Rabu, 24 September 2014

Di Balik Punggungmu



Sejak bertahun lalu, aku selalu suka menebak-nebak, apa yang ada di balik punggungmu
Kala kau mulai berjalan penuh rahasia dengan satu tangan di belakang punggungmu,
Seulas senyum itu seakan berkata : "Tebak, apa yang kubawa di balik punggungku?"
Kau selalu suka kejutan,
Dan kau juga mencandu binar di mataku saat melihat uluran tangan yang tadinya di balik punggung itu,
Rahasia di balik punggung itu bisa berupa-berupa
Sebungkus paket ayam goreng yang masih panas,
Bebek Szechuan dan Tom Yam
Atau sekotak nasi goreng telur buatanmu,
Kau pasti mengira, apa yang ada di balik punggungmu itulah yang membuat binar di mataku
Tapi kau salah mengira,
Karena kaulah sebenarnya, kejutan hidup yang tak ada habisnya

 Glasgow, 23 September 2014.

Selasa, 23 September 2014

Glasgow, Rumah Hati




“ I miss the way of life-nya Glasgow, sederhana, simple, independent,” ujar sahabatku yang baru saja pulang ke Indonesia. Dia kangen berat dengan Glasgow, dengan cara hidupnya di Glasgow yang sederhana, enggak ruwet dan bahagia. Saya paham benar yang dia rasakan, walaupun belum merasakannya. Apalagi dia pulang ke Jakarta yang ruwet dengan macetnya, dengan distraksinya. Saya saja yang akan pulang bekerja di Purwokerto yang tergolong kota kecil juga masih belum kebayang caranya beradaptasi nanti.
“ They don’t feel what I feel, How can they put blame on me? Stress aku dengan judgement-judgement mereka,” hiyaaah, welcome dengan distraksi ala Indonesia. Sahabat saya itu didera shock culture setelah kembali ke Indonesia.
Yah, mungkin memang sahabat saya sedang berada dalam masa adaptasi. Namun bukan hanya dia yang mengalami fase seperti itu, sahabat saya dari Australia juga sering kali menyatakan betapa rindunya dia pada Australia, pada sahabat ataupun supervisornya. Saya pun sempat kaget dengan pernyataan teman seperjalan saat jalan-jalan ke Dunoon dengan bilang,
            “ If I have to choose, I prefer to live here,” ujarnya. Saya sempat memandang wajahnya sejenak, apakah ia serius atau tidak. Untuk saya, senyaman-nyamannya hidup di sini, saya tetap ingin pulang ke Indonesia untuk meneruskan hidup. Walaupun mau meninggalkan Glasgow kok rasanya berat amat yaaa..ahaha trus gimana dong? ;p
Iyah, seperti sahabat saya yang baru pulang ke Indonesia tadi. Dia kehilangan ritme selama hidup di Glasgow. Ritme hidup yang simpel. Masak, kuliah, makan, kumpul-kumpul bareng, pengajian, jalan-jalan.
            “It’s time to face reality,” kata sahabat saya lainnya yang baru senin kemarin. Reality? Walaupun saya paham maksudnya, namun hidup di Glasgow juga kenyataan.
Hidup di Glasgow  terasa lebih tenang, itu mungkin yang akan sangat saya rindukan. Tenang dalam artian secara suasana kotanya, juga suasana batiniyahnya. Hidup di sini cenderung minim distraksi. Coba saja hindari hp, nggak nyentuh laptop untuk internetan selama sehari aja, udah berasa kayak di dunia yang lain. Distraksi itu paling baru muncul kala terhubung internet, membacai berita online dan media sosial.
Saya juga banyak mempunyai waktu luang untuk me-time, untuk mengeksplor menu masakan, untuk menulis dan aktivitas-aktivitas lainnya yang akan sulit dilakukan di Indonesia kala sudah berkutat dengan pekerjaan.
Iya, ada rasa takut kehilangan dengan apa yang tengah saya jalani sekarang. Rasa yang wajar, dan mungkin saya tengah berada pada zona nyaman. Walaupun begitu, tak pula menampik kenyataan bahwa hidup di luar negeri itu tidak mudah. Kita kehilangan momen kebersamaan dengan keluarga yang jauh di tanah air, sahabat-sahabat tercinta, lalu mendengar kepergiaan saudara-saudara terdekat tanpa bisa melihat untuk terakhir kalinya. Tentu saja saya pun harus menghadapi itu semua.
Tapi secara keseluruhan hidup di Glasgow adalah seperti tengah menjalani hidup yang tenang seperti pertapa, walaupun sebenarnya penuh dengan peperangan. Saya sadar waktu saya tidak lama, dan ingin sekali menjalaninya dengan sebaik baiknya, mencipta kenangan sebanyak yang saya bisa.  Setelah mendengar cerita sahabat-sahabat saya yang telah pulang ke Indonesia, saya semakin disadarkan untuk lebih banyak bersyukur dan menikmati hidup di sini dengan lebih baik lagi. Glasgow, telah menjadi rumah hati saya.
Now, just enjoy your every single moment in Glasgow, it’s really precious,” text wa berikutnya dari sahabat saya itu. Saya sadar kalimatnya benar, dan itulah yang sering saya rasakan. Kalian tahu bagaimana rasanya rindu bahkan sebelum pergi?
Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa rindu bukan soal jarak. Dulu saya berpikir, rindu tercipta karena lama tak bertemu, karena jarak yang jauh.
Teryata saya salah.
Karena rindu masih saja bisa tercipta, bahkan baru saja bertemu muka.
Dan rindu bisa mengada,  bahkan saya saat masih menginjak daratannya.

