Kamis, 23 Januari 2014

Dunia Sosial Media : Tentang Hilangnya Etika





Dunia Sosmed atau sosial media sekarang ini menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi sebagian masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Ada Facebook, twitter, linkeldn, google +, instagram dan lain sebagainya yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Namun akhir-akhir ini kok ada gejala yang saya tangkap agak meresahkan dari gaya masyarakat dalam memanfaatkan jejaring sosial media. Seperti maraknya share dan pemberitaan yang menggelinding tentang akun instagram ibu negara kita, Ibu Ani yudhoyono. Iseng saya buka instagramnya, komentar-komentar serta dua surat terbuka yang dialamatkan untuk beliau, termasuk juga komentar-komentar orang yang share informasi tersebut di facebook dan juga beberapa portal tertentu.
Namun, setelah membaca sekitar 15 komentar dari ratusan komentar, saya sudah buru-buru menutup tanda x untuk close apa yang saya bacai. Tidak berguna untuk saya, bisik pikir saya. Komentar-komentar negatif dengan bahasa yang “memprihatinkan” rasanya hanya akan memberikan energi negatif. Enough, cukup rasa penasaran saya untuk sekedar mengetahui perkembangan berita-berita terkini yang terjadi di bumi pertiwi. Kasus ini hanya contoh dari banyak kasus-kasus yang menunjukkan betapa reaktifnya masyarakat Indonesia, dan sayangnya seringkali reaksi-reaksi yang malah tidak membangun.
Jejaring sosial media menfasilitasi orang yang lebih ekspresif, menyampaikan pendapat, mengomentari foto atau status orang, bisa meng-upload foto ataupun menuliskan pendapatnya. Namun ada satu hal yang selama ini mengganjal dalam pikir saya tentang gaya masyarakat Indonesia dalam berinteraksi lewat sosial media. Kebebasan berekspresi dan berpendapat di sosial media, terkadang menimbulkan kehilangan etika.
Jarak antara seseorang dengan orang lainnya hanya sejarak beberapa ketikan di keyboard. Dulu serasa tidak mungkin suara, pendapat kita langsung bisa sampai pada kepala negara, menteri, tokoh-tokoh penting lainnya. Tapi sekarang orang bisa dengan gampang mengirimkan aspirasinya, misalnya saja dengan nge-tweet dengan mention orang yang dimaksud. Tentu saja banyak kelebihan dan manfaat dengan mudahnya komunikasi sekarang ini. Tapi kebebasan itupun banyak yang keblabasan. Menyampaikan sesuatu di dunia maya memang terasa lebih “safe” (apalagi bila menyangkut dengan orang penting)-dalam artian kita tidak berhadapan langsung dengan orang tersebut, lalu identitas kita juga bisa disembunyikan atau menyampaikan sesuatu dengan menggunakan identitas yang palsu. Apapun itu, seharusnya adab menyampaikan pendapat, saran, kritik pun harus tetap berlaku walaupun itu di dunia maya.
Rasanya ada yang mengusik hati saya saat membaca, mendengar dan mengamati banyaknya hal-hal yang menyebabkan keresahan di dunia maya. Orang dengan mudahnya share informasi tanpa membacanya dengan detail atau mengetahui darimana sumbernya, plus menambahi dengan komentar yang kurang nyaman untuk dibaca. Akibatnya isu tersebut menggelinding tak tentu arah, sehingga menciptakan suasana yang tidak positif. Efek sosial media memang luar biasa, isu yang digelindingkan bisa menjadi viral yang menyebar kemana saja hanya dengan beberapa klik dan ketikan keyboard saja. Seharusnya pun hal ini membuat kita lebih bijaksana dalam memilah dan memilih informasi termasuk memilih bahasa yang hendak disampaikan.
Dalam interaksi dunia maya pun kita selayaknya mempunyai adab dan etika. Bullying dunia maya sekarang ini sepertinya menjadi booming dan orang menjadi sangat reaktif. Ariflah dalam membaca mendapatkan informasi dan menyampaikan pendapat.
Kadang bukan hanya mempertimbangkan benar atau salah, namun etis atau tidak etis. Sama seperti halnya hidup di dalam masyarakat dalam realita bahwa tetap butuh tolerasi, sopan santun dan pengertian.
Cara kita menyampaikan pendapat, aspirasi, saran ataupun kritik, baik itu di dunia nyata ataupun dunia maya adalah cerminan dari seperti apa kita sebenarnya. Nilai seseorang gampang sekali dikenali dari caranya mengendalikan diri dalam menyampaikan apa yang dinginkan, disuarakannya ataupun cara dia merespon itu semua. Perbedaan ada dimana-mana, kekurangan menjadi hal yang niscaya, pun orang-orang tak tidak suka pada kita mungkin saja tersebar di alam raya.
Sudah sewajarnya kita belajar menghargai perbedaan, belajar menyampaikan ketidaksetujuan, ataupun kritik dengan cara yang santun dan beradab.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya santun dan beradab, setidaknya itulah stigmanya, entah pada realita. Santun dan beradab, tentu saja bukan berarti lemah, tak bersuara, dan tak peduli. Tapi suarakahlah pendapat dan aspirasi dengan cara-cara yang elegan, santun dan dewasa.
Sudah bukan waktunya masyarakat Indonesia sibuk dengan isu-isu yang tidak bermanfaat, sibuk dengan debat tak berisi dan saling menebar energi negatif.
Sudah waktunya untuk turun tangan dan peduli untuk Indonesia yang lebih baik. Indonesia sudah terlalu banyak orang yang mengkritik dan mencaci maki, Indonesia butuh orang-orang yang peduli.
Turun tangan, bekerja, bekerja, berkarya, berkontribusi.  Menebar Inspirasi bukan melempar caci maki.

Salam,
Glasgow 23 Jan 2014
Previous Post
Next Post

4 komentar:

  1. turun tangan, bkn sekedar hny (t)urun (t) angan #katapakaniesbaswedan

    Mbaaaakkk, nginstagramm dong :)

    BalasHapus
  2. Ini akun saya, jadi suka-suka saya dong, saya mau ngetwit sambil eek atau sambil ngupil terserah saya. Emang ada aturannya? Kamu jangan songong deh! (beberapa contoh yang ditemui).. Nice post Non.

    BalasHapus
  3. @lupi : ahaha yupiee sebagai penerus Pak Anies Baswedan memang harus turun tangan :)
    @wendi : ahahaha iyaah banyak yang membalas demikian. Jadi semakin kelihatanlah kualitas di pemilik akunnya. tengkiu sudah mampir baca :)

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus