Kamis, 09 Mei 2013

Seperti Layang-Layang




Beberapa hari lalu kuset lagi jam tanganku, waktu Glasgow.  Sedangkan jam di handphone dan di komputerku masih kubiarkan dengan waktu Indonesia. Perlahan jam tanganku kuputar enam jam lebih lambat daripada waktu Indonesia.
Kenapa saat di Indonesia, aku hanya mempunyai satu waktu, waktu Indonesia saja. Hanya terkadang mengingat saat ada jadwal skype dengan sang supervisor, namun selebihnya, waktuku hanya tunggal, waktu Indonesia. Aku sepertinya tak butuh dan tak mau tahu waktu-waktu lainnya. Ah, mungkin waktu Aussie terkadang, saat sahabatku yang tengah studi di JCU masih tetap menjalinkan ceritanya.
Dan kenapa aku kini mempunyai dua waktu (lagi)?
Waktu identik dengan kegiatan apa yang tengah dikerjakan manusia yang tengah menjalani waktunya. Pagiku dengan aktivitas beberes, menyiapkan sarapan, membuka laptop dengan secangkir kopi, sekarang ini adalah waktu siangmu. Sedangkan waktu menjelang malamku adalah diniharimu, saat lelap menyeberangi mimpi-mimpimu. Aku mengingat waktumu.
Aku hampir tak pernah lupa menyadari waktu. Kini aku mempunyai dua waktu, walaupun hidup dalam waktu tertentu.
Aku ternyata seperti layang-layang yang tak ingin terlepas dari talinya. Lihatlah layang-layang yang terbang di atas langit sana. Terkadang terlihat sendirian di antara langit biru itu. Lepas, bebas dalam ketinggian. Meliuk-liuk terbang menari bersama angin. Ia nampak tak pernah gentar dengan angin kemanapun akan dibawanya. Orang-orang yang melihat dari bawah melihatnya sebagai layang-layang yang terbang mesra memacari angin. Tapi orang-orang itu jarang bisa melihat siapa yang memegangi tali benang layang-layang itu.
Aku, seperti layang-layang itu.
Terbang jauh dalam ketinggian. Dalam aliran angin yang kadang tak bisa kuduga membawaku kemana.
Aku seperti layang-layang itu, menari bersama ketidakpastian arah angin.
Aku mungkin seperti layang-layang itu, terbang bebas tanpa terlihat terikat, ataupun mengikatkan dirinya.
Tapi aku, layang-layang itu.
Si layang-layang yang terikat pada tali yang seseorang pegang. Dimana aku tahu kemana harus pulang.
Aku, si layang-layang yang mencoba terus tegar saat terpaan angin mengencang karena ada si pemegang tali yang siap memberikan dukungan.
Aku, si layang-layang. Nampak sendirian di langit lepas, karena tak banyak yang melihat siapa yang memegang kendali tali benang.
Dan aku si layang-layang, selalu punya engkau bila aku hendak pulang.
Hingga suatu saat, akan kuajak engkau bersama terbang.
Aku adalah pulangmu, Kamu adalah pulangku.

Glasgow, 9 May 2013

Previous Post
Next Post

0 Comments: