Rabu, 25 September 2013

What If




Syal ungu lembut dan cardigan hitam disambar Kinan dari lemarinya dan bergegas pergi ke suatu tempat. Dikenakannya cardigan sambil berjalan keluar dengan tergesa-gesa.
            “ Mada ada di kota ini, Kin. Ia ada konferensi di sini, dan hanya tinggal sampai besok malam. Ia menanyakan kontakmu berkali-kali. Sepertinya ia sungguh ingin bertemu lagi denganmu, Kin.” Suara Melia di ujung telponnya sehari lalu.
Mada? Lelaki dengan senyuman itu. Perlukah kutemui ia lagi? Kinara membatin. Mungkin tidak. Untuk apa menemuinya? Waktu telah membekukannya.
Tapi lihatlah kini ia berkejaran dengan waktu menuju Bandara Muenchen. Menemuinya.
What if? Bagaimana bila kesempatan ini adalah satu satunya kesempatan untuk melihatnya lagi? apakah akan ia lewatkan begitu saja?. Apakah setelahnya, hidupnya adalah tentang kenang dan masa lalu Mada. Dan masa depan tak pernah menyisakan cerita dengan nama itu lagi?
Kinar meminta sopir taksi membawanya ke Bandara Muenchen dengan segera. Laju mobil seakan berpacu dengan degub jantungnya. Tidak akan pernah ada lagi What If, bisiknya lagi. Dibenarkan posisi syal ungu yang menghangatkan lehernya, dan disibakkan rambut panjangnya.
            Nada sambung itu akhirnya terjawab dengan suara yang amat dikenalnya di ujung telpon. Suara itu masih sama, hanya terdengar lebih berat.
            “ Mada? Tunggu aku. I just want to see your face,” Kinara mengucapkan kalimat itu seakan bicara dengan seseorang yang tiap hari disapanya.
Tapi Mada, lelaki itu sudah menghilang dari hidupnya empat tahun yang lalu. Ah bukan Mada yang menghilang, tapi Kinarlah yang menghilangkan dirinya dari hidup Mada.
Karena rasanya sudah terlalu penat. Bersamanya dulu terlalu banyak What If. Andaikata, bila...Tak ada hidup yang sebenar-benarnya kala bersamanya, hingga akhirnya Kinar memutuskan untuk menghilang. Pergi mencari hidup yang memberinya banyak pertanyaan dan jawaban, tapi bukan lagi, andaikata.
Ditutupnya telepon dan merasai degub jantungnya yang berpacu lebih cepat. Tangannya berkeringat. Ia gugup. Tidak akan pernah ada lagi What if. Tegas Kinara dalam hatinya lagi.
         Sesampainya di Bandara, matanya mencari sesosok yang empat tahun lalu diakrabinya itu. Belum juga ia temukan. Berkali kali Kinar menengok pada jam tangan di pergelangan, sometimes I hate time!
            “ Hai pipi merahku, tengah mencariku?” suara di belakang Kinar mengagetkannya. Kinar segera berbalik dan menemukan sosok yang sedari tadi dicarinya.
Lelaki dengan tinggi sedang, berjaket berkerah tinggi, dan syal melilit di lehernya. Kinar terpaku sejenak memandangi syal yang melilit menghangatkan leher Mada. Itu syal dariku.  Aku tak salah lihat, ia bahkan masih memakai syal pemberianku. Bisik hati Kinar yang seketika menghangat.
                                                            ***
            Napcabs ini sungguh teroboson unik di Bandara Muenchen. Ruang tunggu pribadi ini berbentuk kotak dengan perlengkapan yang nyaman yang bisa disewa sambil menunggu jadwal keberangkatan. Agak mahal memang, harga yang pantas untuk sebuah kenyamanan.
            “Masih minum kopi kan, Kin? “ Tanya Mada sambil terlihat menyiapkan dua cangkir kopi untuk menemani mereka ngobrol.
            “ Satu  sendok gula,  dua sendok bubuk kopi dan sedikit cream. Rumus racikan kopimu masih sama kan? “ lanjut Mada dengan cekatan menyiapkan kopi.
Kinar tersenyum samar. Dia masih saja menyebalkan, seru batinnya. Mada baginya menyebalkan karena hampir tahu semua tentang dirinya dan bahkan sampai kini tak berniat melupakannya.
            “Kok diem? Ayo minum kopinya. Dulu kamu suka banget racikan kopi bikinanku. Sudah ada yang bisa menggantikannyakah? “ tanya Mada dengan ringan, lalu tersenyum padanya.
