Minggu, 31 Oktober 2010

Seperti Momiji di Langit Kyoto (2)

Angin musim semi menghembus perlahan di taman di dekat Kuil Ginkakuji sore ini. Sengaja aku ingin menghabiskan waktu sambil membaca jurnal-jurnal bahan risetku. Tapi nyatanya pikiranku mengarah pada hal lain. Pada rasa bersalah yang sering kali datang menyeruak. Bilakah rasa cinta ini salah? karena hatiku menjatuhkan pilihan pada orang yang salah. Yah, mungkin bukan pada orang yang salah, namun tentu saja pada waktu yang salah. Mungkin benar cinta tidak pernah salah, namun ia juga bisa datang terlambat. Mungkinkah kebersamaanku dengan Mas Danar selama ini bisa dikategorikan ke dalam suatu perselingkuhan?What? perselingkuhan..kosakata yang memikirkannya saja aku merasa jijik. Aku bukan orang yang seperti itu. Bagaimana reaksi keluargaku bila tahu anak perempuannya yang dikenalnya sebagai perempuan baik-baik, berpendidikan tinggi mempunyai hubungan dengan seorang pria beristri?. Tapi saat seperti ini kemana cinta seharusnya diletakkan?

Tapi ini sungguh tidak seperti itu. Pikirku menenangkan diri. Kepalaku harus bisa mempengaruhi hatiku yang telah sewenang-wenang menjatuhkan pilihan. Entahlah, aku tidak begitu mengerti tentang cinta. Aku hanya tahu aku senang menghabiskan waktu untuk mengobrol apa saja dengannya, mulai dari hal yang remeh temeh sampai hal-hal yang serius, aku bahagia saat padakulah ia bercerita tentang apapun, ataupun kesenangan saat melakukan hal-hal kecil seperti memasak bersama sampai kebersamaan kami di laboratorium.

Oh Dita…kau benar-benar telah bermain api! Terdengar suara dalam diriku. Tidak! Aku menyayanginya, bukan hanya sekedar cinta eros, bukan cinta picisan. Entahlah, aku bingung, menghembuskan nafas perlahan. Memandang kuil eksotis yang keemasan di kejauhan. Turis-turis yang biasanya berkunjung untuk sekedar membuatnya sebagai background fotopun sudah beringsut meninggalkan kuil itu dalam kesendirian. Daun momiji kemerahan gugur perlahan diterpa angin musim semi menjelang sore. Hmm..kedamaian menyelusup dalam hatiku.

“Wah, ternyata ngumpet disini to Dik, kok nggak ngajak-ngajak mau momiji-gari kesini?”. Tiba-tiba suara yang begitu akrab di telingaku mengagetkan persenyewaanku dengan angin musim semi yang mengenyahkan daun-daun momiji dari tangkai-tangkainya.

“Kata Manami-san, kamu mau jalan-jalan sore ke Ginkakuji. Jadi aku susul kemari. Oh ya, ini aku bawakan sushi isi salmon. Ayo dicobain, ini resep dari Bang Ardan loh, kombinasi Jepang dengan selera Indonesia. Ah, Bang Ardan itu belajar genetika di Tokyo apa belajar masak, kayaknya pulang-pulang ke Medan dia malah ganti profesi jadi koki nanti ehehehe”. Senyumnya mengembang, nampak begitu tampan dengan gurat-gurat kematangannya. Seperti biasa candaaannya yang selalu membuat hariku menyenangkan. Ia menempatkan diri di sampingku, tanpa sungkan mengambil setumpuk buku-bukuku dan meletakkan di pangkuannya. Dengan segera ia membuka tas dan mengeluarkan kotak makanan, menyorongkan segera padaku.