23 September 2014. Glasgow menjelang senja

Edinburgh, The Heart of Scotland



 Hawa dingin langsung menyergap saat bis Citylink yang kami tumpangi merapat di Edinburgh Bus Station.  Syal hangat dan sarung tangan segera kami kenakan karena musim dingin masih belum juga usai. Kali ini kami akan jalan-jalan di jantung negara Skotlandia yang merupakan negara bagian dari United Kingdom (UK). Kota Edinburgh yang kami kunjungi ini merupakan ibu kota Skotlandia dan kota kedua berpenduduk terbanyak di negara bagian tersebut. Penjelajahan kota Edinburgh kami mulai dari titik yang tidak jauh dari tempat-tempat wisata kota jelita ini. Stasiun bis maupun Waverley Station (stasiun kereta api) Edinburgh terletak di jantung kota yang memudahkan wisatawan untuk bisa segera berjalan-jalan ke berbagai objek wisata pilihan. Dan asiknya cara menjelajah kota ini cukup dengan jalan kaki. Yah, dengan jalan kaki kita bisa berpindah-pindah dari satu objek wisata ke objek lainnya. Jadi pastikan kalian memakai sepatu yang nyaman dipakai ya untuk bisa menjelajahi kota ini.
            Humm, salah satu pilihan yang sulit yang harus ditentukan adalah mau kemana saja di Edinburgh. Kenapa begitu? Karena kota yang dibagi menjadi dua bagian yakni Old Town dan New Town ini termasuk UNESCO World Heritage Site yang mempunyai banyak sekali destinasi wisata yang menarik. Bila kalian mengunjungi kota ini dengan waktu yang terbatas,  pastikan objek-objek wisata yang MUST TO SEE harus ada di daftar kalian.
Magisnya Kastil Edinburgh
Mengunjungi kastil Edinburgh adalah tujuan destinasi utama para wisatawan yang jalan-jalan ke Edinburgh. Untuk sampai ke tempat ini, cukup dengan jalan kaki dari bus stasiun mengikuti peta yang dengan gratis bisa didapatkan di bus station ataupun di tourist information center. Kali ini kami memutuskan untuk langsung menuju Kastil Edinburgh yang legendaris itu. Kami berjalan mengambil jalan melewati Princess Street Garden, serupa taman yang letaknya mengarah ke arah kastil. Setelah mendekati lokasi, sambil berjalan kaki kita sudah bisa melihat betapa magisnya kastil Edinburgh di kejauhan. Kastil yang dulunya merupakan benteng pertahanan ini memang mendominasi skyline kota historik ini. Nah, setelah mendekati arah kastil jangan lupa mengambil foto di Princess Street Garden dengan latar belakang kastil Edinburgh yang nampah gagah di atasnya.  Pemandangan ini sangat familiar di berbagai kartu pos ataupun di majalah-majalah travel karena latar belakangnya yang menawan. Setelah sampai di kastil Edinburgh, kami segera menghampiri bagian ticketing. Karena kami semua anggota Historic Scotland (semacam kartu keanggotaan yang memungkinkan gratis masuk tempat-tempat wisata dengan biaya keanggotaan relatif murah) maka kami cukup menunjukkan kartu Historic Scotland saja pada petugas. Sebagai informasi, bila harus membayar, tiket masuk ke Kastil cukup mahal yakni 16 Poundsterling per orang untuk dewasa

