Judul Buku : Pollyana
Penulis : Eleanor H Potter
Penerbit : Orange Books
Halaman : 300 halaman
Genre : Novel anak
“ Lagi di Togamas nih, pengen beli buku. Kira-kira ada rekomendasi buku baguskah?” suara di ujung telepon di seberang sana. Heuuu…selera baca orang kan beda-beda, masa minta rekomendasi bahan bacaan padaku. Banyak sahabatku bilang selera bacaanku rada-rada “berat” seperti bukunya Paulo Coelho, Gede Prama, De’e—selain bacaan popular seperti karyanya Andrea Hirata, Tasaro GK dan beberapa penulis Indonesia lainnya. Tapi selintas di kepalaku, ada sebuah buku yang penasaran ingin kubaca.—dua buah buku lebih tepatnya.
“ kayaknya buku Pollyana bagus deh..itu loh, yang dulu pernah diceritain di kelas pas aku nggak masuk. Aku minggu lalu ke Gramed..lihat bukunya, tapi belum beli..nggak tau di Togamas ada atau enggak” Jawabku di sela-sela mengurusi kegiatan magang mahasiswa kala itu.
Jujur saja, aku penasaran seperti apa kisah si Pollyana—yang sering diistilahkan “positive pollyana--. Dulu saat ada pembahasan tentang buku ini di kelas PDEC sayangnya aku tidak masuk, jadi hanya dipaksa puas dengan komentarnya saja.
Dan bagaimana buku itu ada di tanganku? Beberapa hari setelah telepon itu, ada paket berwarna ungu yang tertuju padaku. Tersenyum melihat nama pengirimnya—hoho anak nakal itu pasti berulah—kubuka segera, walau sebenarnya ada undangan rapat jam 13.30 tapi penasaran dengan isinya. Terbeliak kaget bercampur senang, ada dua –eh tiga buah buku-dihadiahkannya untukku. Katanya sih buat yang lagi ulang tahun hehe—paketan datang sehari lebih awal ahaha. Dan posting ini, melunasi janjiku untuk menceritakan isi buku itu—dasar oportunis, nggak mau duduk diam membaca, maunya diceritain. Tapi tetep kuceritakan dengan tulisan loh, jadi harus baca ;p
Genre novel anak memang jarang kubaca, tapi kurasa saat ini otakku sedang sulit mencerna kalimat yang terlalu berat—terakhir kali membaca si lelaki tua dan laut-nya Ernest Hemmingway yang tipis saja..kubaca sambil lalu, dan tak jua masuk di otakku ehehe, mungkin tengah terjadi kekacauan program. Hoho bukan kekacauan kurasa, mungkin tengah mengupdate program baru hihi..Jadi kurasa, Pollyana merupakan pilihan yang tepat, ringan bahasanya namun tetap tak kurang makna yang ingin dihadirkannya.
Dan ternyata ku tak salah menerka, setengah hari di akhir pekan kuhabiskan dengan kegiatan reading for pleasure—bukan reading yang terpaksa seperti reading ielts, reading jurnal de el el..ehehe: sebenarnya ingin memainkan permainan suka cita agar kegiatan-kegiatan itu menjadi menyenangkan ehehe, nanti kupikirkan caranya;p
Yah, permainan suka cita! Akan kuperkenalkan kalian dengan permainan baru, permainaan suka cita ala Pollyana. Sungguh brilian dan menyenangkan!