Mada tak menyadari ada gempa bumi kecil di hati Kinar saat memperhatikan cara Mada berjalan, tersenyum, dan bicara. Nada suaranya, caranya tersenyum, gaya bicaranya masih tetap sama. Hey, Kinar ..bukan untuk itu kau menemuinya! Sergah batinnya. Sebenarnya ia lebih mengharapkan pertanyaan Mada padanya seperti : “Kemana saja kau selama ini? Apakah kau baik-baik saja tanpaku? Kenapa menghilang begitu saja tanpa kabar apapun?
Atau sekedar pengakuan sederhana : “Aku sungguh merasa kehilanganmu, Kin”.
Tapi Mada hanya bicara soal kopi.
Kinar hanya tersenyum sambil menggengam secangkir kopi hasil racikan Mada. Matanya melihat lelaki di hadapannya itu lagi, mencari-cari perubahan apa yang dilewatkan setelah beberapa tahun tak melihatnya. Rindu itu sudah beku.
            How’s life? “ hanya pertanyaan singkat itu yang mampu terlontar dari bibir Kinara. Walau terlalu banyak yang ingin ia tanyakan sebenarnya.
            “ Aku masih hidup. Tak dinyana ya. “ jawab Mada lugas. Ah, lelaki penderita cyctic fibrosis yang menunggu jadwal transplantasi hati bertahun-tahun  itu terlihat masih bugar di hadapannya.
Ia bahkan tak pernah mengira akan bisa melihatnya lagi. Lelaki itulah yang dulu sanggup meyakinkannya untuk meraih apapun impiannya. Lelaki yang datang dengan senyuman dan serombongan anak-anak yang memaksanya mengajar di halaman belakang. Tapi penyakitnya itu menggerogoti keberaniannya sendiri, bahkan keberaniannya untuk mencintai.
Mereka kemudian diam membisu. Padahal Kinar hanya ingin menghambur di pelukan lelaki yang aroma tubuhnya bahkan masih dikenalinya itu. Namun melihat lelaki itu masih sanggup menghirup udara, dan hati hasil transplantasi dalam tubuhnya masih mengenalinya, hanya itu saja sungguh sangat membuatnya bersyukur.
Tapi mereka tak bergeming.
            “Kenapa dulu kamu tak pernah berani? Berusaha agar kita tetap bersama? “ akhirnya Kinara menanyakan apa yang ingin ditanyakannya selama bertahun-tahun belakangan ini.
            “ Kin, aku tidak tahu apa aku bisa bertahan atau tidak. Apa transplantasi hatiku akan berhasil atau tidak. Apa setelah itu hatiku masih mengenali hatimu? Aku tidak bisa menjanjikanmu apapun. Sebuah hubungan yang normal, pernikahan, anak-anak. Mungkin saja aku tak pernah bisa,” jelas Mada pada akhirnya.
            “ Kamu masih ingat berapa lama aku bertahan untuk bersamamu? “ ada nada protes pada kalimat Kinan.
Mada membisu. Ia tahu betul lebih dari tiga tahun Kinara bersamanya. Namun ia memang tak pernah berani memutuskan apapun. Apabila aku mati minggu depan? Bulan depan? Bagaimana dengan Kinara? Mungkin terlalu banyak kecemasan dan ketakutan yang menyelimuti hatinya. Kecemasan membuatnya menjadi seorang pengecut.
            “Bukan penyakitmu yang membuatku pergi. Tapi ketidakberanianmu mencintaiku. Terlalu banyak apabila, andaikata. What if” jelas Kinan mengenang kembali luka dalam hatinya.
Entah kenapa lukanya kembali terasa segar. Hatinya sakit.
            “Kau bersama siapa sekarang? “ tanya Mada mengalihkan pembicaraan. Tapi sekaligus pertanyaan yang disimpannya beberapa waktu lamanya. Kinara, perempuan berpipi merah itu, terlalu sulit untuk bisa melupakannya.
            “ Kau tahu aku memutuskan bersama seseorang bukan karena takut sepi, bukan karena takut sendirian,” jawaban Kinar bersayap. Ia kembali membetulkan syal ungunya, lalu menyesap kopi racikan Mada. Ah, bahkan rasa racikan kopinya masih tetap sama. Ia tak pernah lupa sensasi rasa kopi hasil racikan Mada.
            “ Aku menelpon untuk bertemu hanya ingin melihatmu saja. Itu saja. Agar tak pernah ada lagi apabila, andaikata. What if. Aku lelah dengan kata itu dalam hidupku. Kini tak akan pernah ada lagi” lanjut Kinara panjang. Tapi kegugupan melanda hatinya. Disesapnya kopi di cangkirnya lagi.
