Sabtu, 29 Agustus 2009

Deru yang Tak Pernah Senyap


Haec Olim Meminisse luvabit (Someday we’ll back on this and smile)

Sebuah bab di bagian buku “Divortiare”-nya Ika Natassa, yang setelah melihat terjemahan kalimat di atas jadi ngeh arti nama blog temenku yang mengambil kalimat yang persis sama..maklum nggak ngerti bahasa latin.

Yap, setiap hari kita membuat sejarah pada masing-masing hidup kita. Bila menengok ke belakang, bukan main banyaknya lembaran-lembaran kisah dengan berbagai warna. Kanvas yang tercorat coret warna warni, bagaimana gambaran yang terbentuk tentu saja itu semua tergantung pada persepsi kita masing-masing. Bukan tidak mustahil kita akan menertawakan hal yang pahit di masa lalu, kekonyolan, kebodohan sikap dan rona-rona masa lalu. Dan titik ini, detik ini pun bila suatu saat masih diberikan waktu untuk melihat titik ini kita juga mungkin akan tersenyum. Entah tersenyum kecut, tersenyum penuh rona kebahagiaan atau penuh kegetiran. Perjalanan itu mengalir seiring perubahan, ia berkelok-kelok, menikung tajam, menanjak ataupun turunan terjal. Hidup tetap saja sebuah detik yang berlalu yang tak pernah sama. Sekian tahun kuhabiskan di bangku sekolah dan kuliah, lalu kemudian hidup beralih dalam dunia pekerjaan yang kadang menyita sebagian besar waktu, lalu proses-proses lain yang akan terjadi pada hidup. Apa sih yang sebenarnya kita cari?

Ada sebuah artikel yang ditulis Gede Prama yang menjadi favoritku, karena pada artikel tersebut aku menemukan jawaban. Judul artikelnya ” Menemukan harta karun termahal”, sering kali kubaca lagi saat-saat senggang dan saat berefleksi. Isinya selalu menarikku kembali bila pikiran, keinginan dan impian sudah bergerak nakal kemana-mana menuruti nafsu kemanusiaanku. Penuturannya sederhana tapi mengena, tentang apa yang dicari manusia dengan kehidupannya. Kebanyakan orang bekerja keras dan berupaya untuk menjadi sukses, terkenal, kaya, bahagia, sejahtera. Kutub percarian masing-masing orang tentu saja berbeda. Ada yang merasa puas dengan karirnya yang selangit, atau hartanya yang berlimpah, ataupun bahkan ada yang memilih jalur-jalur anti duniawi dengan menghabiskan hidupnya hanya untuk bergerak di jalur vertikal. Yah, kita semua mempunyai kutub pencarian masing-masing, dan sasaran pencarian pun mungkin terus berubah seiring pertumbuhan diri manusia.

Ada kalimat yang menyentuh hatiku yang ditulis beliau :

Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi semakin saya selami dan selami, semakin saya tahu kalau hidup adalah perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan harta karun yang harus kita cari, dan membawa kemungkinan terbukanya sebuah penemuan, harta karun kehidupan ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan ke dalam diri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish

Semenjak hidupku berbenturan dengan buku-buku Gede Prama, Zen, diri ini semakin sadar tentang perjalanan. Kesadaran sampai pada taraf mana diri ini bergerak dalam tataran mengerti, memaknai hidup. Seiring proses belajar yang terus kujalani, ada sering kata ”oh ternyata itu yang Engkau maksudkan”, ataupun pertanyaan-pertanyaan ”kenapa Engkau menakdirkan aku di sini, pekerjaan ini, dan pertanyaaan yang terdengar nakal lainnya”. Tapi sampai pada titik pemahamanku sekarang, diri menyadari bahwa Tuhan yang mencipta hidup selalu memberikan makna pada sebuah peristiwa, walau butuh waktu untuk mencernanya. Bukan menyetir ungkapan klise ”ada makna di balik peristiwa”, tapi merasainya. Merasainya, membuat hidup terasa daya hidupnya. Seperti cinta, yang bukan pada angan tapi ada pada tataran pengalaman.

Aku pernah menulis tentang belajar untuk bergerak ke titik pusat, tidak lagi banyak terguncang di pinggiran kala roda kehidupan turun naik. Tapi diri ini masihlah ”kencur” yang masih saja sering terhempas ke pinggiran, tapi perjalanan untuk mencapai titik pusat ini rasanya menyenangkan dilakukan. Tidak pernah merasa tergesa untuk sampai, tidak pernah merasa ada deadline waktu, dan tidak ada seorangpun yang mengejar dan bukan berarti pula menjadikan malas belajar. Perjalanan ke dalam diri tidak membuat kita berkompetisi dengan hidup orang lain. Mencari sumber-sumber kebahagiaan dari dalam yang tidak lagi mempunyai keterikatan, uhmm..mungkin diri ini masih sangat jauh dari tataran itu.

Aku masih merasa betapa sulitnya memeluk dualitas kehidupan dengan sama mesranya. Orang akan memilih sukses di atas gagal, senang di atas sedih, mudah di atas susah. Tapi bukankah hidup tidak pernah lepas dari kegagalan, kesedihan, kemalangan, kesusahan?

Bukankah kita menjadi lebih banyak belajar dari kesedihan, mempunyai semangat tak kenal menyerah yang kita dapat dari tempaan kegagalan-kegagalan yang kita alami, dan menjadi kuat karena kesusahan-kesusahan yang terjadi pada hidup? Tidakkah bila dipikirkan kembali kedua dualitas yang nampak bersebrangan tadi pada intinya sama, berasal dari satu sumber.

