Selasa, 23 September 2014

Glasgow, Rumah Hati




“ I miss the way of life-nya Glasgow, sederhana, simple, independent,” ujar sahabatku yang baru saja pulang ke Indonesia. Dia kangen berat dengan Glasgow, dengan cara hidupnya di Glasgow yang sederhana, enggak ruwet dan bahagia. Saya paham benar yang dia rasakan, walaupun belum merasakannya. Apalagi dia pulang ke Jakarta yang ruwet dengan macetnya, dengan distraksinya. Saya saja yang akan pulang bekerja di Purwokerto yang tergolong kota kecil juga masih belum kebayang caranya beradaptasi nanti.
“ They don’t feel what I feel, How can they put blame on me? Stress aku dengan judgement-judgement mereka,” hiyaaah, welcome dengan distraksi ala Indonesia. Sahabat saya itu didera shock culture setelah kembali ke Indonesia.
Yah, mungkin memang sahabat saya sedang berada dalam masa adaptasi. Namun bukan hanya dia yang mengalami fase seperti itu, sahabat saya dari Australia juga sering kali menyatakan betapa rindunya dia pada Australia, pada sahabat ataupun supervisornya. Saya pun sempat kaget dengan pernyataan teman seperjalan saat jalan-jalan ke Dunoon dengan bilang,
            “ If I have to choose, I prefer to live here,” ujarnya. Saya sempat memandang wajahnya sejenak, apakah ia serius atau tidak. Untuk saya, senyaman-nyamannya hidup di sini, saya tetap ingin pulang ke Indonesia untuk meneruskan hidup. Walaupun mau meninggalkan Glasgow kok rasanya berat amat yaaa..ahaha trus gimana dong? ;p
Iyah, seperti sahabat saya yang baru pulang ke Indonesia tadi. Dia kehilangan ritme selama hidup di Glasgow. Ritme hidup yang simpel. Masak, kuliah, makan, kumpul-kumpul bareng, pengajian, jalan-jalan.
            “It’s time to face reality,” kata sahabat saya lainnya yang baru senin kemarin. Reality? Walaupun saya paham maksudnya, namun hidup di Glasgow juga kenyataan.
Hidup di Glasgow  terasa lebih tenang, itu mungkin yang akan sangat saya rindukan. Tenang dalam artian secara suasana kotanya, juga suasana batiniyahnya. Hidup di sini cenderung minim distraksi. Coba saja hindari hp, nggak nyentuh laptop untuk internetan selama sehari aja, udah berasa kayak di dunia yang lain. Distraksi itu paling baru muncul kala terhubung internet, membacai berita online dan media sosial.
Saya juga banyak mempunyai waktu luang untuk me-time, untuk mengeksplor menu masakan, untuk menulis dan aktivitas-aktivitas lainnya yang akan sulit dilakukan di Indonesia kala sudah berkutat dengan pekerjaan.
Iya, ada rasa takut kehilangan dengan apa yang tengah saya jalani sekarang. Rasa yang wajar, dan mungkin saya tengah berada pada zona nyaman. Walaupun begitu, tak pula menampik kenyataan bahwa hidup di luar negeri itu tidak mudah. Kita kehilangan momen kebersamaan dengan keluarga yang jauh di tanah air, sahabat-sahabat tercinta, lalu mendengar kepergiaan saudara-saudara terdekat tanpa bisa melihat untuk terakhir kalinya. Tentu saja saya pun harus menghadapi itu semua.
Tapi secara keseluruhan hidup di Glasgow adalah seperti tengah menjalani hidup yang tenang seperti pertapa, walaupun sebenarnya penuh dengan peperangan. Saya sadar waktu saya tidak lama, dan ingin sekali menjalaninya dengan sebaik baiknya, mencipta kenangan sebanyak yang saya bisa.  Setelah mendengar cerita sahabat-sahabat saya yang telah pulang ke Indonesia, saya semakin disadarkan untuk lebih banyak bersyukur dan menikmati hidup di sini dengan lebih baik lagi. Glasgow, telah menjadi rumah hati saya.
Now, just enjoy your every single moment in Glasgow, it’s really precious,” text wa berikutnya dari sahabat saya itu. Saya sadar kalimatnya benar, dan itulah yang sering saya rasakan. Kalian tahu bagaimana rasanya rindu bahkan sebelum pergi?
Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa rindu bukan soal jarak. Dulu saya berpikir, rindu tercipta karena lama tak bertemu, karena jarak yang jauh.
Teryata saya salah.
Karena rindu masih saja bisa tercipta, bahkan baru saja bertemu muka.
Dan rindu bisa mengada,  bahkan saya saat masih menginjak daratannya.

23 September 2014. Glasgow menjelang senja
Previous Post
Next Post

0 Comments: