Jumat, 21 Februari 2014

Hadapi Rasa Sakitmu



Rasa sakit, seperti juga rasa senang , suka cita, cemburu, iri, bangga, pasti pernah menghampir dalam hidup kita. Siapa manusia yang tak pernah merasakan sakit?entah itu sakit fisik ataupun juga psikis. Mungkin tidak ada. Seperti ketika kemarin sahabat saya menyapa dengan cerita rasa sakitnya, mungkin itu wajar saja. Namun hal itu kembali membuat saya tertegun akan pelajaran rasa sakit.

“Apakah rasa sakit yang masih ada ini tanda aku belum ikhlas? Apakah bisa saja aku sudah ikhlas tapi tetap merasa sakit?” Racau sahabat saya tadi.

Saya terdiam sejenak, dan kemudian menimpali dengan stok kalimat-kalimat saya yang ada. Karena saya sendiri tidak tahu, sungguh tidak tahu. Tapi saya tahu kadang-kadang seseorang bercerita tentang sesuatu hanya butuh untuk didengarkan, bukan untuk meminta solusi. Belajar mendengarkan dengan sepenuh-penuhnya mendengarkan ternyata salah satu hal yang butuh belajar. Ah, apasih yang nggak butuh belajar? Jadi seringkali saya hanya mendengarkan dan menimpali dengan kalimat sebisa saya.

Ada rasa sakit yang begitu jelas kentara kutangkap dari cerita sekilas sahabat saya tadi. Sakit yang saya bicarakan di sini tentu saja jenis rasa sakit psikis. Saya melihat tanda-tanda luka traumatis yang kembali segar menganga. Saya pernah mengalami sejenis rasa sakit itu, walaupun setiap orang mempunyai alasan ataupun penyebab rasa sakitnya sendiri-sendiri. Dan yang sering saya temukan rasa sakit terkadang adalah tentang disagreement dengan diri sendiri. Mungkin tentang harap kita terhadap perlakuan seseorang yang tidak sesuai dengan mau kita. Mungkin tentang kejadian atau takdir yang kita kira tidak memihak pada kita. Mungkin tentang asumsi-asumsi yang kita buat sendiri terhadap orang lain, lalu secara bawah sadar menghadirkan rasa sakit.

Siapa yang paling sering membuatmu merasa sakit?

Ah sungguhlah kita harus berhati-hati dengan ini. Karena justru kita “merasa” orang yang paling kita cintai, paling kita kasihilah yang “kita kira” menyebabkan rasa sakit itu. Karena pengharapan kita yang tidak selaras dengan nyata.

Memang pernah saya baca tentang wacana life without expectation, karena dengan menghilangkan harapan (atau tidak berharap tenang apapun) akan menghindari kekecewaan saat harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan. Menghindari kekecewaan atau sama halnya dengan menghindari rasa sakit.

Tapi personally, saya sudah terbiasa dengan harapan. Hidup, usaha, harapan, doa sepertinya sudah seperti irama nafas. Bagaimana hidup berjalan tanpa harapan? Jadi alih-alih menganut paham life without expectation, saya lebih memilih untuk menerima rasa sakit bila itu datang. Sekali lagi, ini adalah soal pilihan, dan saya memilih cara demikian.

Ada rasa sakit yang memang “penting” terjadi, ada kalanya ada rasa-rasa sakit yang “tidak perlu”. Apa bedanya?

Kalau kita merasa gampang sekali tersinggung dengan perkataan ataupun perbuatan orang lain? Mungkin kita masih gampang diserang rasa sakit-sakit yang tidak perlu. Don’t take anything personally. Tidak ada yang pernah bisa menyakitimu tanpa seijinmu. Sebuah kalimat sederhana yang bagi saya dalam maknanya. Orang boleh berkata atau bertindak apapun, tapi kalau engkau bersikap Don’t take it personally, maka apapun aksi orang lain tidak akan mempengaruhimu. Namun manusia biasanya terpengaruh terhadap apapun ucapan atau tindakan orang-orang yang kita kasihi, kita cintai. Itulah mengapa orang yang paling berpotensi menyakiti kita adalah orang-orang yang dekat dengan kita. Namun paling tidak, dengan memilih sikap Don’t take anything personally terhadap paparan-paparan orang-orang lain akan mengurangi banyak rasa sakit yang tidak perlu.

Dalam menghadapi rasa sakit tersebut, manusia secara alami cenderung untuk menolak rasa sakit, dan menerima rasa sukacita. Ada satu hal yang saya pelajari dari respon manusia menghadapi rasa sakit yakni penolakan terhadap rasa sakit itu.”Denial system” dari diri yang bekerja untuk menolak rasa sakit, atau bahkan berpura-pura bahwa rasa sakit itu tidak ada dengan cara berlari atau menghindar dari rasa sakit tersebut. Saya melihat banyak manusia yang melakukan sistem ini, termasuk saya pun pernah melakukan ini kala diserang rasa sakit.

Lalu bagaimana menghadapi rasa sakit yang memang mengada? Kita sebagai manusia pastilah pernah merasakan sejenis rasa sakit itu. Seperti juga sahabat saya tadi.

Entah kebetulan atau tidak, saya tengah menghadapi rasa sakit juga. Tapi bedanya dengan sahabat saya tadi, saya merasai sakit fisik yakni kaki kanan saya sakit untuk berjalan. Sudah sekitar seminggu, telapak kaki saya terasa sakit bila menapak tegap lurus dengan tanah. Saya sendiri tidak tahu asal muasal kenapa bisa sakit seperti itu. Beberapa hari ini, karena hampir setiap hari saya harus jalan kaki kemana-mana, maka saya “menghindari” rasa sakit itu dengan memposisikan telapak kaki saya tidak benar-benar semua menapak tanah, tapi menumpu pada bagian yang bila saya memposisikan seperti itu tidak terasa sakit. Begitu terus dan terus, saya menghindari rasa sakit saat berjalan, karena di sini fungsi kaki benar-benar terasa  untuk pergi kemana-mana. Tapi ternyata hal itu hanya membuat saya tidak merasa sakit saat berjalan, tapi saat saya kembali memposisikan kaki dengan posisi normal, rasa sakit itu tetap ada. Tidak berkurang sedikitpun.

Saya menjalankan denial system untuk menghindari rasa sakit saya itu. Dan ternyata rasa sakit itu tetap ada. Hari ini saya berkata pada kaki saya, “mari kita hadapi rasa sakit ini”, kemudian berjalan dengan posisi normal. Memang masih sakit, tapi saya tetap dengan posisi itu, menerima rasa sakit. Walaupun tentu saja kecepatan jalan saya tak secepat biasanya, tapi saya belajar menerima rasa sakit tersebut. Apa yang terjadi ternyata mengejutkan, rasa sakit itu berangsur-angsur mereda walaupun masih ada. Mungkin kaki semakin terbiasa, atau entahlah apa yang terjadi tapi saat saya memutuskan untuk menerima dan menghadapi rasa sakit itu, sakit itu justru mereda.

Mungkin hal ini sama hal dengan rasa sakit psikis yang mungkin kita hadapi. Menerima rasa sakit dan menghadapinya, walau mungkin dengan perlahan-lahan. Mungkin akan meredakan rasa sakit, daripada menghindarinya namun tak disadari sakit itu berkerak dan terus berkerak. Sakit itu berkarat, terekam dalam memori yang mudah sekali menganga lagi bila ada kejadian yang memicunya kembali. Belajar menerima rasa sakit, menghadapinya atau mungkin juga kadang membutuhkan pemaafan. Maaf pada orang lain, keadaan dan pastinya maaf terhadap diri sendiri.