Cerita bermula dari pengadopsian Pollyana, si gadis cilik berwajah bintik-bintik yang telah yatim piatu, oleh bibinya—Bibi Polly yang serius, dingin dan kadang tak manusiawi. Kedatangan Pollyana dengan sikap cerianya membawa perubahan di rumah Bibi Polly. Pollyana yang penuh spontanitas, keceriaan, jenaka dan sikap positive thinkingnya sering kali membuat Bibi Polly kewalahan—tak sanggup untuk tidak sayang padanya. Walau awalnya bibi polly bersikap keras dengan menempatkan Pollyana di sebuah kamar loteng yang sempit dan panas tanpa perabotan. Tapi komentar Pollyana adalah,
“ Dan aku senang di sini tidak ada cermin, sebab tidak ada kaca yang memperlihatkan bintik-bintik mukaku”
“ Oh, Nancy..lihat jauh di sana, pohon-pohon, rumah-rumah dan menara gerja yang indah itu, dan sungai berkilauan seperti perak, Wah Nancy, pemandangan seperti itu membuat kita tidak butuh lukisan. Oh, kini aku senang dia memberikan kamar ini.” Begitu komentar Pollyana akan kamarnya yang sederhana, tanpa cermin, tanpa lukisan dan perabotan.
Sikap pollyana ini akhirnya sedikit demi sedikit mencuri hati Bibi Polly yang dingin. Pollyana yang polos lucu itu mengetuk pintu-pintu hati Bibi Polly yang telah lama tak tersentuh
--Oh tentu saja selama ini aku bernafas sambil melakukan semua itu, Bibi Polly, tapi aku tidak hidup. Anda bernafas selama tidur, tapi tidak sedang hidup. Yang kumaksud hidup—melakukan apapun yang anda mau : bermain di luar, membaca, mendaki bukit, mengobrol dengan Mr Tom lalu mencari tahu tentang segalanya. Itulah yang kusebut hidup, Bibi Polly. Sekedar bernafas bukan hidup! (p 60)
Selain Bibi Polly, Pollyana juga selalu mengajarkan permainannya pada semua orang yang ditemuinya, yang dinamakan “permainan suka cita” yang diajarkan oleh mendiang ayahnya dulu. Inti dari permainan ini yakni :
Memainkannya cukup dengan menemukan sesuatu yang bisa membuat kita senang dalam segala hal, tak pedulli apapun itu (pollyana, p 44).
Awalnya, saat Pollyana kecil ingin boneka namun yang didapatnya dari kotak sumbangan adalah tongkat. Maka, ayahnya bilang “bergembiralah karena kau tidak membutuhkannya!” begitu ujar ayah Pollyana. Semenjak saat itu, Pollyana bermain permainan suka cita dengan berusaha menemukan kegembiraan dalam semua hal
--Aku sedang memainkannya—tapi kurasa tadi itu spontan saja. Tahu kan, jika kau lakukan sesuatu sangat sering, kau terbiasa jadinya…untuk bersuka cita. Dan biasanya selalu ada sesuatu yang menyenangkan dalam segala hal, bila kau berusaha cukup keras untuk menemukannya (p. 66)
Begitulah permainan Pollyana, yang dia sebarkan pada orang-orang di sekelilingnya. Pada Nancy, pembantu bibi Polly, Mr Tom-si tukang kebun, Jimmy bean-seorang yatim piatu, Mrs Snow-seorang yang sakit lumpuh hingga tak bisa kemana-mana. Permainan suka cita bisa dilakukan siapa saja, bagaimanapun keadaaannya. Misalnya saja Mrs Snow yang tadinya selalu murung karena tak bisa melakukan aktivitas sebab harus selalu berbaring karena penyakit lumpuhnya, sekarang bersemangat dengan berdandan, memakai gaun berenda baru, dan menyulam
“ Bergembiralah karena setidaknya engkau masih mempunyai tangan yang sehat untuk menyulam”
Atau pada Mr Tom-si tukang kebun-suatu hari dia merintih karena bungkuk dan capai. Tebak apa kata anak itu?
“ Seharusnya kau senang karena tak perlu membungkuk terlalu jauh untuk menyiangi rumput karena sudah setengah bungkuk”
Ahahaha, dasaaaar!!
Kemudian Pollyana juga bertemu Mr. John Pedleton, seorang laki-laki misterius yang mengasingkan diri, tak mau bicara dengan orang lain dan sifatnya sangat tertutup. Tapi Pollyana adalah Pollyana, yang tak pernah ada seorangpun yang sanggup mengindahkannya. Dengan tanpa henti menyapa tiap hari,
“ Hari ini tidak terlalu cerah ya? Tapi aku senang hujan tidak selalu turun” serunya riang.
