Selasa, 13 Agustus 2013

Tambah Tresno Jalaran Soko Kulino : Tentang Beda


Glasgow-George Square

Sore ini saya melintasi Glasgow lagi, hanya ingin pergi ke KFC untuk makan kenyang dengan hot wingsnya yang mantap surantap. Saat menuju ke sana, di balik jendela bis menuju city center, saya melihat sisi-sisi kota yang kian lama kian terasa akrab di hati saya. Dan entah kenapa pikiran saya kembali mengenang saat awal saya menginjakkan kaki di kota ini. Dari awal, memang kota ini sudah terasa klik untuk saya. Mungkin bukan sejenis cinta menggebu-gebu seperti cinta-nya saya pada Edinburgh kala itu. Tapi Glasgow sedari awal memberikan rasa seperti rumah. Rumah hati. Dan kini sudah 2 tahunan saya tinggal di sini, dan dilandai aura betah bahkan sangat tergoda untuk memperpanjang studi. Jadi Glasgow pun bagi saya bukan semacam cinta Witing Tresno jalaran soko kulino. Saya teringat tulisan seorang sahabat blogger saya yang menulis :
            “Cinta akan/bisa tumbuh dengan sendirinya nanti, TAPI kita harus punya benih cintanya dulu. Kalau gak ada benihnya, apanya yang mau tumbuh??"
Curcolnya di kalimat tadi sempat membuat saya tersenyum. Mungkin dia juga mengalami apa yang saya rasai. Dan wahai para pembaca yang merasa bisa tresno jalaran soko kulino, tentu saja itu hak kalian masing-masing. Mari kita membiasakan perbedaan, dan menempatkan pendewasaan dalam memahaminya.
Peribahasa orang jawa bilang “Witing Tresno Jalanan Soko Kulino” (cinta tumbuh karena terbiasa), tapi memang peribahasa itu nampaknya tidak cocok untuk saya. Kok? Ehehe bukankah biasa saja bila teori, peribahasa memang tidak sesuai dengan kita? Penciptanya pasti melontarkan kalimat atau pernyataan berdasarkan pengalamannya sendiri dan mungkin disertai dengan observasi atau pengalaman beberapa orang lainnya. Tentu saja ada yang cocok ada yang tidak.
Tapi saya lebih pas dengan kalimat yang saya ubah sendiri “ tambah tresno jalaran soko kulino”. Karena kebiasaan, karena tapak-tapak waktu yang telah banyak mencipta kenang dan kejadian, rasanya menjadi “tambah tresno”, tapi bukan “witing tresno”. Karena saya tipe manusia yang sulit belajar jatuh cinta, tapi saya sangat menikmati proses belajar mencintai apa dan siapa yang saya sudah “jatuh cintai”. Ada satu bidang yang sekarang menjadi bagian dari hidup saya, ataupun kota yang menjadi tempat kerja saya. Walau sudah bertahun-tahun bergelut di bidang yang saya tekuni, atau tinggal lama di kota tempat saya bekerja, rasanya biasa saja. Saya menjalaninya semacam sebuah komitmen dan tanggung jawab. Saya mampu membedakan rasa terhadap bidang lainnya yang memberi saya rasa “hidup” dan kota yang sanggup mencipta rasa “pulang”.
Seseorang memilih tindakan ataupun mengambil pilihan karena rada dan prinsip definitif antara dia dengan dirinya sendiri. Bukan melakukan sesuatu, berubah ataupun mengambil pilihan karena pemikiran, pemahaman dan rasa orang lain. Meminta pertimbangan atau saran bukan berarti mengikuti pilihan mereka.
Entahlah, saya hanya kadang menghadapi orang-orang yang “memaksa” ikut pemikiran mereka. Kalian pun pasti sering terpapar pengalaman yang sering saya alami. Wajar saja memang, hidup penuh tabrakan pemikiran. Tapi bukankah kita tak pernah punya kuasa untuk mengubah pemikiran seseorang? Bila seseorang berubah, pasti karena diri orang tersebut tadi yang “mau” untuk berubah.
Banyak motivator yang punya berbagai teori, yang merasa termotivasi tentu saja karena orang tersebut “menemukan sendiri” motivasi itu ada dalam kata-kata sang motivator. Dan bila pun beberapa orang mengaku terinspirasi dari tulisan saya, tentu saja karena orang-orang tersebut yang “menemukan”nya sendiri.
Kalian percaya bahwa tak satupun teori yang mampu menjawab kebutuhan setiap orang? Saya percaya. Setiap kalimat, penyataan, ataupun retorika menurut saya mempunyai kecocokan untuk masing-masing orang. Dan yang mengetahui cocok atau tidak, tentu saja hanya diri kita sendiri. Tak usahlah memaksa-maksakan orang lain bahwa teori yang cocok dengan kita adalah yang paling baik, paling benar, paling sesuai. Mengerti mana-mana yang sesuai dengan kita, bagi saya itu lebih penting esensinya. Karena masing-masing diri adalah makhluk dengan karakter unik sendiri-sendiri, mewakili rasa masing-masing, dan pikiran yang melekatinya.
Yang sering saya amati, manusia kemudian tak merasa puas dengan hanya mewakili pemikirannya sendiri, namun terkadang “memaksa” orang lain untuk sesuai dengan pemikirannya. Bila kau perhatikan, “pemaksaan” pikiran itu walaupun secara halus, mudah sekali tertangkap di status-status Facebook ataupun twitter. Entah apa yang mereka coba untuk puaskan.
Saya menulis, mewakili rasa dan pikiran saya sendiri. Hampir tak pernah ada niatan bahwa tulisan-tulisan saya bertujuan untuk “menyetir” ataupun “memaksa” pikiran-pikiran pembaca saya. Ada banyak yang kemudian sependapat, mungkin banyak pula yang tidak.  Bukankah hidup memang dihidupi dengan adanya perbedaan?
Hidup juga terkadang belajar untuk bisa menerima bahwa orang lain punya pandangan dan pemikirannya sendiri. Saya hidup dengan nilai, prinsip, pemikiran rasa yang saya pilih dan yakini sendiri. Mungkin berbeda ataupun kadang sama dengan kalian. Entahlah, saya melihat ada pembelajaran kedewasaan seseorang untuk menghargai perbedaan, dan melangkah dalam harmoni.
Selamat menghidupi pikiran dan rasamu sendiri.

Sebuah kilas pikir di bis Glasgow jalur 6 menuju city center. 11 August 2013.
 
Previous Post
Next Post

4 komentar:

  1. Aku tau siapa yang menulis tentang BENIH ituuu.... ^_^

    BalasHapus
  2. ahaha harusnya kusebutkan referensi lengkapnyaa..hihi tengkiu mba titik, statusmu mengilhamiku nulis tulisan ini :D

    BalasHapus
  3. setuju mba Siwi,, setiap orang punya teori hidup masing-masing. Tak perlu selalu menyetujui teori hidup orang lain, dan tak perlu memaksa orang lain setuju dengan teori hidup kita. Inspiratif!

    BalasHapus
  4. hehe tos kalau gitu :) *ini nulis gara2 baca timeline twitter juga yg pada ribut mulu..hadeew..

    BalasHapus