Rabu, 22 Agustus 2012

Kaca//Mata

Tanpa sadar kemana-mana dan dalam melihat apa saja kita memakai kacamata. Kacamatamu, kaca mata saya, kaca mata mereka, kalian, berbeda-beda. Terkadang kita takut berbenturan pandang, hingga lebih memilih bersikap netral. Tapi acap kali benturan terjadi. Hingga hidup bukan lagi sesederhana hitam dan putih. 
Ternyata dahsyat benar efek perbedaan kacamata yang mereka pakai itu dalam memandang sesuatu. Kaca//mata. Cara pandang kita akan sesuatu.
Kaca mata itulah yang selama ini bertahun tahun kita bawa kemana-mana, menjustifikasi sesuatu, memandang dan mensikapi peristiwa ataupun rasa. Kaca mata bentukan kita sendiri hasil dari sekian lama pertumbuhan diri. Mungkin hasil kontribusi dari orang tua, dari buku-buku yang kita baca, persentuhan pandangan dengan orang-orang yang kita kenal, kejadian ataupun lingkungan komunitas terdekat kita.
Masing-masing pribadi tentulah mempunyai kacamata sendiri. Tapi kadang kala kita tidak bisa mencegah kala ada benturan terjadi. Kadang, sering.
Kacamata yang kita kenakan itu prinsip dan nilai yang kita yakini, tentu mungkin berbeda dengan orang lainnya. Tapi masalah terjadi saat kita ingin mengubah kacamata orang lain dengan kacamata kita.
            “Sayangnya, seringkali dalam kehidupan nyata, kita tidak puas dengan sekadar “menyampaikan”. Kita ingin mengubah seseorang agar sepaham dengan diri kita (Dee)
Dan ternyata tidak mudah. Karena kacamata itu seperti indoktrinasi yang telah terjadi bertahun-tahun, berkarat dan telah menjelma menjadi sebuah “kebenaran” pribadi. Seorang sahabat tercintaku telah lama mendurja dengan kesahnya padaku, saat orang tua tercinta tak merestui hubungannya dengan lelaki yang ingin ia jadikan “rumah hati”nya karena restu orang tua tak jua datang. Sebuah status si lelaki-itu- yang membedakan kacamata sahabatku dan kacamata orangtuanya. Sungguh pelik ternyata.
            Pelan-pelan ditelateni, coba dikomunikasikan baik-baik.” Begitu salah satu kalimat penenangku kala itu. Walau ternyata manusia bisa punya seribu variasi dalam menanggapi sesuatu. Hingga reaksi yang terjadi bisa membuatku terbengong tanpa sanggup berkomentar banyak walau hanya untuk sekedar cara menenangkannya.
Ah, kacamata hidup. Sulit memang untuk menelusup mencari celah agar mungkin ada tolerasi dan kompromi untuk belajar memandang dengan kacamata yang lain. Setidaknya menerima perbedaan lensa dengan manusia lainnya. Mungkin sebenarnya bukan kebenaran yang dipentingkan, mungkin kacamata kita saja yang kita pentingkan dalam mensikapi apapun.
Aku, bisa saja menuliskan ribuan kalimat misalnya, tapi tetap tak punya kuasa untuk mengubah kacamata siapapun, kecuali manusia itu sendiri yang membiarkan kata-kataku menelusup membiarkan kacamatanya meluas, mencari celah pandang yang lain.
Ternyata kita tak punya cukup banyak kuasa. Tapi cukup banyak diberi kesempatan untuk berusaha. Mungkin bukan berusaha mengubah kacamata orang lain agar sepaham, atau sama kacamata dengan kita. Mustahil kiranya. Tapi mungkin sekedar berupaya melenturkan lensa, memperluas cakrawala, bahwa di luar sana setiap orang datang dengan kacamatanya masing-masing. Mungkin kita hanya butuh berusaha untuk memahami perbedaannya.
Mungkin.
Salam harmoni.

*Harmoni #lagu kita..walau suaraku dan kamu yang menyanyikannya dengan nada berbeda. Harmoni mungkin tercipta karena berbeda tapi mempunyai daya selaras tingkat dewa ;p

 
Previous Post
Next Post

2 komentar:

  1. melenturkan lensa, menatap perbedaan sebagai sebuah harmoni ya. makasih sharenya, mba siwi :)

    BalasHapus
  2. sama-sama ila..terimakasih sudah mampir disini :)

    BalasHapus