Berlatar Kastil Edinburgh

Kastil ini dulunya pernah ditinggali beberapa kerajaan Skotlandia, di antaranya Queen Margaret yang akhirnya meninggal di kastil ini Tahun 1093 and Mary Queen of Scots yang melahirkan James IV di Royal Palace Tahun  1566. Di dalam kastil yang sangat gigantis ini, terdapat banyak pilihan-pilihan tempat yang bisa dilihat. Wah bisa seharian lho kalau mau muterin seluruh venue yang ada di kastil ini. Ada Royal Palace, yakni semacam tempat tinggal anggota kerajaan saat kastil ini masih dihuni, kemudian ada Crown Jewels dimana kita bisa melihat koleksi mahkota-mahkota kerajaan, atau kita bisa melihat sejarah dan benda-benda peninggalan perang di National War Museum, serta kondisi penjara jaman dahulu  di Prison of War dan tempat-tempat lainnya. Pokoknya bila kalian mau mengunjungi satu demi satu venue yang ada di sana, lumayan menghabiskan waktu tapi tentu saja menyenangkan, karena selain tempatnya yang indah juga banyak pengetahuan yang bisa didapatkan.
Calton Hill, Pesona Edinburgh dari Ketinggian
Setelah puas mengelilingi Kastil Edinburgh, kami berpindah ke objek wisata yang lain yakni Calton Hill. Tempat ini juga termasuk tempat yang harus disinggahi bila ke Edinburgh. Keistimewan tempat ini yakni kita berada di ketinggian yang memungkinkan untuk melihat jelitanya Edinburgh dari atas. Untuk mencapai Calton Hill memang cukup melelahkan karena harus melewati jalan yang mendaki. Tapi begitu sampai di atas pasti rasa lelahnya terbayar segera berganti dengan decak kagum keindahan yang ada di depan mata. Begitu saya dan rekan-rekan sampai di atas, rasanya mata begitu dimanjakan dengan pemandangan di sekitar serta di bawah kami karena posisi kami yang seperti di atas bukit. Nampaklah pemandangan Edinburgh dari atas, berderet deret bangunan sejarah, jalan-jalan maupun Kastil Edinburgh juga terlihat dari tempat ini. Sungguh pengalaman yang sulit terlupakan. Semilir angin, ketinggian, pemandangan panoramik merupakan kombinasi rasa yang begitu mengesankan bagi saya.