Rasa sakit akan hadir kapanpun, belajar merespon rasa sakit akan lebih menentramkan rasanya. Walaupun terkadang apapun pelajaran yang kita rasakan sebelumnya, saat paparan yang lebih besar dan berat datang, kita rasanya lupa seluruh pelajaran sebelumnya. Tapi saya yakin, pelajaran-pelajaran itu akan membuat kita lebih cepat meredakan rasa sakit atau rasa-rasa yang tidak mengenakkan lainnya. Semoga.

Mari terus belajar, bersama.

“Aku tak peduli atas keadaan susah atau senangku karena aku tak tahu manakah di antara keduanya yang lebih baik untukku (Ummar bin Khatab)

Kapan sampai pada rasa yang telah berhasil dirasai oleh khalifah Umar bin Khatab ini? Tidak akan sampai bila kita tidak terus berjalan ke arahnya.

Salam,

Glasgow, 21 Feb 2014.

Selasa, 11 Februari 2014

Apalagi yang Kau Cari? #Sebuah Tanya



Di tengah dunia yang riuh rendah ini, pernahkah kalian ditanya ataupun menanyakan sebuah pertanyaan pada dirimu sendiri? Apalagi yang kau cari?
Bahasan ini tiba-tiba kembali mengemuka saat saya iseng melihat video-video tayangan di Youtube, yang menampilkan talkshow bersama Gede Prama. Saat beliau ditanya oleh pembawa acaranya, dengan pertanyaan, “Apalagi sih yang dicari dari seorang Gede Prama?”
Dan  baris-baris berikutnya adalah jawaban yang begitu mencerahkan. Mungkin kurang lebihnya saya kutip demikian :
            “ Hidup saya dibagi menjadi dua tahap, pencarian ke luar dan pencarian ke dalam. Saya tidak bilang pencarian ke luar tidak bagus, bagus. Saya mencari hal-hal untuk membiayai sekolah anak saya dan lain sebagainya. Namun ada waktunya, saat turning point terjadi..ada rasa berkecukupan. Jadi pertanyaan "apalagi yang dicari" sudah tidak relevan lagi. Semuanya terasa cukup,” begitu jawab beliau dengan suaranya yang teduh.
Saya mengenal cara berpikir dan cara pandang beliau sudah cukup lama. Tepatnya saat studi S2 di Jogya saya banyak membaca dan mengoleksi buku-buku beliau. To be honest, saya bukan seorang yang terlalu religius, tapi semenjak dulu memang selalu haus dengan hal-hal pencarian spiritual. Sejak dulu saya merasa bahwa saya butuh untuk belajar untuk memahami hal-hal yang tidak nampak di permukaan. Hal-hal di samping rutinitas dan tuntutan stigma masyarakat, tentang pencarian makna hidup, tentang kebahagian, tentang nilai sukses. Bukan untuk sok-sokan, tapi lebih untuk usaha untuk mengenal diri sendiri. Setiap diri, ada raga, ada pula jiwa. Saya ingin belajar menghidupi keduanya dengan seimbang. Selain belajar dari pengalaman, tentu saja saya belajar dari buku-buku dan dari orang-orang lain. Itulah kenapa saya suka membacai karya Paulo Coelho, menyimak kalimat-kalimat pencerah Gede Prama ataupun telaah-telaah dari Bapak Quraish Shihab. Hidup ini adalah belajar dan belajar, termasuk belajar untuk mengenal dan mengerti diri sendiri.
Saat tahun demi tahun terlewat, saat kejadian demi kejadian dalam hidup berjalan, diri juga bertumbuh.
Apalagi kau cari?
Gelar, Materi, status..?  Ada banyak hal-hal yang bila kita lihat dari nilai substansi akan membawakan sudut pandang yang berbeda.
            “Pa, what do you term by happiness?” begitu tanya putri Gede Prama, saat beliau bercerita.
       “ Inner Contentment, juga pada rasa berkecukupan, saya merasa sangat berkecukupan, sehingga pertanyaan apa yang dicari sudah tidak lagi relevan. Tugas saya berikut adalah berbagi pada orang lain,” jawab beliau.
Ah, sungguh menentramkan dan mencerahkan. Rasa berkecukupan bukan berarti semuanya telah dimiliki, tapi terletak pada rasa syukur dan penerimaaan yang dalam. Sungguh saya ingin sekali belajar untuk mencapai tahapan tersebut.
Tuhan telah memberikan banyak sekali anugerah pada saya. Apalagi yang saya cari? Tanya saya pada diri saya sendiri.
Pasangan? Anak? Rumah? Materi? Karir? Kesuksesan? Apalagi..tidak pernah cukup. Dunia tidak sempurna bila harus sesuai dengan semua apa yang kita inginkan. Tapi dunia sempurna bila disertai dengan penerimaan, dengan rasa berkecukupan.
Saya dikaruniai Tuhan bertemu dengan seseorang yang penuh kasih, menemukan cinta, dan membuat saya merasa bahagia lebih dari apa yang pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya dititipi anak-anak yang walaupun bukan lahir dari rahim saya, tapi telah dianggap ibu. Ibu yang belajar mendengarkan apa-apa yang mungkin mereka sungkan untuk berbicara pada ibu mereka, semoga memberikan pembelajaran bagi saya untuk menjadi ibu dari anak-anak saya kelak, bila diberikan titipan Tuhan. Rumah, secara fisik saya belum mempunyai rumah fisik yang tetap tapi Tuhan memberi saya rumah dimana-mana. I’m home, I’m home. Rumah hati saya. Saya diberikan keluarga yang hangat yang selalu menjadi tempat yang nyaman untuk pulang, sahabat-sahabat yang pengertian dan perhatian. Ada banyak sekali anugerah-anugerah lain dari Tuhan  yang terlalu banyak untuk saya sebutkan. Tuhan sungguh Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang. Kalimat yang sering kita sebut-sebut dalam ayat-ayat kitab suci itu mungkin akan lebih terasa bila lebih dipahami dalam jalur-jalur pengalaman, “mengalami” dan menyadari.
Hari ini saya kembali diingatkan untuk belajar mencukupkan, belajar penerimaan, belajar untuk bersyukur. Tugas saya selanjutnya adalah membayar kasih-kasih semesta yang telah diberikan pada saya. Mengabdi pada bumi ini, pada sang Pencipta semesta ini.
Salam