“Wah, terima kasih, mas. Kebetulan belum makan siang tadi.” Tanpa menunggu lama, aku juga langsung melahap sushi isi salmon bikinan Mas Danar yang ternyata rasanya tak kalah dari bikinan restoran Jepang yang biasa kami singgahi di daerah Kamogawa. Aku menggeser letak dudukku agar tidak terlalu dekat dengannya, membetulkan letak rok panjang batikku yang disapu hembusan angin. Dan seperti biasa kamipun berceloteh tentang apa saja. Tentang pekerjaan di laboratorium, teman-teman di Universitas Kyoto, Professor Yamaguchi yang tengah sakit, dan tentang kami, pada akhirnya.

“Dik, aku tidak tahu. Mengapa saat-saat bersamamu aku selalu merasa nyaman. Merasa..aku menjadi diriku sendiri.” Kali ini perkataan Mas Danar yang serius membuat jantung berhenti berdetak beberapa detik . Matanya mencari-cari mataku.

“Uhmm..maaf, Dik. Aku tidak tahu. Sungguh, benar-benar tidak mengerti tentang apa yang terjadi di antara kita. Aku senang saat bersamamu, saat menghabiskan waktu melakukan hal remeh temeh denganmu. Apa saja, asal bisa bersamamu. Melihat kau baik-baik saja, melihat senyummu yang berbinar, melihat kau bahagia dengan kehidupanmu, aku bahagia.” Suaranya menggema di telingaku, membuat pandanganku berkabut. Aku tak berani memandangnya. Jantungku berdenyar hebat. Kulemparkan pandanganku pada onggokan daun momiji yang telah menyerah pada angin musim semi. Tak sanggup ia menentukan pilihan kemana angin akan membawanya pergi. “Bukan..bukan karena aku seorang laki-laki kesepian di negeri orang yang butuh penghiburan. Bila itu yang kau sangkakan. Tidak begitu, aku yakin sekali bukan begitu. Aku tidak pernah mengenal betul arti cinta. Bukan cinta yang kukatakan saat umur belasan saat ucapan cinta diobral. Ataupun bukan kalimat yang kuucapkan pada istriku dulu saat memintanya sebagai pendampingku. Dan, mungkinkah ini cinta?” Kata-katanya kali ini mengambang di udara. Menciptakan kegamangan rasa yang sama.

”Ah..lupakan saja kata-kataku barusan. Sungguh tidak sepantaskan aku mengucapkan hal seperti ini terhadapmu. Maaf.” Matanya luruh, mengarah pada kuil Ginkakuji. Ada kekosongan yang terkuak di sana. Hatiku dilanda gempa bumi. Kata-katanya menggoyahkanku, membuai hatiku sekaligus mengoyaknya pada saat yang bersamaan. Melunglaikan syaraf-syaraf kepalaku, membiarkan hati menentukan pilihannya sendiri. Mungkinkah Mas Danar benar-benar cinta padaku? bukan luapan emosi sesaat? bukan kekosongan rasa lelaki kesepian di negeri orang? Tapi walaupun itu benar adanya, cinta yang diakhiri dengan saling memiliki sekali lagi bukan tujuan pada akhirnya.

” Setauku cinta tidak pernah memerlukan kata maaf, Mas. Aku yakin tidak ada cinta yang salah, walaupun itu datang terlambat. Akupun tak bisa mengatur nasib hingga mencintaimu di waktu yang salah, tapi aku yakin cintaku takkan salah.” Luncuran kata-kataku gamang di udara. Ups..tidak! Kalimatku dengan gamblang menjawab pernyataan cintanya. Matanya mendongak ke arahku, tepat pada mataku. Aku terhenyak sejenak. Ia sungguh nampak begitu mempesona dengan kematangannya. Uff..ada yang menusuk dalam dadaku.

Aku ingin mencintaimu dengan cara yang kuyakini benar, mencintaimu dengan nuraniku. Walaupun terasa sulit, karena aku tetaplah seorang wanita yang masih mempunyai hasrat memiliki. Tapi, aku tidak mau membuat cinta menjadi sebuah kesalahan, terima kasih telah hadir dalam hidupku, Mas.” Entahlah apa yang kuucapkan benar atau salah, aku sudah tidak tahu lagi. Hanya ingin melakukan sesuatu yang kuanggap benar. Walaupun ada setan-setan yang berbisik, ”Dengar Dita, ia mencintaimu juga!Ada banyak cerita indah yang menanti kalian bersama di jalan ke depan!”. Bisikan itu kuenyahkan segera. Bukan untuk membunuh cinta, tapi memastikan jalannya agar tak tersesat.

