Bandara, terminal, stasiun seringkali menyaksi betapa
terkadang aku duduk dengan cemas, sesekali memandang papan elektronik
kedatangan. Menanti detik demi detik, peristiwa kedatangan. Kedatanganmu.
Memangnya ada yang lebih istimewa daripada itu?
Apalagi setelah jarak dan waktu memberikan sekat pada
kita. Lalu apa yang lebih membahagiakan dari pada sebuah pertemuan?
Apakah
pesawatmu landing dengan selamat? Apakah bismu datang tepat waktu?
Kecemasan-kecemasan semacam itu berloncatan di pikiranku.
Tapi sebenarnya ada pula hal lain yang kucemaskan. Will I still know you? Will you still know
me?
Apakah
aku masih “mengenali”mu? Dan begitulah, saat seperti itu akan
meloncatkan sejenis perasaan yang aneh. Campuran antara rasa luar biasa bahagia
ketika jarak tak lagi menjadi sekat, tapi juga ada rasa aneh yang menyelusup.
Perubahan-perubahan apa saja yang terjadi kala kita tak bersama sama pada
tempat yang sama?
Seperti sering kali kubilang, aku tak pernah cemas pada
jarak, aku hanya cemas pada kita yang berjarak. Aku, kamu. Seperti hal sejenis
hubungan lainnya, mengalami pasang surut silih berganti. Kadangkala itu tak
terlalu merisaukan bila aku, kamu..hidup dalam hidup yang sama, rentang waktu
yang sama. Mana lagi yang sanggup melumerkan hatiku selain kamu yang hadir mengada
dalam nyata?
Tapi bagaimana ketika jarak meniadakanmu dalam nyata?
Ketika kita harus terbiasa dengan texting dan videocalling, harus terbiasa dibatasi
oleh layar. Kadangkala itu meredakan rindu, atau mungkin kadang malah
menggandakannya.
Jarak, dulu seringkali aku membencinya. Karena ia penyebab
ketiadaanmu dalam hidup yang nyata. Yang menyesakkan dari jarak adalah ia
membuat dua pecinta hidup dalam hidup yang tak sama.
“Morning,”
sapamu ketika hariku sudah beringsut sore. Waktu menjadi ambigu. Aku mempunyai
dua waktu, waktu milikku dan waktu milikmu. Hidupnya terasa mengganda. Hidup
dimana aku berada, dan hidup tempatmu mengada.
Tapi suatu titik, aku pada akhirnya berdamai dengan
jarak. Bukankah satu-satunya pilihan yang membahagiakan adalah dengan
menerimanya?
Terima saja kita berjarak ribuan kilometer. Tak mengapa
waktu kita tak sama. Asalkan kita tetap bersama-sama.
Lihatkan orang-orang di sekeliling kita? dekat namun bisa
saja terasa berjarak. Kedekatan nampaknya memang tak bisa diukur dengan fisik
yang dekat. Mungkin hati lebih tahu bahasa-bahasa tentang kedekatan. Dan
sepertinya hati tahu, bagaimana caranya ia menyeberang ribuan kilometer, untuk tetap
mengirimkan signal-signal pada hati lainnya yang terpaut. Tuhan sepertinya
melengkapi jiwa dan raga manusia dengan kemampuan yang luar biasa seperti itu.
Dan sepertinya hati, selalu tahu dimana tempat yang
paling nyaman untuk pulang
Barangkali hati, selalu sanggup merasa dimana hati
lainnya yang menunggunya pulang.
3 Komentar
aku tak pernah cemas pada jarak, aku hanya cemas pada kita yang berjarak
BalasHapusduh mbak, ini kalimat dalam banget :)
heheh :))
BalasHapusgilaaaa ngenah bgt mba:')) kebetulan aku pas bgt lg ldr huhu
BalasHapus