Dengan menerima dualitas tersebut dengan sama bukankah akan melepaskan manusia dari keterikatan? Entahlah, itu hanya pemikiranku saja.

Diri sadar terkadang orang menghormati karena label yang tersemat, karena pekerjaan dan profesi, memuji karena (mungkin) ada prestasi. Pernah terpikir apakah kita akan diperlakukan dengan cara yang sama tanpa itu semua? Aku menyadari diri ini masih sering terikat.

“Kenapa mesti gembira bila dipuji dan sedih bila dimaki? Ada orang yang sudah bisa terlepas dari keterikatan, orang jenis ini memang langka ditemukan”

Oh, sungguh saat pertama kali mengerti gagasan ini aku sungguh terpesona dan mengagumi betapa beliau sungguh telah jauh berjalan ke dalam diri.

Mungkin perjalananku masih tak seberapa, tapi perjalananku telah dimulai karena aku ingin terus menapakinya, melihat petanya, dan merasakan perjalanan ini sebagai harta karun hidup.

Aku tidak pernah melarang diriku untuk jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama.. begitulah kucintai hidup yang menawarkan perubahan dalam setiap detiknya.

Dan akupun ingin mencintai kehidupan dan kematian sebagai dualitas hidup...menikmati iramanya seperti deru yang tak pernah senyap ***

Purwokerto menjelang tengah malam. 29 agosto’09


Ramadhan, Bukan Sekedar Ritual


“Ramadhan, tak ingin hanya melihat dari bungkusmu tapi ingin merasaimu sampai tereguk saripatimu”

Masih teringat status FBku menjelang puasa hari pertama beberapa hari yang lalu, kenapa aku menuliskan status demikian?

Karena Ramadhan saat ini terlihat bagai sebuah bingkisan yang begitu cantik bungkusnya. Dilapisi dengan kertas kado yang menarik dan tak lupa disemati pita yang senada, indah rupawan nian kelihatannya. Semuanya berbau ramadhan, stasiun tv berlomba-lomba menghadirkan acara-acara yang agamis ataupun memaksakan beberapa acara yang dibungkus ulang dengan memberikan sentuhan agamis, penjaja makanan yang menjelang sore berderet menawarkan menu berbuka puasa mulai dari coctail, kolak, es kelapa muda serta jajanan berbuka. Ramadhan di Indonesia selayaknya gelaran pesta. Begitulah bila kuamati pola pelaksanaan ramadhan di Indonesia.

Puasa sebulan penuh di bulam ramadhan yang salah satu tujuannya adalah merasakan empati seperti kaum fakir miskin dengan menahan haus dan lapar sehingga diharapkan akan menumbuhkan kepedulian sosial. Tapi anehnya, rata-rata pengeluaran setiap keluarga di Indonesia saat bulan ramadhan malah melonjak naik bukan? Sebuah paradoks yang mengundang pemikiran.

“Balas dendam” saat berbuka dengan berbagai menu di tersaji lengkap di meja makan, yang pasti lebih “wah” daripada makanan yang biasa kita makan sehari-hari..uhmm..jadi bertanya, bagaimana bisa merasakan empati terhadap fakir miskin ya?

Menyiapkan makanan yang sedikit istimewa untuk berbuka tentu saja tidak salah, ini normal dalam kaitannya adanya “reward” terhadap usaha yang dilakukan dengan puasa seharian, tapi berlebih-lebihan tentu saja akan membutakan kita dari esensi puasa yang sebenarnya.

Puasa ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang rutin dijalankan setiap tahunnya. Ritual keagamaan yang rutin, tapi tidak seharusnya membuatnya menjadi sesuatu yang banal. Puasa sendiri sudah setua peradaban manusia, dan telah menjadi bagian dari kebiasaan manusia sejak zaman pra-sejarah seperti yang disebutkan pada injil baik kitab perjanjian lama ataupun baru, di Mahabharata, Uphanishad dan pada Al Qur’an. Puasa yang dalam Al Quran disebut dengan kata shiyam, berakar pada kata sha-wa-ma yang bermakna "menahan", "berhenti", dan "tidak bergerak". Oleh karena itu, secara syariat puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan upaya melakukan hubungan seksual dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Kaum sufi menambahkan, selama puasa kita perlu membatasi dan menahan seluruh anggota tubuh, hati, dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Puasa ramadhan harusnya merupakan ”kawah candradimuka” dimana kita harus menempa diri, menyediakan waktu yang lebih untuk hubungan vertikal kita dengan Sang Pencipta, merasakan penghambaan kita dan mencoba refleksikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam sebuah percakapan via telepon dengan sahabat yang biasa bertukar pikiran, pernah terlontar sebuah bahasan mengapa terjadi banyak paradoks di bumi Indonesia ini, negara dengan umat muslim yang terbesar di dunia tapi kenapa berbanding lurus dengan tingkat korupsi, kejahatan, tindakan amoral. Kenapa agama dianggap sebagai sebuah perkara dan berbuat kebajikan adalah sebuah perkara yang lain?? tidak berhubungan. Keber-agama-an masyarakat kenapa tidak tercermin pada perbuatannya sehari-hari?

Mungkin karena beragama selama ini hanya terwujudkan hanya sebuah ritual. Orang mengerjakan shalat, puasa, haji dan sebagainya, tapi ritual keagamaan tersebut tidak menyelusup dalam hati menjadi suatu sikap dan cara hidup

Ada yang salah dengan pendidikan dan penanaman pengajaran agama di Indonesia?

Ataukah bangsa kita selalu suka pada bungkus saja? melakukan ritual tanpa makna.