Glasgow, 11 Februari 2014.

Kamis, 06 Februari 2014

Mari Mencicipi Tahu Campur



Saya penggemar berat masakan Indonesia, jadi masakan-masakan yang sering saya coba juga sebagian besar masakan Indonesia. Lidah nggak bisa bohong, mungkin kalimat itu ada benarnya. Lidah dan perut saya walaupun sudah menjelajah kemana-mana, tetap saja selera Indonesia. Seperti juga resep kali ini, super Indonesia banget. Ada yang menyebutnya tahu masak, tahu campur, atau berbagai macam nama-nama lainnya. Saya mungkin lebih ingin menamainya tahu campur, karena tahu dicampur campur ehehe.
Dulu di Indonesia juga saya sering membuatnya, dengan bahan-bahan yang sangat mudah didapat. Namun di Glasgow, kadang-kadang membeli bahan-bahannya yang tidak bisa sewaktu-waktu. Beli tahu naik bis ke city center ehehe. Sebenarnya untuk membuat tahu campur ini sangat sederhana dan simpel.
Bahan-Bahannya :
1  Tahu putih, dipotong dadu kemudian direndam dalam air garam+bawang putih sekitar 5 menit, lalu digoreng sampai kekuningan
2. Kentang dikukus, kemudian dipotong dadu
3. Telur direbus dengan dibubuhi sedikit garam, kemudian kupas kulitnya dan dipotong sesuai selera
4. Kecambah direbus sebentar saja, ditambah garam sedikit untuk perasa
5. Boleh ditambah bahan-bahan lain seperti tempe dipotong dadu, direndam bumbu garam+bawang lalu digoreng kekuningan. Bisa juga wortel, direbus dan dipotong sesuai selera. Pokoknya paduan yang pas boleh dicampurkan, namanya saja tahu campur.
Bumbu yang dihaluskan :
1. Kacang tanah yang digoreng
2. Bawang putih
3. Cabe rawit merah
4. Gula merah
5. Garam

