maknanya, aku tidak tahu.
”Terima kasih, Dik. Aku mengerti. Kita memang tidak pernah bisa memilih kapan datangnya cinta, ataupun kepada siapa cinta akan dijatuhkan, tapi kita bisa memilih untuk tetap mensikapi cinta dengan cara yang benar.” Senyum kelegaan mengembang di wajahnya, sepertinya ia pun dihinggapi rasa bersalah yang mendalam sebelumnya, sama sepertiku. Namun ada pias di matanya yang tak juga aku mengerti maknanya.
****