Bungkusnya yang indah tentu saja tidak salah, asal jangan menganaktirikan isi. Bagai buah yang kulitnya merah merona tapi isinya busuk atau berulat. Bungkus yang menawan tapi isinya meringkuk kedinginan karena tidak tersentuh. Ia berteriak kelaparan karena tidak diberi asupan sebagaimana si kembarnya yakni badaniahnya. Sudahkah kita memperlakukan si badaniah dan si jiwa dengan proporsi yang sama?

Selasa, 25 Agustus 2009

Bila aku terlahir sebagai laki-laki


Aku membayangkan rambut yang kupotong cepak tapi tidak terlalu pendek, badan tinggi warna kecoklatan dengan keringat sehabis bermain futsal. Uhmm..bagaimana aku bila terlahir sebagai laki-laki?

Secara fisik, yang jelas aku pasti akan lebih suka dipersepsikan sebagai laki-laki dengan kategori ”ganteng”, daripada kategori ”tampan”, ”cakep”, ”keren” atau lainnya ehehehe.

Kenapa? bukan sesuatu yang harus kujawab :)

Aku ditakdirkan menjadi perempuan, apakah karena memang telah ditakdirkan Tuhan aku menjadi seorang perempuan? Apakah Bapak Ibuku dulu mengharapkan anak pertamanya lahir sebagai seorang laki-laki atau perempuan?

Bila aku seorang laki-laki, ingin jadi apa aku? seperti apa aku? wanita seperti apa yang ingin kuhabiskan hidup bersamanya?

Rasanya tidak begitu sulit membayangkan jadi laki-laki, hehe entah, karena mungkin hormon androgen yang diturunkan ke dalam tubuhku porsinya agak berlebih ehehe..

Laki-laki..uhmm, oh ya kau tahu beda antara laki-laki dengan pria? Atau perempuan dengan wanita?ehehe, aku butuh jawaban serius, bukan main-main :p

Sudahlah, kutinggalkan saja teka teki ini untuk kalian..

Bila aku menjadi laki-laki, ingin rasanya mengobati kehausanku akan petualangan dengan pergi kemanapun yang aku inginkan, menikmati perjalanan dengan banyak pembelajaran. Bepergian ke berbagai tempat, berkenalan dengan manusia berbagai jenis, ras, agama dan kebudayaan. Toh laki-laki sedikit mempunyai kebebasan yang lebih dibandingkan perempuan. Keluar malam, nongkrong sambil minum kopi sambil berdiskusi tentang politik, bola, wanita, apa saja...Mencari dunia spiritulitas bersampankan pengetahuan dari berbagai sisi, buku, ustadz dan mendasarinya dengan pengalaman spiritual yang mencari, mendalami, dan menemukan sebagai lingkaran perjalanan yang tak pernah putus.

Menemukan daya hidup yang penuh dalam pekerjaan dan mendedikasikan kemampuan dan kemauan di dalamnya, dengan keinginan bahwa bermanfaat bagi orang banyak sejatinya adalah berbaik hati pada diri sendiri. Menemukan bahwa saat memberi adalah menerima pada saat yang bersamaan, dan bahwa bila neraka dan surga tak ada, berbuat kebaikan adalah kebutuhan untuk dirinya sendiri, bukan untuk Tuhan, orang lain, keluarga atau siapapun.

Lalu saat beranjak dewasa, wanita seperti apa yang ingin kunikahi? Wah..wah...ini menarik!. Wanita yang pada matanya kurasakan panggilan dan keyakinan bahwa bersamanyalah ingin kuhabiskan sisa hidup bersama...fufufu lebay. Cinta yang menyulutku dalam kegilaan cinta sekaligus membingkainya dengan rasionalitas pada saat yang bersamaan. Wanita yang cantik karena aku mencintainya, bukan aku mencintainya karena ia cantik.

You don't love a woman because she is beautiful, but she is beautiful because you love her”.
Wanita yang ingin kubersamanya belajar untuk menikmati hidup sebagai sebuah berkah, dengan membesarkan anak-anak kami, dimana ada titipan asa dalam perpaduan jiwa-jiwa kami.

Tik..tik..tik...sebentar, bila kucerna kembali sepertinya sama saja...sama saja aku menjalani hidup sebagai seorang perempuan. Jadi, begitulah hidup yang ingin kujalani..entah aku terlahir sebagai seorang laki-laki ataupun perempuan. Tentu saja tetap ada perbedaan norma dan batas-batas, tapi ternyata setelah ditelisik esensinya, tak ada bedanya..

Ternyata!

Uhm sebentar ada beberapa hal yang membuatku penasaran, bila aku terlahir menjadi laki-laki apakah aku akan terobsesi untuk mempunyai tubuh yang bagus? Apakah aku akan mempunyai kecenderungan untuk melirik-lirik, bermain mata dan hati dengan wanita walau aku sudah punya seseorang? Apakah aku juga aku menangis dan sedih saat tim sepakbola kesayanganku kalah bertanding?Apakah benar kata orang kalau laki-laki lebih memakai rasionalitasnya sedang perempuan lebih memakai perasaannya..ufff bukan ungkapan klise yang butuh jawaban ya atau tidak, tapi aku ingin berada dalam tataran ”mengalami”. Kalau dulu Kartini berhasil memulai tonggak emansipasi wanita hingga dimulailah revolusi tentang peran ”keperempuanan” dalam tatanan masyarakat, pernah kau pikirkan sudah sejauh mana revolusi kini telah berlanjut??

Laki-laki atau perempuan, Mars atau Venus? Ahaha bahkan namaku saja berarti laki-laki hufffttt..but i luv it!! :)

Menjadi laki-laki atau perempuan, bukan wujud dan jenis gender yang menjadi soal, tapi aku lebih memandang bagaimana masing-masing individu sebagai manusia yang menjalani hidupnya dengan kemanusiaannya.


source of pic : http://www.safaids.net/files/5/gender.jpg


Senin, 10 Agustus 2009

Cantik!!



Cantik itu tinggi semampai, putih mulus, dengan wajah nan ayu tanpa jerawat, postur tubuh proporsional dengan ukuran standard tertentu, begitukah??
Cantik menurut versi siapa? Uhm..tapi toh ukuran-ukuran tadi sudah menjadi ukuran seragam dalam masyarakat. Dan aku berpendapat bahwa media memegang peran sentral dalam membuat stigma tentang kecantikan. Stigma cantik versi media digambarkan atau divisualisasikan dengan wanita-wanitanya nan molek dalam iklan, sinetron, film dan infotainment. Itulah cantik versi media, dan masyarakat digiring untuk mempunyai persepsi yang sama. Kita diajak untuk seringkali lebih mementingkan kulit daripada isi. Sejenak teringat status FB seorang sahabat yang membuatku tersenyum

Inner vs outer beauty... outer beauty, somehow, is always win at first

Uhm..yayaya..semacam sebuah kompetensi genetik, yang lebih cantik mempunyai kesempatan karir yang lebih baik, mempunyai daya kompetisi untuk menarik pasangan lebih mudah, hihi begitukah kira-kira?. O o..aku rasa tidak sepenuhnya benar demikian adanya. Wanita, yang memang secara naluriah ingin selalu tampil cantik namun sayangnya akhir-akhir ini kecantikan lahiriah makin dianggap sebagai hal yang utama. Maka tak heran banyak tampilan permakan serta tehnologi yang menyediakan bagi mereka-mereka yang ingin tampil cantik. Cobalah lihat dari tehnologi rebonding, smoothing, suntik-suntikan, iklan-iklan pencerah wajah dan masih banyak lainnya, semuanya menawarkan perbaikan kecantikan fisik agar makin menawan.
Wanita menjadi terobsesi dengan kecantikan luar, hingga fokus “perbaikan” dirinya kadang hanya terlalu terfokus di luar, dan melupakan yang ada “di dalam”. Sebuah kosakata yang agak basi bernama “inner beauty”, lagi-lagi harus kusebut saat bicara tentang kecantikan. Dalam deskripsi “human beauty” ada yang disebut “inner beauty” yang mencakup kepribadian, kecerdasan, keluwesan, keserasian (congeniality), pesona atau daya tarik dan ketulusan sementara“outer beauty” sering dipersepsikan apa yang dinamakan “physical acttractiveness” yakni penampakan visual.
Wait, aku bukan anti kecantikan luar. Tentu saja perempuan memang dilahirkan dengan keinginan alamiah untuk selalu tampil cantik, seperti halnya pria yang dilahirkan dengan genetis gila kesuksesan. Dan semua orang juga suka melihat yang indah-indah bukan?. Akupun beranjak dari tataran “hanya pake bedak” ke tataran bisa pakai mascara plus kawan-kawannya. Dan sekali lagi karena kecantikan luar tetap saja penting, tapi bukan yang paling penting. Aku sering melihat wanita dengan penampilan luar dalam kategori ”biasa-biasa” saja tapi mempesona, ada sesuatu dalam diri mereka yang menawan. Apa? Entahlah, tapi itu terjadi saat aku melihat seorang wanita yang nyaman akan dirinya, ketulusan serta kebaikan nurani yang terpancar saat ia bicara, memperlakukan orang, dan satu lagi yang sering membuatku tertarik yakni saat seorang wanita mampu melakukan sesuatu yang berarti bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin dari semua hal tersebut penerimaan diri bersumber. Saat manusia sudah bisa menerima dirinya, mencintai dirinya sendiri, dari disitulah sikap nyaman akan dirinya akan terbawa, dan itulah yang memancarkan pesonanya. Gampangkah? Tidak, karena standard-standard di luar itu, tapi tentu saja bisa ditempa dengan kesadaran yang berlanjut. Yah, tidak gampang. Dan itupun kualami sendiri betapa ukuran-ukuran itu mempengaruhi penerimaan kita akan diri kita sendiri. Dulu, gigiku tidak rapi hingga pernah ada seorang teman laki-laki saat SMA berkata padaku :
” Uhmm kamu manis lho kalau nggak lagi senyum”
Bleeep...duniaku mengecil kala itu, di saat usia dan perkembangan diri belum lagi matang tentu saja hal itu membuatku tak percaya diri. Dan aku menyadari bila aku sedang tersenyum gigi-gigiku yang tak rapi dan warnanya tak putih karena pengaruh antibiotik saat kecil itu mengganggu penampilanku. Uhmm kau bisa membayangkan betapa tidak mudahnya melepaskan diri dari standard-standard itu. Hingga bila kupandangi foto-foto zaman awal kuliahpun sangat jarang aku tersenyum saat difoto (tersenyum dengan memperlihatkan gigi maksudnya), uff menyedihkan.
Tapi seiring perkembangan diri, saat mencoba untuk tertawa lepas dan tersenyum dengan memperlihatkan gigi saat difoto aku melihat diriku yang bahagia, yang gembira, yang berwarna. Dan akhirnya aku mulai berani tersenyum lebar. Dan saat kuliah lanjut di Jogya, tehnologi membantuku memperbaiki penampilanku, dengan konservasi gigi hingga gigiku nampak sedikit rapi. Dan yippiie itu membawa perubahan besar dalam diriku hingga aku menjadi lebih mudah untuk tersenyum dan tertawa. Nah, itulah mengapa aku mengatakan penampilan luar itu juga penting, kosmetik dan tehnologi itu juga perlu, tapi aku menemukan hal yang lebih utama dalam hal penerimaan akan diriku.
Aku mencintai diriku, dengan penampilan luar maupun sifat serta pemikiranku yang terus saja masih kudalami.
Cantikkah? ”bila kutanya pada diri sendiri. Cantik! Karena semua perempuan lahir dengan kecantikannya masing-masing.
“Pretty is something you're born with. But beautiful, that's an equal opportunity adjective.”
Yap, hal ini memang banyak yang memperdebatkan. ”Bagaimana bila kita terlahir dengan penampilan fisik yang jauh dari standar yang ada di masyarakat?, Kenapa wanita lain diberikan wajah dan cantik dan tubuh yang bagus? Bla..bla..bla yang lainnya”. Galilah sesuatu dalam dirimu, temukanlah harta karunnya dan mulailah mencintai dirimu sendiri. Ingin kubisikkan pada setiap wanita,”Semua wanita itu cantik!”