*berapa banyaknya sesuai selera masing-masing ya ahaha *disambit yang baca
 Bumbu dihaluskan kemudian dicampur dengan air panas sampai encer.
 Cara penyajian :
Tata bahan-bahannya di piring kemudian tambahkan bumbu yang sudah diencerkan, kemudian tuangkan kecap sesuai selera. Taburi dengan bawang goreng (di fotonya bawang gorengnya kelupaan ahaha, sudah keburu lapar).
Mudah bukan? Saya sih suka membuat tahu campur ini sebagai variasi menu, maklum di Glasgow nggak ada abang-abang keliling jualan bakso, siomay, tahu campur, mie ayam dll hihi. Oh ya salah satu tips kalau ribet bikin bumbu halusnya, bisa pakai sambel pecel. Biasanya saya encerkan sambel pecel, kemudian ulek bawang putih dan cabai rawit mentah kemudian tambahkan pada bumbu pecel tersebut. Bawang putih dan cabai rawitnya mentah ya, jangan digoreng karena menurut saya rasa tahu campur yang khas adalah bumbunya yang merupakan paduan aroma cabe rawit mentah dan bawang putih tersebut.
Demikian resep sederhana dari dapur Hillhead.
Sajikan masakan istimewa penuh cinta untuk orang-orang tercinta kita.
Salam,
Glasgow, 6 Februari 2014
#Plate of Love-#Resep dari dapur  Hillhead

