Minggu, 23 Juni 2013

Pulangmu




Aku suka laut. Mungkin itu mengapa dulu aku berkata “ Temani aku ke pantai bila aku sudah bisa berjalan lagi
Karena itu aku makan banyak-banyak, kutelan obat-obatan itu, bahkan sakit luka-lukaku kadang tak terlalu kurasa. Dan aku memaksa berusaha keras untuk belajar berjalan lagi. Hanya beberapa hari saja aku dipapah kemana-mana. Setelah itu, aku belajar berjalan dengan tongkat, walau rasanya sakit setiap kali tongkat itu diayunkan. Tapi aku harus bisa berjalan lagi.
Aku mengingat saat itu. Serasa baru kemarin. Kamu tahu rasanya berada antara batas hidup dan mati? Seperti merasa mendadak hanya ada beberapa orang saja yang tersisa dalam pikirku.
            “ Ayo berjalanlah, agar nanti kau bisa berlari lagi”
Kadang ada orang yang sanggup membuatmu bersinar-sinar ataupun meredup seketika.
Kadang ada orang yang sanggup membuatmu tersenyum berbinar yang tak mungkin dibagi bersama orang lain lagi.
Aku kini sudah bisa berlari lagi, walau bekas-bekas luka itu sepertinya tak pernah bisa hilang dari hidupku. 
            Sakitkah?” tanyamu suatu waktu.
Aku menggelengkan kepala. Kadang ada orang yang mampu menyembuhkan sakit ragamu, entah mantra apa yang diberikan Tuhan padanya.
Aku sekarang masih suka laut.
Laut itu bersahaja dan menerima. Ia menjadi tempat pulang air yang entah darimana arahnya, tak pernah mengeluh, ia menerima. Laut menjadi tempat pulang yang menentramkan. Air yang datang padanya mungkin berteriak “ Eropa sungguh cantik! Kalimantan seksinya misterius! Sukses itu penting! Atau berteriak : kita harus terus bersemangat!
Apapun, bagaimanapun, dari manapun, air itu mengalir pulang ke laut. Laut memelukinya dengan penerimaan. Air selalu merindu laut untuk pulang.
Aku suka laut.
Dan akupun ingin selalu menjadi pulangmu.

Malam yang terlalu larut di Glasgow, pagimu. Dini hariku. 23 June 2013.

 
Previous Post
Next Post

3 komentar:

  1. pernah dengar dialog seorang anak dengan ayahnya tentang laut?

    "Ayah, mengapa aku diberi nama Syam al Bahri?"

    "Syam, artinya matahari, dan Bahri, adalah samudera,"

    "Matahari Samudera? Apa maknanya?"

    "Pernahkah Matahari mengeluh menyinari bumi dan planet-planet angkasa?"

    "Eumm.. ti..dak. Apa maksudanya, ayah?"

    "Dimanapun engkau berada, anakku, jadilah pengasih pada siapapun. Jadilah orang baik yang tak pernah berhenti,"

    "Kalau Samudera? Apa artiya, ayah?"

    "Adakah temanmu yang dijauhi banyak teman yang lain di sekolah?"

    "Ada ayah, ada. Tapi ia dekat dengaku. Katanya cuma aku yang menerimanya (seperti anak normal lainnya),"

    "Itu, nak. Penerimaan. Ia yang tertolak, akan merasakan kekecewaan. Terimalah setiap orang, untuk menjadi teman.Tapi seperti samudera, ia luas, dan tetap asin menjadi dirinya sendiri, meski air tawar mengalir dari banyak sungai. Samudera, menerima apapun yang dialirkan sungai-sungai kepadanya. Ia tak pernah membatasi, menolak air yang datang padanya."

    *Seringkali, aku duduk di tumpukan batu pesisir laut jawa. Berdialog dengan ombak, kerang, karang, ular laut yang selalu merendahkan diri : pura-pura mati dan tak berguna. Terkadang kita membutuhkan waktu untuk sendiri. Bukan sebagai pelarian dari kehidupan, tapi sejenak memikirkan, kehidupan seperti apa yang sedang kita alami ini. Laut dan bintang malam menjadi teman diskusiku yang mesra.

    Di sana, adakah bintang-bintang cantik seperti di Indonesia? :)

    BalasHapus
  2. @Afa : such a nice story, inspiring. Thanks :)

    BalasHapus