Sabtu, 17 Oktober 2020

Menemukan IKIGAI Dalam Diri





Kamu ke depan pengennya mau bagaimana? Maksudnya tuh kamu kelak ingin dikenal sebagai apa yang “bener benar kamu banget”?

Pertanyaan ini dilontarkan oleh seseorang, yang tiba-tiba menggugah kesadaran saya kembali. Selama ini seingat saya nggak ada yang tiba-tiba menanyakan hal itu. Bahkan saya pun lupa kapan terakhir kali saya bertanya hal itu pada diri saya sendiri.

Saya lupa, atau sebenarnya melupa.

"Kalau waktu dan energimu habis untuk melakukan yang nggak sesuai dengan apa yang mau kamu tuju atau apa yang kamu inginkan itu. Nanti kamu akan merasa tersesat,” tambahnya.

Rasanya aku makin “dihantam” oleh pernyataannya tadi itu.

Habis menghadapi pertanyaan seperti itu, saya jadi mikir haha. Beberapa tahun belakangan ini, saya lama sekali tidak mempertanyakan lagi apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidup, atau istilahnya “the purpose of life” atau “a reason for being”  

Pembahasan tentang hal-hal seperti ini mungkin kadang terasa absurb, ataupun dibilang eksklusif, ataupun mungkin saja ada yang bilang “nggak ada guna”nya. Ya sudahlah hidup ya dijalani aja, nggak usah repot-repot mikirin a reason for being-kita. Sehingga ada banyak orang menjalani kehidupan dengan seadanya, dengan tanpa arah yang jelas.

Ada juga orang-orang yang paham bahwa itu sangat penting, tapi dalam pencariannya belum nemu-nemu juga. Nah itu saya! Haha..

Saya tuh kalau ditanya seperti itu masih bingung lho, apa sebenarnya a reason for being saya. Kalian pernah dengar IKIGAI?. Ada buku best seller yang ditulis oleh Hector Garcia dan Francesc Miralles yang berjudul “IKIGAI-The Japanese Secret To a Long and Happy Life” ini memang sangat menarik perhatian saya. Sampai saat ini, saya belum selesai membacanya, karena membaca bab demi bab rasanya perlu dicerna perlahan.

Kata Ikigai merupakan istilah bahasa Jepang untuk menjelaskan kesenangan, gairah dan makna kehidupan. Kata tersebut berasal dari iki, yang berarti kehidupan dan gai, yang artinya nilai. Dijelaskan pula bahwa Ikigai-lah yang dinilai dapat memberikan motivasi kuat yang menjalani hidup dengan bergairah dan semangat. 

Nah, untuk menemukan ikigai, para ahli merekomendasikan untuk memberi empat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti :

·       Apa yang saya sukai?

·       Apa yang bisa saya lakukan dengan baik?

·       Apakah kemampuan saya itu layak mendapat bayaran?

·       Apa yang dibutuhkan dunia dari saya?

Dan pertanyaan dari teman diskusi saya tadi itu memantikkan kembali pertanyaan itu dalam diri saya. Dulu saya merasa menemukan kesenangan dan kebahagiaan lebih pada aktivitas menulis. Saya dulu rajin menghidupi blog ini karena passion saya pada menulis. Saya juga banyak berkenalan dengan orang-orang baru melalui tulisan-tulisan saya. Saya juga sepertinya lebih dikenal karena tulisan-tulisan saya. Tapi selama ini saya memang hanya menganggapnya hanya sebagai hobi semata. Sementara di sisi hidup yang lain, saya lebih banyak berkecimpung di dunia akademik, apalagi setelah saya menyelesaikan jenjang pendidikan S3. Waktu dan energi saya hampir semuanya tercurahkan untuk aktivitas pekerjaan saya sebagai akademisi. Mungkin karena itulah, saya tidak lagi “sempat” mempertanyakan lagi apa sebenarnya yang betul-betul saya maui.

Karena sebenarnya di dunia akademisi ini saya belum nemukan rasa "passion" yang sebenarnya. Saya bukan akademisi yang dengan penuh gairah meneliti pada suatu bidang yang membuat saya betul-betul tertarik. Tapi bukan berarti juga saya merasa menderita pada apa-apa yang tengah saya lakukan dan jalani. Saya cukup menikmati dan merasakan dinamika pekerjaan selama ini, jadi karir juga melaju cukup bagus. Oleh karena itu, ketika saya mendapati diri saya sudah "terlalu jauh" berjalan di dunia akademisi, jadi dalam pikiran saya kemarin-kemarin ya sudah dijalani saja. Rencana saya ke depan juga akhirnya tertuju pada titik yang dianggap pencapaian tertinggi dari seorang akademisi dosen, misal pengen jadi profesor.