Ia tersenyum lembut ke arahku. Entah apa maknanya, aku tidak tahu.

”Terima kasih, Dik. Aku mengerti. Kita memang tidak pernah bisa memilih kapan datangnya cinta, ataupun kepada siapa cinta akan dijatuhkan, tapi kita bisa memilih untuk tetap mensikapi cinta dengan cara yang benar.” Senyum kelegaan mengembang di wajahnya, sepertinya ia pun dihinggapi rasa bersalah yang mendalam sebelumnya, sama sepertiku. Namun ada pias di matanya yang tak juga aku mengerti maknanya.

Langit Kyoto yang sedari tadi mendung, mulai meneteskan bulir-bulir air hujan. Ia menarik tanganku untuk segera menepi, menghindarkan diri dari hasrat yang bertopengkan cinta dan mendengarkan lagi nurani. Cintaku yang kali ini seperti daun-daun momiji di puncak musim gugur yang merona merah keemasan, namun harus rela lepas dari tangkainya saat musim berlalu. Namun langit akan selalu mengingat momiji pernah menghiasi dengan keindahan nuraninya.

****


Seperti Momiji di Langit Kyoto (1)


“Dik, menurutku kamu sebaiknya selesaikan proposalmu dulu baru pergi ke Tokyo, Dik, jangan lupa bawain proceeding avian influenza dari Prof.Yamaguchi kemaren ya! Dik, Ramen yang enak beli di toko sebelah mana?

Panggilan Dik-nya seakan berdesingan di telingaku. Uff.. bagaimana hatiku tidak lumer dibuatnya, orang yang belum lama ini kukenal memanggilku dengan sebutan yang menurutku paling “penuh cinta” sedunia hehe..setidaknya menurutku!

Banyak orang yang mempunyai kebiasaan memanggil seseorang dengan panggilan kesayangan seperti, Sayang, Yang, Dinda, Cinta, atau seperti Fra, teman seapartemenku dulu di Italia yang memanggil Pietro, kekasihnya dengan sebutan sayang Amo! kependekan dari Amore! Cinta!

Tapi bagiku, panggilan paling penuh cinta di dunia adalah “Dik”, sebuah panggilan pendek dan sederhana yang menurut banyak orang sangatlah biasa saja. Tapi aku harus menunggu sampai hampir 27 tahun dan harus berkelana begitu jauh ke Negeri Sakura untuk mendengar seseorang memanggilku dengan sebutan yang selalu membuat hatiku lumer itu.

“Dik, maaf hari ini aku tidak bisa ke lab, rada kurang enak badan. Sementara kerjakan dulu PCR dengan formulasi yang kemarin ya. Sampelnya minta sama Manami-san Tiba-tiba sms dari Mas Danar seketika menghentikan lamunanku. Rasa khawatir berganti menyergapku. Mas Danar sakit?sakit apa? Ugh.. aku mengutuki hatiku karena sekali lagi ingat akan batasan proporsi. Bila tidak, aku akan segera menelponnya ataupun tanpa pikir panjang tergesa menuju ke apaatonya untuk tahu apa yang terjadi pada Mas Danar. Tapi tidak! Rasa khawatirku akhirnya kutelan sendiri, melayang bersama gugurnya daun momiji yang telah merah keemasan siap menciumi daratan yang menantinya dengan ketidakpastian.

***

Onegai Simasu Dita-san, kenapa hari ini kok sepertinya kurang bersemangat. Nggak seperti biasanya. O genki desu ka”. Manami, teknisi laboratorium biologi molekuler Universitas Kyoto itu sepertinya melihat mendungnya suasana hatiku saat ini.