Calton Hill

Calton Hill ini terletak di sebelah timur Princess Street dan merupakan kantor pusat pemerintahan Skotlandia yang bergedung di St Andrews House.  Di perbukitan Calton Hill ini terdapat berbagai monumen dan bangunan yang menjulang gagah di puncah bukit seperti Dugald Steward Monument, National Monument, Nelson Monument, Robert Burns Monument dan City Observatory. Saya dan rekan-rekan kemudian asik menjejalahi tempat ini dengan tidak lupa juga mengambil gambar dengan latar belakang pemandangan yang cantik itu. Bangunan historik yang berusia ratusan tahun, perbukitan hijau dan ketinggian membuat kami begitu lena dengan suasana yang sulit tergantikan oleh tempat lain.
Mencoba Kostum Bangsawan di The Museum of Edinburgh
Nah, setelah lelah mendaki di perbukitan Calton Hill, kini saatnya kami berwisata santai namun penuh pengetahuan di Museum of Edinburgh. Letaknya tidak jauh dari Calton Hill, hanya turun dari bukit kemudian berjalan mengikuti peta yang kami dapat dari tourist information sekitar 15-20 menit. Nah untungnya lagi untuk masuk museum ini gratis. Tentu saja ini sangat menyenangkan, karena kebanyakan museum di Skotlandia berbayar.   Museum ini buka hari Senin-Sabtu dari jam 10-5 sore, serta minggu jam 12-5 sore (hanya di Bulan Agustus). Di Museum ini kita bisa melihat sejarah kota Edinburgh dari jaman dahulu sampai kini baik tentang kotanya, kebudayaan orang-orangnya, kerajinan-kerajian serta benda-benda antik lainnya. Koleksi-koleksi sejarah tersusun rapi per ruang dengan tata letaknya yang menarik. Wisata museum terdengar tidak terlalu menarik bagi orang Indonesia. Tapi cobalah mengunjungi museum-museum yang dikelola dengan baik seperti Museum of Edinburgh ini. Bukan hanya pajangan-pajangan benda saja, namun juga dilengkapi video, perlengkapan audio visual serta gift shop di ground floor yang menawarkan souvenir-souvenir cantik yang siap sebagai buah tangan. Nah serunya, di museum ini kita bisa mencoba kostum-kostum bangsawan dan berfoto dengan mengenakan kostum ini. Wah seru banget, kita bisa jadi putri-putri ataupun pangeran-pangeran kerajaan dan berfoto lucu. Jangan khawatir, semuanya gratis disediakan untuk pengunjung. Nah, fasilitas ini pasti bisa dijadikan oleh-oleh foto yang mengesankan pastinya.

Bergaya ala kostum Skotlandia

Berburu Oleh-Oleh
Membawa oleh-oleh dari jalan-jalan sepertinya menjadi salah satu keharusan bagi kita. Paling tidak ada pernak pernik yang kita bawa pulang selain foto-foto tentu saja. Di Edinburgh, kita bisa berburu souvenir di sekitar Princess Street daerah city centre dimana banyak toko-toko souvenir yang berjajar sepanjang jalan. Ada banyak variasi pilihan dari gantungan kunci, magnet kulkas, kartu pos, miniatur kastil Edinburgh, miniatur bagpipe (alat musik tradisional Scotland), kilt (rok khas skotlandia) ataupun scarf tartan. Harganya pun cukup terjangkau jadi kita bisa memilih milih oleh-oleh untuk kita bawa pulang sebagai kenang-kenangan. Karena kantong kami yang cekak, maka kami hanya membeli souvenir yang masih tergolong murah seperti gantungan kunci.
Whooops ngintip Kilt

Pesona Edinburgh, Apalagi?
Bila kalian masih punya banyak waktu untuk menjelajahi Edinburgh, kalian bisa mencoba mendaki di Arthur Seat yang memungkinkan untuk melihat Edinburgh dari puncak tertinggi. Atau bila mau berfoto dengan kostum tradisional Scotland seperti mengenakan Kilt (rok tartan khas Skotlandia), ada jasa penyewaan kostum dan foto yang pasti sangat unik untuk dipajang di rumah. Kalau tertarik dengan wisata alam ada juga Edinburgh Botanical Garden dengan berbagai macam koleksi tanaman dan tempat edukasi yang menarik. Selain itu, ada University of Edinburgh dengan bangunan-bangunan antiknya yang seru untuk dikunjungi. Memang tak cukup sehari untuk menjelajahi pesona kota ini, namun kalian bisa memilih destinasi yang cocok bagi kalian untuk merasai detak jantung Skotlandia yang sebenarnya. Yah detak jantung peradaban yang berpacu dengan waktu. Edinburgh, The Heart of Scotland.***