*** Untuk semua wanita di dunia

source of pic : http://www.earthsbeauty.com/Nics%20Beauty%20Earths%20Beauty%20.jpg

Jumat, 31 Juli 2009

Pernikahan -“Pertemuan Kembali”-


Ah, rasanya gatel untuk menulis di sela-sela rutinitas setelah iseng membaca tulisan Fadh Jibran (Penulis A Cat in My Eyes-Karena Bertanya Tak Membuatmu Berdosa) dalam project I care I share. Projek tersebut menampung berbagai pertanyaan pembaca tentang apa saja- biasanya tentang hal-hal yang menggugah untuk diperdebatkan-, dan Fahd setiap minggunya akan memillih salah satu untuk dibahas di blognya.

Dan pertanyaan kelimabelas adalah tentang pernikahan, sebuah pertanyaan dari Alexa dan Adisti yang juga membuat project “Lajang dan Menikah –Sama Enaknya, Sama Ribetnya-. Inti pertanyaannya tentang apa esensi pernikahan, karena banyak orang menilai pernikahan sesuai dengan pernyataan berikut :


"Most Indonesians get married out of fear, not out of love. Fear of parents, extended family, society, and the ticking clock."


Jangan mendebatnya terlebih dahalu, memang tidak semuanya begitu. Tapi toh fenomena di atas memang banyak terjadi di Indonesia.

Fahd mengatakan bahwa memang ada banyak faktor seperti umur, tradisi, sunnah Rasul, tuntutan masyarakat, yang mendorong seseorang memutuskan untuk menikah. Tapi semua itu hanya faktor, bukan dorongan utama (baginya-red. Tentu saja karena tulisannya adalah opini pribadinya). Faktor-faktor tersebut tak bisa dihindarkan bila tidak ingin disebut makhluk asing oleh komunitas mayarakat normal bila berusaha melepaskan diri dari itu. Tapi bukan itu landasannya, ia mengatakan dengan begitu yakin. “Saya akan menikah bukan karena merasa takut”. Disebut pula bahwa sebentar lagi ia akan menikah, sehingga tulisan tersebut dibuat tentu saja bukan tanpa dasar.

Dari bahasan yang dikemukakan Fahd, menurutnya pernikahan dilandasi oleh sebuah panggilan. Ia menyebut tentang konsep soulmate-sebuah bahasan lama yang tak pernah basi. Ia mengutip apa yang berabad-abad lampau dikemukakan oleh Plato, berikut :


Bahwa semula, kita dan pasangan kita dilahirkan sebagai kembar. Aku dan dia, kau dan seseorang, seseorang dengan seseorang lainnya. “Mereka diciptakan Tuhan dengan dua kepala, dua leher, dua badan, dua pasang tangan, dua pasang kaki, dan seterusnya,” begitu kata Plato, “tapi mereka hanya dikarunia satu hati, satu jiwa. Dan mereka harus berbagi.” Suatu hari, tersebab takdir tertentu yang takterjelaskan, mereka harus terpisah satu sama lainnya. Namun, sejauh apapun mereka berpisah, jiwa mereka akan saling “memanggil”, saling mengirimkan sinyal untuk saling mendekat, dan kelak—bila mereka mengikuti panggilan itu—mereka akan bertemu kembali (Plato And The Theory Of Forms, Tim Ruggiero, Philosophical Society, July 2002).


Begitulah diceritakan bahwa Adam dan Hawa akhirnya “bertemu kembali’ di Jabal Nur setelah lama saling ”memanggil”. Mungkin apa yang dimaksudkan Fahd adalah saat telah bertemu dengan seseorang dan dia merasa yakin bersamanya akan dilanjutkan perjalanannya ke dalam diri dan pernikahan adalah pertemuan kembali. Karena selama ini kita dipisahkan dalam kehidupan masa lalu yang berbeda, latar belakang, pola pendidikan orang tua, lalu dipertemukan kembali dalam suatu pernikahan. Pernikahan merupakan proses menggali-mengenal lebih dalam-mengenal lebih dalam-demikian seterusnya- yang butuh kebersamaan dan komitmen yang panjang.

Ah, aku tidak pintar menjelaskan intisari pemikiran Fahd, tapi setelah aku membaca pemikirannya aku jadi semakin mengerti. Ya, panggilan itu..apapun istilahnya, hal yang aneh tak terjelaskan. Bukan karena jarum jam yang terus berdetak (karena tetap saja aku masih merasa muda, kawan ehehe), bukan karena teman-temanku sudah hampir semuanya menikah. Aku senang menghadiri pesta pernikahan teman-temanku, bahagia untuk mereka tapi sama sekali tidak memberikan efek signifikan terhadap keinginan untuk menikah.

Pun juga pertanyaan orang tua, keluarga besar, saudara, teman..kapan?kapan?kapan..ehehe serasa itu pertanyaan wajib dan paling penting di dunia. Tapi tak jua itu menggangguku kawan, aku menganggapnya sebagai sebentuk perhatian saja yang kadang masuk telinga kiri dan mungkin tidak sampai tulang sanggurdi, tak terdengar di hatiku. Dan syukurlah aku tidak merasa terbebani karena seperti yang pernah kutulis dalam tulisan di blogku ‘mengapa harus menikah?” tingkat ke-urgensi-anku memang belum memenuhi syarat 3 kebutuhan itu.

Tapi dengan berat hati sekarang kukatakan “ Sial kawan, panggilan itu datang” ahaha…

Aku tidak harus menjelaskan panjang lebar, karena saat Tuhan membalikkan hatiku aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tak jua kukenal orang itu dengan baik, tapi panggilan itu lamat-lamat kudengar. Mungkin ini berarti berita baik ehehe.. . Dan ”Jabal Nur”-ku sepertinya sudah pernah kujejaki.

Menengok ke belakang, aku teringat akan sebuah peristiwa, kepingan puzzle dari sebuah gambaran utuh yang kupikir berdiri sendiri tanpa ada episode berikutnya.

Akan kuceritakan sedikit, saat itu dengan perasaan gundah dan menyesal aku menghabiskan waktu untuk menunggu jadwal kereta berikutnya dengan mencoret-coret di bukuku. Sebal, gara-gara keteledoranku aku telat mengejar kereta menuju Roma, hingga harus terkatung-katung di Sta.Perugia Fontevegge. Duduk di ruang tunggu sambil mengamati orang-orang bersliweran, seorang wanita yang berjalan terburu-buru, sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang lucu-lucu, mungkin akan berangkat berlibur, atau beberapa pendatang seperti orang timur tengah yang nomaden dengan buntelan besarnya. Hingga rasanya saat itu aku ingin menulis :

21.06.08 Sta Perugia Fontevegge 09.30 am


” kenapa manusia harus melalui siklus lahir, besar, bertumbuh, menikah, punya anak, menjadi tua dan mati?. Terbesit pertanyaan siapa pada mulanya yang memulai standard hidup demikian. Di berbagai bangsa, tradisi dan ras semuanya cenderung untuk mengikuti pola yang sama.

Bagaimana pola pikir manusia zaman dulu saat mengawali sebuah peradaban manusia dengan kemampuannya berpikir dan berkarsa. Kenapa dulu manusia tidak memutuskan untuk lahir, tumbuh seorang diri walaupun hidup dalam suatu komunitas sosial, menjadi tua dan kemudian mati?”


28.07.09. Purwokerto, Ina. 09,43 pm

Kawan, setelah membaca tulisan fahd Jibran dan membuat tulisan ini. Aku tiba-tiba merasa bahwa Tuhan sudah menjawab pertanyaanku beberapa jam berikutnya dari saat aku menuliskan coretan di atas.

Dengan rentang waktu yang demikian lama, kau pasti bisa memperkirakan berapa lama aku baru bisa mencerna jawabanNya..Ah, lelet ya..tapi setidaknya aku bertanya, karena kepastian jawabanNya adalah mutlak adanya. Dan karena bertanya tak membuatmu berdosa..


source of pic : http://www.lucis.me.uk/truelove.jpg

Taj Mahal- Beneath a Marble Sky

“ Jangan pernah mengabaikan cinta, Anakku. Menolak hadirnya sama artinya dengan menelantarkan hadiah Tuhan yang terbesar. Lagipula, siapakah kita yang sanggup mengabaikan Tuhan?”


Begitulah pesan Sultan Syah Jahan pada putrinya, Jahanara. Saat cinta mendatangi putrinya dengan sekeranjang derita dan bahagia yang dibawa Isa, seorang arsitek brilian yang dengan tangan-tangannya mampu mengubah batu-batu menjadi keindahan bangunan yang sampai kinipun merekam keagungan cinta Sultan Shah Jahan terhadap istrinya, Mumtaz Mahal. John Shors, si pengarang buku ini menghadirkan kisah nyata tentang Taj Mahal yang amat terkenal di India, oleh penerbit Mizan dialihbasakan dengan judul Taj Mahal- Kisah Cinta Abadi, sedangkan judul asli buku ini bertajuk ”Beneath a Marble Sky”. Banyak orang yang mengetahui bahwa bangunan nan menawan itu adalah hadiah sang sultan bagi istrinya, tapi belum banyak yang mengetahui haru biru kisah yang melatarbelakangi pembangunannya.

John Shors mengisahkan dengan bahasanya yang halus, deskripsinya yang detail dan kemampuan menggiring pembaca untuk terus melewatkan baris demi barisnya tanpa merasa jenuh. Ia mengambil sudut cerita dari salah seorang putri sultan Syah Jahan yang bernama Jahanara. Seorang putri yang pemberani, pengagum cinta kedua orang tuanya namun dibesarkan di balik Benteng Merah yang seringkali membuatnya ingin berkelana mencari tahu kehidupan seperti apa di balik Benteng Merah. Ia sangat mengagumi cinta kedua orangtuanya, yang walaupun sang sultan mempunyai banyak istri karena tradisi kerajaan yang membuatnya mempunyai banyak istri-istri ”politis” demi kepentingan kerajaan, namun hanya seorang yang dicintai sultan, istrinya yang biasa dipanggilnya dengan panggilan kesayangan Mumtaz Mahal. Tapi sayangnya Jahanara harus menerima tradisi kerajaan yang menjodohkannya dengan Khondamir, seorang saudagar perak yang selama ini menentang kebijakan sultan.

Jika ayahmu dan aku dipertemukan demikian, dan sekarang sangat sulit dipisahkan, maka apa yang membuatmu berkata bahwa nasibmu akan berbeda?” Begitu kata Ibu Jahanara saat ia gelisah menerima keputusan ia akan segera dinikahkan.

Tapi kekhawatirannya terbukti benar, Khondamir seorang suami yang tidak pernah mengangapnya sebagai seorang wanita yang cerdas, mempunyai hak dan keinginan untuk melakukan banyak hal yang berguna. Khondamir memperlakukannya dengan sangat buruk, dan cinta bagi Jahanara terasa sejauh Roma dari Agra, tempat tinggalnya. Sementara di kerajaan mulai muncul persaingan antara putra-putra sultan untuk menduduki singgasana merah. Dara, putra laki-laki sultan yang nantinya akan menggantikan sultan untuk memegang pucuk pimpinan malah lebih menyukai bergumul dengan buku-buku di perpustakaan, menulis syair dan buku. Sementara, Aurangzeb, salah satu putra sultan yang lain sangat berambisi untuk merebut tahta dari tangan Dara, saudara laki-lakinya. Ia gemar berlatih perang, menjalin mitra dengan sekutu-sekutu kerajaan, namun sayangnya tabiatnya buruk dan sifatnya jahat. Dan malapetaka datang saat Ibu jahanara meninggal saat melahirkan bayinya di kemah pertempuran. Kematian itu membuat gairah hidup Sultah Syah Jahan mati, cintanya telah pergi bersama maut yang menjemput istrinya. Demi cinta dan janjinya pada istrinya, ia memanggil Isa, seorang arsitek dari Persia untuk membangun sebuah bangunan di tepi sungai Yamuna tempat jasad istrinya akan dimakamkan. Dan Isa mendesain sebuah bangunan nan megah dan agung yang nantinya akan dinamai seperi nama istri sultan, Taj Mahal-berasal dari Mumtaz Mahal yang berarti Istana Pilihan. Sultan Syah Jahan memerintahkan Jahanara untuk ikut membantu pembangunan Taj Mahal, dan pertemuannya dengan Isa adalah perjumpaannya dengan cinta sejati. Cinta menyapa mereka berdua dengan ketertarikan satu sama lainnya, dan cinta itulah yang mengingatkan jahanara akan cinta antara ayah dan ibunya.

Inilah kisah haru biru yang menyertai pembangunan Taj Mahal :

“Aku menggambar Taj Mahal dengan memikirkanmu. Aku membangun sedemikian rupa agar matahari bisa menari-nari di atas batu pualam dengan cara yang serupa. Aku menanggung ketidakhadiranmu di hati—ketakmampuanku memilikimu sebagai ibu dari anak-anakku, dengan memahat batu sesuai dengan citramu. Aku berkarya untuk menghormatimu karena inilah satu-satunya caraku mencintaimu, dengan mempersembahkan cintaku pada dunia”


Uhm..kisah inilah yang tak tersentuh permukaan dari latar belakang pembangunan Taj Mahal. Mereka berdua tidak bisa secara terang terangan memadu kasih, bagaimanapun juga Jahanara adalah seorang istri dari Khondamir. Tapi cinta itu terus tumbuh subur seiring pembangunan Taj Mahal selama bertahun-tahun.

Tapi kemudian mendung hitam menaungi kerajaan, Aurangzeb berusaha membunuh Dara dengan siasat liciknya, yang berkali-kali digagalkan oleh Jahanara bersama dua orang sahabatnya, Ladli dan Nizam. Sementara cinta Jahanara dan Isa terus berlanjut, dengan dibantu sultah Syah Jahan yang mempertemukan mereka dengan membeberkan rahasia adanya terowongan rahasia antara kamar Ibu Jahanara dengan sebuah rumah di luar kerajaan. Dengan terowongan itulah mereka bertemu, dan lahirlah seorang anak bernama Arjumand yang walaupun diakuinya sebagai anak Khondamir. Ulah Aurangzeb semakin mengacau, ia memerintahkan membakar candi-candi hindu dan itu pulalah yang menimbulkan perlawanan dari orang-orang hindu. Agra adalah kerajaan dimana umat hindu adalah mayoritas, namun orang-orang islam sudah berkuasa selama beberapa generasi. Dara adalah orang yang sangat cinta perdamaian, sehingga ia banyak menulis kitab-kitab tentang persamaan dan perdamaian tentang hindu dan islam, berbeda dengan Aurangzeb yang memanipulasi agama untuk merebut kekuasaan.

Kisah ini dilumuri oleh peperangan, bahkan kudeta seorang anak yakni Aurangzeb terhadap kekuasaan Ayahnya, serta hukuman penggal kepada Dara yang dinilai menyebarkan ajaran yang salah. Haru biru kisah pemenjaraan Sultan Syah Jahan dan putrinya Jahanara yang dilakukakan oleh putranya sendiri, Aurangzeb. Sultan akhirnya meninggal karena tua dan sakitnya sambil memandangi Taj Mahal sebagai wujud cinta sejatinya pada istrinya. Sementara Jahanara dengan perjuangannya menemukan kembali Isa dan anaknya Arjumand yang melarikan diri ke Bijapur. Kisah hidupnya selanjutnya dihabiskan di desa sebelah selatan Kalkuta bersama Isa, Arjumand, Ladli dan Nizam. Dan Taj Mahal yang agung terus bertahan dikagumi orang seluruh dunia hingga kini. Bangunan yang menyimpan kisah cinta sejati sultan Syah Jahan dan istrinya serta cinta Jahanara dan Isa.