Genki desu. Arigatoo. Tidak ada apa-apa Manami-san, cuma sedikit khawatir, Mas Danar sedang tidak enak badan. Dia mengabariku pagi tadi, entahlah dia sakit apa. Aku khawatir”. Kataku lirih pada akhirnya. Di Kyoto nan jauh dari ibu pertiwi ini, hanya aku, Mas Danar dan Pak Heru saja segelintir orang Indonesia yang tinggal disini. Pak Heru lebih sering berada di Tokyo untuk menyelesaikan uji akhir penelitiannya. Kulihat sekilas beberapa periset lain melambaikan tangan di luar jendela yang memisahkan ruang laboratorium Center of Biology Moleculer and Genomic dengan koridor Universitas Kyoto. Ah…sudah hampir enam bulan aku di sini, penelitianku sudah mulai. Sibuk dengan riset, mencari dan membaca jurnal di perpustakaan ataupun browsing internet di taman samping kampus sampai lupa waktu. Terkadang harus meluangkan waktu berkonsultasi dengan Prof. Yamaguchi pembimbing tesisku.

Tak terasa enam bulan hampir genap aku tinggal di Kyoto, tanpa merasa “hilang” karena jauh dari kampung halaman. Tanpa merasa kesepian karena jauh dari sahabat yang biasanya berbagi hidup. Kenapa? Akupun ternyata baru sadar bila jawabannya adalah karena ada Mas Danar disini! Aneh, padahal sebelumnya kami hanya berkorespondensi via email tentang rencana riset, pengajuan beasiswa, permintaan rekomendasi dari Prof. Yamaguchi. Aku dulu memanggilnya Pak Danar, dosen di salah satu universitas di Yogyakarta, hanya itu yang kutahu. Dan dulu ia memanggilku Mba Dita.

“ Nggak apa-apa Mba Dita, sekalian aku mau ketemu Bang Ardan di Tokyo”. Kilahnya saat itu, hingga tawarannya untuk menjemputku di Bandara Narita bulan Mei lalu, dan sungguh tak bisa kutolak. Ah, sebenarnya kan aku bukan gadis remaja lagi yang layak untuk dikhawatirkan, dan inipun bukan kali pertama kunjunganku ke luar negeri.

“Alow Dik! Bagaimana perjalanannya?baik-baik saja kan?Sini kubawain kopernya!” Aneh si mas ini, baru bertemu tapi seperti telah mengenalku selama bertahun-tahun. Dengan sigap pegangan koper besarkupun sudah berpindah tangan padanya.

“Ayo Dik, kita naik shinkansen, cuman sekitar 2,5 jam sampai stasiun JR Kyoto”. Di sepanjang perjalanan menggunakan kereta shinkansen Nozomi ia tak henti-hentinya berceloteh mengenalkanku pada negeri yang akan kutinggali selama kurang lebih tiga tahun ke depan. Saat-saat berikutnya, ia mengenalkanku pada rute-rute transportasi dari Kyoto ke kota-kota lain, toko-toko murah dan halal tempat membeli bahan pangan, membantuku mengurus aplikasi masuk ke Universitas Kyoto atau mengajakku ke festival Gion Matsuri musim panas Juni lalu. Panggilan Dik-nya sejak saat pertama kali bertemu membuatku merasa nyaman dan entah kenapa aku lama kelamaan merasa lebih nyaman memanggilnya, Mas Danar.

“Dita-san, PCRnya sudah selesai, ayo kita segera running elektroforesis”. Manami-san mengagetkanku. Aku terlonjak dari lamunanku. Arghhh..hari tiba-tiba menjadi sepi tanpa Mas Danar.

***

Dengan tergesa aku segera menuju apatoo Mas Danar di daerah distrik Sakyo-ku. Seusai menyelesaikan pekerjaanku di lab, aku segera naik subway jalur Tonzai yang pararel dengan Kamogawa agar cepat sampai, walaupun tarifnya tentu saja jauh lebih mahal daripada bus yang biasa kunaiki.