(Artikel lama-Siwi Wijayanti)
 Menulis-Merapikan kenangan

Senin, 22 September 2014

September dan Perubahan





Daun-daun sudah mulai berubah warna dan berguguran dimana-mana, ternyata sudah mulai memasuki musim gugur. September sudah berada di pertengahan, cepat sekali. Mungkin waktu berjalan begitu cepat kala kita merasa bahagia? Ah entahlah. Persepsi saya tentang waktu seringkali masih ambigu.
September beberapa tahun belakangan ini selalu menandai perubahan-perubahan yang cukup besar dalam hidup saya. Dan tak ketinggalan tahun ini juga. Mungkin manusia memang selalu butuh perubahan, kebaruan-kebaruan. Oleh karena itu Tuhan menyiapkan perubahan-perubahan di sepanjang jalan. Pernahkah dirimu mencemaskan perubahan yang akan terjadi sekaligus juga cemas bila hidupmu berjalan biasa-biasa saja, rutin dan stagnan? Manusia memang selalu dipenuhi kecemasan-kecemasannya sendiri, peperangannya sendiri-sendiri. 
Glasgow bagi saya sudah seperti rumah, begitupun rutinitas harian yang tiap hari rasanya sudah terbiasanya saya jalani. Memasuki tahun keempat studi doktoral saya, bulan ini lab saya akan berpindah tempat. Biasanya jarak yang saya tempuh dari flat ke lab hanya dalam waktu 15 menit saja, namun mulai tanggal 26 September nanti harus naik bis sekitar 30 menit heuheu. Ceritanya memang sejak tahu lalu, departemen saya membangun gedung baru di Garscube dan nantinya Centre for Virus Research akan berpindah ke sana. Tentu saja perubahan ini akan merubah kebiasaan-kebiasaan saya terutama kabur saat jam makan siang ehehe. Karena jarak lab dan flat yang dekat, jadi biasanya saya kabur pulang ke flat untuk makan siang, atau cuacanya  bagus bisa kabur ke taman untuk makan.
Tentu saja kebiasaan-kebiasaan itu akan berubah nanti saya lab saya sudah pindah. Kemudian lagi, buntuk budjet bulanan sekarang harus bertambah dengan transportasi dari flat ke lab yang harus menggunakan bis. Paling tidak harus membeli tiket bis bulan seharga 45 pounds, heuheuu lumayan juga. Saya sebenarnya pernah mengecek rute menuju ke sana, untuk memperkirakan apakah tracknya bisa ditempuh menggunakan sepeda, tapi sayangnya selain jaraknya yang jauh juga tracknya yang menanjak sehingga akan sangat melelahkan bila ke sana menggunakan sepeda.

Pemandangan di belakang lab baru saya lumayan juga--Foto diambil pas musim panas, jadi daun-daunnya masih ijo royo royo

Perubahan lainnya yang terjadi di bulan September ini tentu saja sahabat-sahabat yang datang dan pergi. Beberapa sahabat dekat sudah merampungkan studi masternya dan pulang ke Indonesia. Setahun belakangan ini terasa sangat berwarna dengan kehadiran mereka dan tentu saja ada rasa kehilangan saat mereka kembali ke Indonesia. 
 
Mengantar Mona ke Bandara..kehilangan temen ngumpul, masak dan makan bareng
Selain itu, Glasgow juga kebanjiran mahasiswa-mahasiswa baru yang datang ke Glasgow untuk kuliah. Beasiswa LPDP yang tengah naik daun itu sukses membawa banyak anak-anak bangsa untuk bisa kuliah di Glasgow. Anak-anak muda yang rata-rata baru lulus S1 sudah bisa kuliah S2 di luar negeri dengan beasiswa, hal yang agak susah dulu ditemukan beberapa tahun yang lalu.
Dan tentu saja September adalah saat daun-daun yang berubah warna, cuaca sudah mulai mendingin menandakan musim gugur tiba.
Lalu saya, apa yang berubah dari saya?
Ah perubahan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan menghadapinya adalah bergerak seiring dengan perubahan. Dan untuk terus bergerak dibutuhkan manusia-manusia pemberani.
Beranilah

Glasgow, 22 September 2014.