Cerita dari Kedai Kopi



Hujan belum lagi reda, saya masih bersama alunan samar musik di kedai kopi yang akhir-akhir ini menjadi tempat pindah kerja usai dari kampus. Ritme kerja memang berubah jauh sejak mendapat tugas tambahan sebagai Sekretaris Jurusan akhir januari lalu. Seharian bisa ngerjain ini itu, tapi di akhir hari berasanya nggak ngerjain apa apa. Karena yang dikerjakan biasanya hal-hal administrasi, rapat, urusan panitia ini itu. Habis waktunya untuk mengerjakan yang bukan “kerjaan sendiri”.
Pekerjaan yang semenjak pulang dari kuliah di Glasgow sudah padat, sekarang sudah semakin padat merayap. Tapi mungkin  kondisi seperti itulah yang saya butuhkan saat ini.
Makanya, seringkali saya mampir ke kedai kopi ini usai dari kampus untuk menyelesaikan kerjaan saya sendiri. Seperti nulis manuscript artikel jurnal yang susah sekali mencari waktu ketika berada di kampus. Selain kadang waktunya memang nggak sempat, juga distraksinya banyak. Bila di sini, lumayanlah cukup produktif, dan hasil artikel yang terbit pun mulai bertelur satu per satu. Saya tidak ingin pekerjaan tambahan menjadi sekjur membuat publikasi ilmiah saya macet. Banyak orang ketika terjebak dalam tugas tambahan, akhirnya melupakan atau tak sempat waktu untuk menulis publikasi.
Saya sendiri, tidak menyangka ketika saya pada akhirnya memutuskan untuk bersedia untuk duduk dengan tugas tambahan. Semenjak jadi dosen, saya tidak pernah berpikir untuk mau ataupun berkeinginan ke arah situ. Saya menilai diri sendiri sebagai pribadi yang tidak terlalu bagus jiwa kepemimpinannya. Saya dulu yang pernah bertanya pada teman-teman semasa kuliah S1 :
            “Kerjaan apa ya yang nggak usah ketemu atau ngobrol dengan banyak orang?”
Begitu lontaran pertanyaan saya. Mencerminkan betapa payahnya kemampuan interpersonal saya dengan orang lain. Dan rasa rasanya berinteraksi dengan orang lain membutuhkan energi yang banyak dan melelahkan.
            “Pegawai perpus tuh, nggak usah ketemu sama orang banyak” jawab sahabat saya dulu sewaktu jaman kuliah S1.
Tapi hidup terus berubah, mungkin saya juga banyak berubah. Walaupun secara pribadi, saya masih saja pribadi yang introvert, yang kadang habis energi ketika banyak berinteraksi dengan orang, kemudian butuh waktu sendiri untuk mencharge energi. Tapi kehidupan berubah, dan saya harus mencoba melenturkan diri pada perubahan.
Pada akhirnya saya bersedia untuk menjajal untuk bekerja dengan tugas tambahan, dengan risiko pekerjaan akan tambah banyak, nggak bisa "ngilang-ngilang", dan waktunya akan banyak tersita untuk urusan pekerjaan. Satu hal lagi, risiko nya adalah nggak bisa apply post-doc dikti atau program lain yang mengharuskan meninggalkan kampus dalam jangka waktu yang agak lama selama periode dengan tugas tambahan. 
Jadinya ketika melihat pengumuman Dikti untuk tawaran post doc 3 bulan tahun ini saya cuma melihat dengan nanar *risiko harus diterima 😁
Kadangkala, kita harus menjajal untuk keluar dari zona nyaman. Mungkin saatnya untuk melemparkan lagi titik yang harus saya kejar. Beberapa tahun belakangan, saya tidak punya titik yang saya kejar. Dulu saya selalu melemparkan titik ke depan, dan membiarkan diri saya untuk berupaya mewujudkannya.
Sudah agak lama, saya tidak punya titik itu lagi. Saya kebingungan ketika akan melempar titik itu...mau ngapain lagi? mau mengejar apa lagi? Kali ini, saya menemukan titik yang ingin saya tuju.
Karena itulah, saya sering ada di kedai kopi ini, agar mempunyai lebih banyak waktu dan energi untuk menulis publikasi-publikasi ilmiah dan hal-hal lainnya.
Karena saya ingin membiarkan diri saya menapaki jalan untuk menuju titik yang saya lempar itu.
Mungkin ini untuk seseorang yang pernah berkata pada saya
“ Seeing you grow up and jump as high as possible is my happiness”

Atau mungkin ini untuk diri saya sendiri.***



Society, 11 April 2019



1 Komentar

  1. Pernah memimpikan juga untuk hidup di pegunungan yg masyarakatnya jarang. Hidup menjadi guru dan petani, lalu mengajar alif ba ta pada anak2 kecil disana. Tp, takdir memang seringkali menemukan kita di jalan yg kita tak menginginkannya. Karena, bisa jadi apa yg kita sukai justru itu jelek bagi kita, dan sebaliknya apa yg kita benci justru baik untuk kita. Wa asaa antuhibu syai'aw wahuwa syarulakum. Tapi... Pernah dengar satu definisi ttg kesedihan? Bahwa ingatan yg seharusnya kita lepaskan, namun pikiran tetap menggenggamnya : itu tanda kita dalam kesedihan. 😊

    BalasHapus