Apatoonya sepi.

“Mas…Mas Danar” Pintu apatoo kugeser dan aku beranjak masuk. Sepi..Aku melangkah ke ruang utama apatoonya. Jantung berdebar karena khawatir.

“Dik..kok kemari, sudah selesai kerjaan di Lab?” Suara parau dan lemah, tapi terasa akrab di telingaku. Walau dengan terbaring, tetap dengan senyumnya seperti biasa ia menyapaku. Hatiku trenyuh.

“Gimana mas, sakit apa? sudah minum obat belum? sudah makan, mas?” Arghh..ada nada khawatir di suaraku yang harusnya bisa kusembuyikan.

Ia hanya tersenyum.

“Cuman kecapaian dik, masuk angin..rada pusing.” Ah, mengapa ia tidak pernah mau untuk dikhawatirkan. Terbaring di atas kasur yang hanya diletakkan di atas tatami, dengan selimut tebal menyelimutinya. Ia nampak seperti seorang laki-laki biasa. Bukan seorang periset ulung bidang biologi molekuler dan genetika yang selalu berapi-api saat presentasi, yang begitu bersemangat saat membicarakan riset, begitu piawai saat kerja di lab, dan yang selalu kulihat bintang di matanya saat bicara.

“Mas Danar belum makan ya, kubuatin bubur ayam ya, sebentar kubuatkan teh hangat dulu.” Sengaja tadi aku mampir sebentar di toko bahan pangan di dekat kampus Yoshida, kampus utama Universitas Kyoto.

“Sudah minum obat belum, mas?” Aku duduk di dekat jendela ruang utama, menungguinya makan bubur ayam buatanku.

“Bubur ayamnya enak banget, Dik. Sudah lama nggak makan bubur ayam. Jadi ingat klangenanku bubur ayam Mbok Warti di selokan mataram, Jogya” Dengan lahap Mas Danar menghabiskan bubur ayam di mangkuknya.

“Wah..jadi saya disamain sama simbok-simbok to mas?” Aku pura-pura merajuk seperti biasa. Sehelai momiji merah keemasan kembali luruh di luar jendela. Aku selalu merindukan kebersamaan seperti ini bersama Mas Danar. Kebersamaan yang membawakan damai di hatiku, tapi menyulut pengkhianatan pada nuraniku.

“ Ya enggak to Dik, maksudku beruntung nantinya yang bakal dapat Dik Dita ini. Sayangnya kita kok telat ketemu ya ehehehe”. Tawanya renyah, mungkin maksudnya ia mencandaiku seperti yang biasa ia lakukan. Tapi kali ini candaannya sama sekali tak lucu untukku. Aku hanya tersenyum hambar. Aku menatapnya perlahan, pada matanya yang selalu kulihat bintang. Mas Danar tiba-tiba menghentikan asupan bubur ayamnya dan mengalihkan pandangannya padaku. Pandangan kami bersiborok beberapa detik dan waktu berhenti sesaat. Jantungku seperti berdetak lebih cepat atau malah berhenti mendadak tiba-tiba. Aku terkesiap dan segera membuang pandanganku ke luar jendela, menatap daun-daun momiji musim gugur yang telah memerah. Aku gugup…bodoh! Pikirku.

Come on Dita..ingat proporsi! Pembatasan rasa! kepalaku kembali menyentilkan alarm pada hatiku. Suara desahan nafasku memenuhi ruangan yang tiba-tiba sepi. Ah, hal ini bukan kali pertama terjadi antara aku dan Mas Danar. Magnet-magnet aneh yang kadang meletup-letup itu membuat hatiku sesak. Seperti saat dengan spontan ia menggandeng tanganku agar tak lepas darinya di tengah kerumunan orang di festival Gion Matsuri kala itu. Tapi tak pernah lebih dari itu, yah..aku yakin, barangkali! Hatiku mengindahkan analisa logis kepalaku, hingga ia yang seorang laki-laki beristri yang tengah menanti kelahiran putra keduanya telah masuk ke dalam hatiku tanpa mengetuk. Cintakukah yang salah?ataukah hanya waktu yang berjalan terlalu cepat hingga takdir pertemuanku dengannya datang terlambat?