Atau—
“ Apa kabar? Aku senang hari ini tidak seperti kemarin. Anda bagaimana?
Si lelaki itu sekonyong-konyong berhenti. Wajahnya dijalari amarah
“ Begini nona cilik, sebaiknya kita buat kesepakatan mulai sekarang. Di luar cuaca, ada hal-hal lain yang harus kupikirkan. Aku tidak tahu apakah matahari bersinar atau tidak.” Nada ketus terlontar dari lelaki itu.
“ Tidak, Sir. Kurasa juga begitu. Karena itulah aku memberitahu anda” jawab Pollyana berseri-seri.
Ehehe..aku hanya ingin mengutip adegan dari kisah ini…yang mengesankan betapa menggemaskannya si Pollyana, hingga tak seorangpun kuasa untuk tak memedulikannya..
Dan ternyata lelaki itu, John Pedleton adalah lelaki yang dulu mencintai ibunya, namun ditolak karena ibunya memilih lelaki lain untuk menjadi suaminya-Ayah Pollyana.
Kisah bergulir, dengan kecelakaan yang menimpa Pollyana hingga ia tak bisa berjalan. Di sinilah saat “permainan suka cita” itu diuji. Apakah dalam keadaan yang sangat tidak menyenangkan karena Pollyana yang biasanya hiperaktif, bertemu dengan banyak orang dan pergi ke banyak tempat, sekarang harus berbaring lemah tak berdaya. Tapi, justru saat keadaan lebih tidak mengenakan, permainan menjadi semakin mengasyikan, untuk berusaha menemukan kegembiraan pada semua hal.
Kurasa Eleanor H Potter berhasil menyampaikan misi di balik tokoh Pollyana ini dengan bahasa yang lugas, ringan namun mengena. Plotnya sederhana, namun tetap indah untuk diruntuti lembar demi lembar. Pesannya sangat jelas, permainan suka cita itu seharusnya dimainkan oleh lebih banyak lagi orang di dunia. Bayangkan bila manusia memainkan permainan ini, bukankah hidup akan terasa lebih ceria dan berwarna?
Falsafah permainan suka cita ini menurutku serupa dengan ruh “berpikir positif” tapi dibungkus dengan gaya bertutur untuk novel anak. Tapi rasanya menyenangkan juga untuk dibaca orang dewasa. Banyak yang bilang, orang dewasa semakin sulit untuk cerah ceria, karena dibelit urusan-urusan yang menurut mereka penting seperti urusan pekerjaan, bisnis, relasi, dan seabrek aktivitas lainnya. Mereka kehilangan spontanitas, kehilangan keriangan kanak-kanak, --atau mungkin mereka telah melabel usia mereka menjadi usia serius yang tak perlu keceriaan—hingga hidup terasa hambar. Kau melihat wajah-wajah seperti itu di sekelilingmu?kuyakin banyak sekali..ehehe..jadi, kisah si Pollyana dengan permainan suka citanya seharusnya meniupkan pesan satu hal, bahwa selalu ada kegembiraan dalam segala hal, bila kita mau berusaha keras untuk menemukannya.
Jadi teringat seseorang yang pernah pagi-pagi mengirimkan sms :
“ arep mangkat isuk malah olahraga dhisik..motor-e bane keno paku..so, isuk-isuk wis nyurung-nyurung motor..bener-bener menyehatkan hihii” ehehe Pollyana banget!
Untuk si pemberi paket ungu itu--Terimakasih untuk bukunya, kau..Pollyana nyataku..dimana aku belajar permainan mengasyikkan ini….untuk sebuah hidup yang luar biasa, untuk terus berusaha membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik..lebih cerah ceria. Salam signal hati satu jiwa!
Everyone, Let’s play the game!—mainkan permainan suka cita..karena hidup adalah sebuah perayaan ***
3.05 pm 26 march 2011
0 Komentar