Berasa Editor # Lagi-lagi tentang Passion



You can never run from your passion, or lie to yourself what your passion is  (@neynarahma)
Lagi-lagi bahasan tentang passion, iyah karena mungkin dengan itulah hidup seseorang terasa hidup. Saya menyaksi orang-orang yang hidup mengerjakan passionnya, dan juga mengamati orang-orang yang menjalani rutinitasnya yang hambar. Ada gurat yang berbeda, ada rasa yang tak sama. Begitu juga diri saya sendiri, saya tak pernah ingin membohongi rasa saya sendiri.
Siapa yang paling tahu kapan saat kita merasa berdaya? diri kita sendiri. Kapan kita merasa mempunyai kemauan dan kemampuan terhadap satu hal? Tentang hal-hal yang kita lakukan tanpa peduli dibayar atau tidak, kadang-kadang jadi lupa waktu, tapi ada selusup rasa bahagia tak biasa yang mengada. Itulah passion.
Rasa inilah yang terus menarik-narik saya untuk terus menghidupi passion saya. Salah satunya mencobai rasa baru dalam dunia kepenulisan yakni menjadi editor. Tawaran yang saya dapatkan saat sedang berada di Maroko dari sahabat lama saya dari Fakultas ilmu Budaya UGM yang sekarang bekerja di Gramedia,itu lekas-lekas saya iyakan, ehehe kesempatan langka untuk belajar merasa menjadi editor, di penerbit yang sudah ternama pula. Pernah jadi editor? Belum pernah sama sekali. Tapi memang saya kebanyakan nekad ahaha, kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Lagian juga saya sangat menikmati kalau ada kerjaan-kerjaan menyangkut tulis menulis. Maka kemudian sahabat saya tersebut memilihkan genre tulisan yang kira-kira pas untuk editor pemula seperti saya. Sebuah naskah berjudul “Call it Love” tanpa nama penulis dikirim ke email saya untuk diedit.
            “Itu beberapa halaman udah diedit, coba dipelajari dulu, lalu kamu coba edit halaman-halaman selanjutnya, ntar aku lihat,” kata sahabat saya itu. Beberapa file tentang editing juga dikirimkan via email. Wah benar-benar langsung praktik ngedit langsung. Awalnya lumayan kaku juga, karena belum terbiasa. Masih bimbang untuk mengoreksi kalimat, apalagi isinya. Beberapa halaman kuedit berkali-kali dan kukirim hasilnya.
            “ Udah oke kayaknya, lanjut aja..cuman kalau ada ini..bla bla..diganti...” itu komentar sahabat saya pas pertama kali saya kirim hasil editan saya. Saya banyak belajar menggunakan bahasa baku, dan baru sadar juga walaupun naskah metro-pop tetap juga menggunakan bahasa baku. Dengan merujuk pada KBBI, saya baru ngeh juga kata-kata yang saya anggap benar ternyata nggak baku dalam KBBI. Seperti kata “pengen” seharusnya “pengin” lalu “enggak” seharusnya “nggak” dan masih banyak kata-kata lainnya. Termasuk bagaimana menghilangkan kata-kata redundant agar lebih efektif, misalnya “masuk ke dalam taksi”, dengan menghilangkan kata tanpa mengurangi arti. Yang lebih penting lagi adalah mengedit konten/isi. Bagaimana alur cerita, serta adegan-adegannya logis atau tidak. Semakin lama mengedit semakin berani untuk main coret-coret di dokumen Word menggunakan track changes.
Ternyata memang rasa menjadi penulis dan menjadi editor berbeda. Biasanya menulis dengan sekehendak hati, kadang sulit untuk mencermati detail-detail kesalahan tulisan sendiri, tapi menjadi editor kita dituntut untuk mengoreksi kesalahan tulisan karya orang lain. Tentu saja ini pengalaman berharga sekaligus belajar mengedit yang menyenangkan. Saya masih ingat saat mengedit “Call it Love” ini saya sampai lembur-lembur karena ingin mengulang dan mengulangi membaca lagi. Tiap kali dibaca, ketemu lagi kesalahan-kesalahan yang ingin diperbaiki, begitu berulang-ulang. Dan kualitas editan yang penuh konsenstrasi itu paling hanya bisa bertahan 2-3 jam, selebihnya sudah nggak fokus karena kelelahan. Mata lelah karena harus menelusuri kata satu demi satu, sampai titik koma, jarak spasi, dan printilan-printilan tulisan harus dilihat. Selain itu otak juga lelah karena harus terus berpikir ehehe jadi biasanya setelah 3 jam, lebih baik naskah ditutup dulu. Tapi rasanya kerja seperti itu sangat menyenangkan, ada rasa bahwa saya ingin mengerjakan sebaik baiknya, tanpa beban, justru dengan antusiasme yang besar.Dan akhirnya, pertengahan Februari nanti buku hasil editan saya akan lahir. Saat melihatnya di website Gramedia, saya baru tahu nama penulisnya dan cukup suka dengan desain covernya. Ada kepuasan sendiri saat melihat buku ini lahir, walaupun bedanya kalau menjadi penulis ada nama kita yang tertera di covernya, sedangkan editor menjadi orang di balik layar karya seseorang.
Pengalaman ini saya merasakan kerja yang nggak berasa kerja, tapi dapat duit ahaha. Mungkin ini rasanya kalau kerja di bidang yang disukai, saya rasanya hanya ingin menghasilkan karya yang terbaik yang saya bisa, plus ada honornya pula. Sebagai penulis juga begitu sih, dulu ada karya yang model “jual putus” artinya dibeli tanpa royalti, ada pula karya yang dicetak masal dan saya jual sendiri, sekaligus masih dibantu dijual oleh penerbit. Sampai sekarang ini saya masih kadang menerima notifikasi transferan dari LeutikaPrio hasil royalti buku saya, Koloni Milanisti.
Tapi terlepas dari nilai honor atau uangnya, kepuasan bekerja, berkarya adalah candu yang tak ada habisnya. Inilah passion saya, dan sangat menikmatinya. Saya memang bekerja di bidang science, tapi tetap menghidupi passion saya di dunia kepenulisan. Kita bisa melakukan banyak hal kok, dengan berkarya sebagai wujud syukur atas detik hidup yang diberikan Tuhan.
Salam
Glasgow, 5 Februari 2014.