(bersambung-2)

Melirik Malang, Sekilas....

Melirik Malang, Sekilas....
Pagi beranjak naik, kesibukan Mak Ti si pengurus kos di bawah terdengar dari kamarku. Yeah, persinggahanku selanjutnya adalah di sebuah kamar kos di Jalan Jember No 5 (seluruh jalan di sekitar UM ini semua nama jalan). Ternyata mencari kos-kosan di sekitar UM adalah sebuah pekerjaan yang haduuuuh melelahkan. Sulit sekali mencari kos-kosnya yang dekat (karena pastinya akan jalan kaki ke kampus), lumayan bersih, fasilitas okey. Kos-kosan paling sip yang kulihat-lihat dihargai Rp.700.000/bulan. Wew kebangetan mahal ehehe, dengan informasi dari teman-teman tentang biaya hidup yang diberikan Dikti per bulan (yang masih saja belum diberikan, urusan tunggak menunggak memang sudah biasa bagi PNS), pastilah akan “tombok” banyak. Maka akhirnya, dengan cukup “beruntung” aku mendapatkan satu kamar (karena memang hanya tersisa 1) di Jalan Jember No 5. Jaraknya sekitar 20 menit jalan kaki ke Kampus J UM, lumayan bersih, listrik gratis, ada fasilitas nasi putih dan air minum. Wew, baru kali ini sejak berkali-kali pengalaman nge-kos, ada kos-kosan yang menyediakan nasi putih+air putih. Dengan harga Rp. 350.000/bulan aku pikir cukup rasional dengan membandingkan rate kos-kosan di sekitar UM ini. Jangan bandingkan dengan kos-kosan di Purwokerto yang masih tergolong murah. I got 170.000/month with a big room plus one terrace in Purwokerto.

Seminggu mengikuti pelatihan, semuanya baik-baik saja, kecuali beberapa kali harus disibukkan dengan emergency call dari kampus dengan urusan-urusan yang belum rampung. Dan sekali lagi, aku mendapat bukti the law of attraction, dimana kemiripan akan menarik kemiripan. Yeah, sebuah kelas yang unik, ramai, hangat dan menyenangkan. Rasanya tidak pernah bisa serius, ada saja celetukan dari kami yang membuat tawa pecah. Seorang pengajar yang baru pertama kali mengajar di kelas kami berkomentar,

“ Kelas ini ceria sekali ya,” Maksud si pengajar ini mungkin dibandingkan dengan kelas satunya (kelas B). Padahal bila ditilik dari jumlahnya, kelas kami hanya 15 orang, sedangkan kelas B berjumlah 25 orang. Tapi memang keramaian tidak berbanding lurus dengan jumlah orang. Yeah, menyenangkan mempunyai kelas yang ramai, jadi pelatihan yang dimulai dari jam 7 pagi sampai 3 sore yang akan berlangsung 3 bulan ke depan semoga tidak terasa membosankan.