Tapi akhir akhir ini saya berpikir : "apa sih arti jadi profesor buat saya?" . Ternyata bagi saya, hal itu tidak lebih dari sebuah gelar, seperti juga gelar-gelar pendidikan yang sudah saya raih. 

Sepertinya saya membutuhkan sesuatu yang lebih membuat saya "bergairah', menemukan passion. Menemukan Ikigai-saya sendiri. Sepertinya ada hal lain yang perlu ditemukan. Sepertinya ada sisi lain atau sisi lama yang justru itulah sesungguh-sungguhnya saya. Walaupun itu bukan berarti kemudian mengindahkan dunia akademisi yang telah lama saya jalani. Dunia yang telah memberikan penghidupan bagi saya, dan juga sarana  berbagi sedikit ilmu yang telah saya dapatkan pada generasi berikutnya. 

“Some people have found their ikigai, while others are still looking, though they carry it within them. Our ikigai is hidden deep inside each of us, and finding it requires a patient search.

Begitu yang tertulis di buku itu. Bahwa mungkin Ikigai itu bersembunyi ada dalam diri kita, dan menemukannya membutuhkan kesabaran dalam pencarian. Terkadang saya melihat orang-orang pada usia muda telah menemukan Ikigai-nya, namun ada juga yang terus mencari-cari. Mungkin perjalanan pencarian itu juga penting, seperti tagline-blog saya “Sebuah Catatan Perjalanan Ke Dalam Diri”.

Belum menemukan Ikigai, justru membuat saya lebih berkeinginan untuk lebih sering membicangi diri saya sendiri. Mencoba memahami rasa-rasa yang muncul dari aktivitas saya sehari-hari. Tergoda untuk mencobai  beberapa hal, untuk kemudian semoga menemukan apa Ikigai saya yang sebenarnya. 

Terus berjalan dalam pencarian. Terus menikmati setiap langkah-langkah penemuan.

Menemukan diri sendiri. ***

Purwokerto. 16 Oktober 2020. Tulisan di tengah gerimis yang membasahi sore ini. 

Jumat, 09 Oktober 2020

Membincangi Ego Diri


Mendung sudah mulai terlihat di luar jendela. Purwokerto hampir setiap sore kini diguyuri hujan. Sayang memang, karena itu artinya saya lagi-lagi tidak bisa jalan kaki sore di GOR, yang letaknya hanya di samping kantor kampus. Rutinitas jalan sore sudah hampir sebulanan ini merupakan kebiasaan baru yang ternyata nagih banget untuk dilakukan. Tepatnya semenjak badan saya mulai “protes” dengan terdeteksinya kadar tertentu di badan saya yang di atas normal. Fase-fase sakit kemarin cukup membuat saya down dan merasa tidak berdaya, karena selama ini saya merasa-nya sehat-sehat saja. Hanya saja, yang mungkin tidak disadari adalah saya terlalu memacu tubuh, pikiran dan energi saja di luar ambang batas keseimbangan.

“Iya sih memang sibuk banget…tapi kan sebenarnya semuanya hampir bisa dikatakan dapat terselesaikan dengan baik kan?”—dulu saya berpikir seperti itu.

Sampai akhirnya tubuh saya mengirimkan “warning” itu

Dan keadaan itu membuat saya banyak merenung dan berpikir. Sepertinya ada pola yang harus saya rubah. Yang berubah banget terutama pastilah pola makan saya agar berupaya untuk menormalkan kembali kondisi tubuh. Dan itupun ternyata tidak mudah, karena seringkali kita makan makanan tertentu sebagai “comfort food” yang setelah makan, mood kita terasa lebih baik. Mungkin itu yang sering kita dengar sebagai emotional eating, yakni dengan makan makanan tertentu untuk membuat perasaan ataupun mood kita menjadi lebih baik. Pernah nggak kalian kayak gitu?

Dulu ketika sudah seharian lelah bekerja ngerjain ini itu, pikiran pertama yang terlintas ketika hendak pulang ke rumah itu..”mau makan apa ya yang enak?” Waktu itu pembelaan yang ada di pikiran saya adalah hal itu sah dilakukan sebagai reward, kompensasi karena sudah bekerja dan berupaya keras seharian. Dan parahnya karena saking lelahnya, habis makan biasanya ketiduran. Mungkin pola ini yang lama-lama membuat tubuh saya protes. Kebanyakan kerjaan, energinya seringkali habis, bahkan mungkin sebenarnya defisit. Namun, ini tidak saya sadari.