Novel ini cukup memikat karena alurnya yang naik turun dan mengalir dramatis hingga tak pernah bosam untuk terus mengikuti kisahnya sampai akhir. Kisah ini cukup membuatku untuk berkeinginan untuk melihat langsung Taj Mahal suatu saat.

“ Kau tahu, Jahanara, Hidup dan gairah kemudaan, kekayaan dan kejayaan, semua terseret oleh zaman. Disebabkan oleh kefanaan kau lalu berjuang untuk membakakan hatimu yang muram. Biarlah musnah kemewahan rubi, mutiara dan berlian. Cukuplah setetes air mata ini, Taj Mahal ini, yang tersisa. Kemilau, tiada ternoda, di pipi waktu, selalu dan selamanya ( Rabindranath Tagore)


Judul Buku : Taj Mahal- Kisah Cinta Abadi

Judul Asli : Beneath a Marble Sky

Penulis : John Shors

Tebal : 457 Halaman

Penerbit : Mizan Pustaka

Genre : Novel Sastra

Sabtu, 25 Juli 2009

Merindunya



”Jangan pernah engkau berpetualang, bila hendak mencari akhir darinya. Ia akan menggodamu ke ceruk-ceruk yang lebih menantang”

Ehehe ini bukan kata bijak siapa-siapa, itu kata-kataku. Entah mengapa aku suka membuat beberapa penggal kalimat dan menuliskan namaku di bawahnya. Mungkin karena aku suka membaca kata-kata bijak dari berbagai tokoh maupun orang terkenal baik yang berabad-abad lalu maupun yang masih hidup kini. Aku selalu takjub dengan beberapa penggalan kalimat yang telah banyak menginspirasi banyak orang. Dan barisan kalimatku di atas ingin bicara tentang petualangan, kawan.
Bila engkau ingin hidup yang mudah, jangan memilih untuk berpetualang dan menantang mara bahaya. Tapi bila engkau ingin merasakan daya hidup dalam hembusan nafasmu, mulailah petualanganmu untuk merasakan hidup dalam kekinian.

Aku memang belum tahu banyak tentang petualangan, aku hanya pemula yang begitu tergila-gila dengan petualangan. Ia menawarkanku beribu pema
knaan hidup yang terletak pada pencarian, pertanyaan dan jawaban. Dan kini aku merindunya. Merindu saat merasakan tapak kakiku serasa tak menginjak bumi, walau getar kegugupan yang dirasakan jantungku serasa akan meledak. Aku baru tahu manusia bisa merasakan saat-saat seperti itu. Dan sekali lagi, kini aku merindunya.
Orang bilang saat manusia dilibat rutinitas, pekerjaan dan tanggu
ng jawab maka urat hidupnya akan mati. Entahlah, adakalanya hal itu terasa benar. Tapi manusia membutuhkannya karena semua tanpa hal itu, pesona yang mengerjap menawarkan kebebasan hanya akan terasa seperti rayuan sang kasmaran pada awal perpaduan, pesona sesaat yang takut tersibak kepalsuannya. Ah, bicara apa aku ya..mengapa tiba-tiba kata-kataku mengalir tidak lugas?
Engkau mungkin bertanya dan menyergahku dalam hati, ”heh apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Mengapa tak biasanya berbelit-belit?“ ehehe...

Aku tengah ditelan kerinduan, kawan. Kerinduan pada hal yang tidak ada di sisi, pada hal yang jauh dari pandang, pada tempat yang pernah mengisi hati. Hatiku ngilu saat menatap gambaran bisu, yang merekam senyuman merekahku, tempat-tempat di negeri dongeng itu, wajah-wajah yang mungkin tak bisa lagi kujumpai dalam ayuna
n langkah ke depan. Aku tidak tahu apa yang ditawarkan masa depan, tapi aku yakin dengan setiap tapakku yang mengangkahi bumi.
Dulu aku berpikir dengan mengunjunginya, kerinduan berkaratku akan tuntas. Tapi mengapa saat kaki telah melangkah pergi, dan waktu terus mengalir dalam perputarannya, tali itu tak pernah lepas dariku. Mengikuti kemana saja aku pergi, membebatku dengan kenangannya. Lalu aku harus menyalahkan siapa, kawan?

Ah, sebaiknya kuakhiri barisan kalimat yang semakin menyulut rinduku. Mungkin gerimis rintis tadi sore menghilangkan akal sehatku, hingga membiarkan diriku berlama-lama bicara pada angin dan mengira ia akan menyampaikan kerinduanku pada tempat-tempat yang jauh itu. Serasa masih sesak apa yang memenuhiku saat ini, dan dalam satu kejapan mata, dalam tetes hujan yang dihadiahkan langit, pada sesapan kopi ya
ng terakhir, dalam baris yang tak mau berhenti kutulis, aku sungguh merinduinya.
Awal tahun depan, seorang sahabat akan datang mengunjunginya.
Bahagiaku membuncah untuknya, karena aku dan dia pernah berbagi mimpi dan cinta yang sama tentang tempat itu, maka nanti aku ingin ia membauinya untukku. Membaui jerangan kopi Lavazza dalam Bialleti di pagi hari, menciumi aroma pizza carbonara yang baru selesai dipanggang, dan merasakan hembusan angin sore yang dibawa laut Mediterania.
Dan menyampaikan pada daun-daun musim gugurnya, bukit-bukitnya yang menjulang serta kastil-kastilnya yang agung, ” Bila masa depan masih memberiku waktu dan mimpi, aku ingin mengunjunginya (lagi), rumahku. Dan mengenalkan orang-orang yang akan mencintainya seperti caraku mencintai tempat itu”
23 07 09 9.10 pm