Akhir minggu ini, banyak anggota kelas pulang mudik karena kebanyakan memang sudah berkeluarga. So, aku harus searching wisata-wisata menarik di Malang untuk segera dijelajahi. Hari Sabtu dan Minggu akan membosankan bila tidak diisi dengan jalan-jalan. Tapi jalan-jalan sendirian juga tidak seru. Humm..beberapa list “must to see” sudah mengantri di kepalaku. Ingin ke Batu Malang, dengan hawanya yang masih dingin, dengan paket beberapa tempat wisata yang ada di sana termasuk agro wisata kebun apelnya. Bromo…bromo…dan bromo. Ingin sekali mengunjungi tempat wisata itu. Tapi jaraknya cukup jauh dari Malang, plus rute perjalanan yang sepertinya sulit ditempuh dengan transportasi umum. Masih kukumpulkan informasi mengenai tempat ini, karena Bromo harus dijejaki. Kemudian Pulau Sempu dengan telaga di tengah hutannya yang eksotis..humm..humm….tapi lagi-lagi rutenya lumayan membuat pikir-pikir ehehe. Oh ya, perkebunan teh Wonosari, kayaknya merupakan pelarian Sabtu-Minggu yang menarik. Karena “dulu” aku berencana mengunjungi tempat ini, dan kini saat jaraknya tidak terlalu jauh untuk ditempuh, rasanya “berdosa” bila tidak menyempatkan diri untuk mengunjunginya. Baiklah, Hari Sabtu ini masih belum berencana untuk jalan ke tempat wisata, hanya jalan-jalan mencari modem, dan ajakan ke pertokoan buku Wilis yang kedengarannya “menggiurkan”. Malang, akan kucicipi pesonamu perlahan-lahan.


Rabu, 27 Oktober 2010

Aku, Jarak dan Engkau

Aku, Jarak dan Engkau


Ingin kuceritakan engkau tentang jarak,

Ia pernah menjadi alasan yang mujarab untuk membenarkan keraguan

Menciptakan kebenaran bukti-bukti yang diciptakan pikiran

Hari ini kuprogram ulang, karena bukti-bukti itu terasa mentah

Jarak hanya sebuah relativitas, yang begitu mudah dimainkan otak

Entah di seberang samudra, seberang pulau, atau hanya terentang beberapa blok saja

Hari ini, aku dan jarak, baru saja tiba-tiba seperti saling begitu memahami.

Walau pemahaman yang tak jua mampu mengubah cerita akhir

Karena hidup terkadang adalah tentang menerima takdir, setelah berjuang sampai akhir

Malang, 25 otto 9.47 am

Senin, 25 Oktober 2010

Persinggahan hidup berikutnya

Persinggahan hidup berikutnya

Koper yang sudah mulai kusiapkan, hari yang berlari, grafik yang naik turun, hidupku terasa sesak dengan peristiwa. Merasakan ada di titik dimana di sampingku, dengan tangan yang memegang tanganku erat-erat, seorang sahabat tengah mempertaruhkan hidupnya, antara hidup dan mati. Melihat saudara yang dulu teman sepermainkanku ada di ruang ICU, dengan tubuhnya begitu kurus, selang-selang infus, dengan sorot matanya yang hampir menyerah akan hidup. Rasanya ingin meminta malaikat untuk meniupkan lagi semangat hidup baginya. Atau di sisi lain menyaksikan seorang sahabat yang nafasnya tengah penuh sesak dengan cinta hingga rasanya membuat udara begitu melambungkannya ke langit ke tujuh, bila memang ada langit ke tujuh.Oh hidup, berwarnanya engkau…

Di tengah sesaknya hidup, aku membutuhkan sebuah kehidupan baru, dan kali ini aku akan melangkah pada persinggahan selanjutnya. Sebuah tempat yang telah dipilihkan Tuhan. Hingga dengan bergetar, dengan bersyukur, dengan penuh pemahaman akan jawabanNya, dengan sedikit mengangguk-angguk, dan seraya berkata,

“ Humm… jawabanMu Tuhanku selalu sajaaaaa…ehehe”

Rasanya sudah tidak sabar kembali lagi suasana “kuliah/belajar lagi”, walaupun mungkin belum menjadi mahasiswa sepenuhnya lagi. Tapi setidaknya, kehidupan baru menanti, tempat yang pernah ingin kutinggali kini akan segera kutinggali, tempat-tempat baru yang ingin kueksplorasi, orang-orang baru yang akan memasuki hidup.

Malang, akhirnya..bisa juga tinggal di sana…

Dengan berdetak, aku siap dengan kejutanMu!

My room, 22:52