Saya beberapa waktu lalu mendengarkan paparan Reza Gunawan, praktisi kesehatan hoslistik pendiri klinik True Nature Holistic Healing yang membahas tentang toxic success. Intinya sih “sukses beracun” itu terjadi ketika kita bisa menjadi sakit secara mental, jiwa, pikiran hingga fisik dikarenakan oleh proses perjuangan menuju sukses yang tidak sehat”.

Sepertinya itulah pesan yang tubuh saya sedang ingin sampaikan. Dulu, beberapa temen pernah mengatakan saya orangnya itu ambisius, dan selama ini saya menyangkalnya.

“Enggak ah, perasaan normal-normal saja. Saya memang orangnya high achiever, pekerja keras, kuat tekad mewujudkan apa yang ingin saya raih. Nggak salah juga kan?” itu sih dalam hati saya selalu menyangkalnya demikian.

Soalnya bagi saya ambisius itu terdengarnya negatif gitu. Hingga kemudian beberapa saat lalu saya berbincang dengan seseorang, dan iseng bertanya “memangnya aku terlihat ambisius ya?”

“Kalau aku, mengukur seseorang itu ambisius negatif atau tidak, ya pada poin keseimbangannya sih. Persepsi kebanyakan orang, ambisius itu punya keinginan sangat kuat untuk mencapai sesuatu tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keseimbangan,”- begitu tutur seseorang itu.

Jleb nggak sih rasanya? Jawabannya itu memang tidak eksplisit bilang saya termasuk kategori ambius. Tapi kalimatnya itu membuat saya berpikir seketika bahwa kemungkinan saya memang mengindahkan prinsip prinsip keseimbangan itu. Terlalu banyak kerja, istirahatnya kurang, males olahraga, makan-nya nggak sehat.

Tapi memang susah sebenarnya ya kita mengukur keseimbangan? Selama ini saya merasanya sehat sehat saja, sampai suatu ketika tubuhnya merespon dan protes. Dan kemudian itu membuat saya berpikir.

“ Memang sih, PR terbesar orang hidup itu ya adil untuk membagi porsi pada hak dan kewajiban. Dan seringkali kita belum mengetahui berapa sebetulnya takaran porsi untuk adil itu, sebelum kita mengalami sesuatu yang nggak enak pada diri kita.” Tutur seseorang tadi itu.

Itu persis yang terjadi pada diri saya.

“ Setelah aku pelajari, ternyata dalam diri kita sendiri ada banyak entitas ego. Dimana kalau kita ngga bisa berkomunikasi baik dengan mereka, hidup kita isinya akan jadi ribet terus. Misalnya gini: ada entitas ego yang menginginkan kita sukses dalam karir. Maka dia akan memacu kita untuk terus bekerja sekeras mungkin untuk mencapai apa yang menurut kita menjadi sebuah standar sukses. Apa entitas ego ini salah? Nggak, karena memang di situlah peran dia. Tapi kelemahannya, dia nggak peduli bahwa kapasitas tubuh kita bisa mengimbangi nggak dengan ritme kerja kerasnya? Nah, sementara itu ada entitas ego yang lain yang menginginkan kita hidup seimbang, demi kesehatan tubuh. Di situlah konflik antar entitas ego bisa terjadi.”Begitu pendapat teman diskusi saya itu. Berat ya kalimatnya ya? Hehee ampun memang lah wkwk..

Tapi isinya jleb jleb..saya mungkin harus lebih banyak membicangi ego saya, untuk berupaya paling tidak agar lebih seimbang lagi memperlakukan jiwa, pikiran dan tubuh. Mungkin kalau tidak seperti ini, akan saya terus menjalani hidup dengan terus tidak mengindahkan keseimbangan. Memacu diri tanpa tahu batasannya.

Kadang-kadang hidup begitu ya, ada saatnya kita menjeda dan berpikir kembali tentang pola bagaimana kita menjalani hidup. Kalau saya pikir, hidup itu tentang terus belajar dan belajar tanpa henti. Belajar membincangi diri, termasuk ego-ego di dalam diri. Itulah yang sering saya lakukan akhir-akhir ini sembari melajukan langkah langkah kaki dalam rutinitas jalan sore. Dengan semilir angin, suara musik di earphone dan perbincangan perbincangan saya dengan diri sendiri.

Salam hangat dari sore-nya Purwokerto yang bergelayut mendung.