            “ Kamu dulu itu takut hidup, walaupun kau masih hidup. Mungkin sesekali kau harus membiarkan hidupmu lepas. Mengambil risiko, memutuskan pilihan dan terus berjalan,” Kinara masih berkata dengan acak. Sementara Mada masih memperhatikan perempuan di hadapannya. Pipi chubbynya yang masih tak berubah, rambut panjang lebih dari sebahunya yang tak pernah dipotong pendek, mata hitam bulatnya yang selalu terlihat antusias saat bicara. Ah, ia dulu terlalu takut kehilangan perempuan berpipi merah itu.
Mada meletakkan cangkir kopinya.
            “Kamu mengajariku untuk tak pernah takut lagi. Apalagi yang sanggup aku takutkan? Aku sudah pernah merasakan bagaimana rasanya kehilanganmu? Memangnya ada sesuatu yang lebih pahit dan lebih sakit daripada itu? “ kata Mada dengan suara yang bergetar.
Ditatapinya wajah perempuan yang bahkan masih diingat setiap detailnya. Hidungnya yang kecil, matanya yang bulat, alisnya yang tebal. Ah, si alis ulat buluku, si pipi merahku,  serunya dalam hati. Waktu memang ambigu. Bahkan waktu tak sanggup menyembunyikan rindu.
            “ Sebentar lagi waktu penerbanganmu. Ayo bersiap, nanti terlambat.” Kata Kinara mengingatkan Mada. Oh, lagi-lagi ia membenci waktu.
            “ Kin... selama ini aku nggak  pernah melupakanmu. “ Mada masih saja terus bicara.
            “ Itu udah nggak penting lagi, aku cuma pengen ngeliat kamu baik-baik. Itu saja, cukup.” jawab Kinara sambil menunduk, memainkan syal ungunya. Hatinya teraduk aduk.
            What if..” kalimat Mada menggantung
            “ Uhmm.. tak pernah ada lagi andaikata. Bagaimana jika. Nggak ada lagi What if. Kutanyakan sekali ini saja, masihkah kau mau bersamaku? Hingga tak pernah ada lagi penyesalan. Andai saja dulu aku berani untuk mengambil keputusan? Jika saja aku memutuskan untuk tetap bersamamu? What if..what if..menghantui hidupku.” Kata Mada seakan kata-kata itu berloncatan dari bibirnya.
            “Aku tidak ingin membawa-bawa pertanyaan  yang belum usai dalam hidupku. Sekarang kau jawab, kita selesai atau bersama.” Lanjut Mada tegas.
Kinara sedikit bingung menghadapi pertanyaan Mada yang spontan. Tangannya meremas sofa yang didudukinya. Pikirannya gundah, tapi sebenarnya hatinya tidak.
            “ Pulanglah, jadwal penerbanganmu sudah tinggal sebentar lagi,”jawab Kinar sambil merapikan tas dan mengenakan lagi cardigannya agar terasa hangat. Musim gugur akan segera datang. Udara dingin sudah makin menusuk tulang.
Mada masih menatapnya dalam-dalam. Ada harap yang belum padam. Dan juga cinta yang masih membayang di matanya.
            “ Pulanglah... sehat-sehat ya,” pesan Kinara sambil membenarkan syal milik Mada. Syal pemberiannya di Ulang Tahun Mada yang ke 28. Tangannya yang lembut sedikit menyentuh kulit leher Mada.
            “ Tapi Kin,..” tanya Mada menggantung, ada harap yang sulit disembunyikan.
            “ Pulanglah dulu, nanti kita cari cara bagaimana mengalahkan jarak dan samudra,” kata Kinara mantap. Dan senyum dari perempuan berpipi merah itu kembali merekah. Mereka membenci waktu sekaligus menghormatinya, karena waktu mengajari mereka menaklukkan kecemasannya sendiri.
            Papan elektronik di Bandara Muenchen sudah menunjukkan waktu saatnya penumpang penerbangan menuju Amsterdam check in. Langkah Mada lebar-lebar sambil menggiring koper besar miliknya. Tapi mereka sebenarnya tak kemana-mana. Hati mereka terbang bersama.

What if,   I had never let you go
 Would you be the man I used to know?
 If I'd stayed
 If you'd tried
 If we could only turn back time
 But I guess we'll never know (What If, Kate Winslet)
                       
Glasgow, 24 Sept 2013.

Previous Post
Next Post

5 komentar:

  1. haisssh komenmu ambiguuuuu...wkwkwk..:))

    BalasHapus
  2. waah baru inget...mesti dirimu jadi teringat sesuatu dudududu #kabuur ah ;p;p

    BalasHapus
  3. Nice ^_^...ummm...deg2annya berasa pas bacanya..
    Keep write ya mba ^_^

    BalasHapus
  4. wuihh lha kok pake deg-deg2an bacanya ehehe..tengkiu udah mampir baca ya :)

    BalasHapus