Sabtu, 31 Oktober 2009

Sebuah Cerita di Musim Penghujan


“ Ciptakanlah desain untuk hidupmu sendiri, engkau mau seperti apa, ingin kemana atau meraih apa..tentukan petanya dan melangkahlah..

Bila ada semak belukar di jalanmu, singkirkanlah, berjalanlah lagi

Bila bertemu perempatan dan engkau bingung harus kemana, tanyakan pada hatimu dan dengarkan juga kepalamu, lalu tentukanlah arah mana yang ingin kau tempuh,

Lalu katakan dalam hati “apapun itu aku tidak akan menyesal mengambil jalan ini”, dan melangkahlah lagi..”


Pada hidup yang penuh ketidakpastian, aku berhutang pembelajaran bahwa justru saat itulah rasa penghambaanku padaMu menjadi sedemikian terasa. Saat desain hidup yang telah kutata tiba-tiba dibelokkan, saat diri tak kuasa dan harus mengakui banyak hal yang terjadi di luar kuasaku..aku semakin menemukanMu Bila dulu aku lahir saat orang belum mengenal Tuhan, tidak mengenal agama apapun, aku yakin pada akhirnya aku akan merasa ada “Sesuatu” yang mengendalikan segalanya dan menyadari kemanusiaaaku.

Aku mencariMu pada jalan-jalan yang nyata kurasakan, pada lembaran yang jelas-jelas Engkau berikan padaku untuk membacanya (hidupku), dan menemukanMu.

Aku menikmati pergulatanku dengan Engkau. Menikmati rasa kadang betapa “nakal”nya aku terus menerus menanyaimu, bersikeras pada akal manusiaku, keras kepala pada apa yang aku mau. Engkau tersenyum, kadang mengangguk..kadang menggelengkan kepala. Aku memang bukan manusia-mu yang tunduk runtut, mengiyakan, menghamba tanpa pertanyaan. Aku berubah menjadi pribadi yang gelisah menarik-narik ujung bajuMu, bertanya ini dan itu, memaksaMu terkadang untuk memberikan jawaban segera. Dan bila sudah begitu, Engkau akan tersenyum dan menjawabku dalam diam.

Manusia pemberontak, Engkau mungkin melabeliku seperti itu. Ehehe..aku lebih suka Engkau menyebutku seperti itu daripada menjadi si manusia penurut yang bodoh. Aku suka saat kurasa Engkau menggelengkan kepala pada kemauanku, lalu aku akan merajuk

“ayolah..aku benar-benar mau itu..pokoknya itu! Nggak mau yang lainnya” kataku dengan keras kepala. Aku menikmati kekukuhan hatiku saat memperjuangkan mauku padaMu.

Engkau tersenyum lagi, tetap menggelengkan kepala.

“ Ughhh..aku yakin nanti keputusanMu akan berubah, aku akan pegang keyakinanku ini, aku akan memperjuangkannya sampai aku lelah, biarkan aku keras kepala,” kataku bersikeras sambil mengerutkan kening di hadapanMu.

Tapi dengan segera aku akan menambahkan “ Tapi tunjukkan padaku pertandaMu, agar aku bisa mengerti, jangan biarkan aku tersesat”

Sekali lagi Engkau tersenyum, mungkin geli ada manusia seperti aku.

Aku ingat pemberontakanku beberapa saat yang lalu. Ada sebuah kalimat yang pasti semua orang pernah mendengarnya.

“Bila dia memang untukku maka dekatkanlah, bila memang bukan untukku jauhkanlah”. Fiuhhh…apakah engkau akan dengan tulus hati mengatakan seperti itu saat hatimu begitu menggebu menginginkan seseorang?ehehe..aku jamin tidak. Maka aku memilih untuk tidak mengatakan seperti itu, berkata seperti itu dalam barisan kalimat yang runtut dan nampak begitu bijaksana itu tentu saja mudah, tapi luncuran kata-kata itu akan mengalir bersama kekosongan, dan serasa bertolak belakang dengan hati. Aku memilih untuk tidak menurutinya. Aku memilih untuk menikmati pemberontakan itu. Deru akan terasa, ngilu, dan diri manusiaku yang keras kepala akan terlihat jelas di hadapanMu.

Aku membiarkan diriku meyakini apa mauku, mengikuti kata hatiku, dan puas dengan berpeluh akan perjuanganku. Aku merasa menjadi manusia.

Tapi Engkau memang..apa ya..uhmm..aku tidak bisa memilih kata yang tepat. Aku dengan heran mendapati diriku pada akhirnya merasakan “keikhlasan” yang bersumber dari pengingkaranku. Penghambaan itu terasai dengan begitu dalam. Merasakan gradasi perubahan itu, membuat apapun dalam hidup menjadi semakin “terasai”.

Aku tidak akan mencapai titik ini bila aku penurut dari awal, penurut yang hambar. Aku ingin “merasai” semuanya dengan sungguh. Keber-Tuhan-anku, dan semua sikap hidupku. Dan begitulah suatu cerita di musim penghujan, cerita tentang manusia yang ada dalam diriku. Dan dengan tersenyum aku menatap tulisan yang tertempel di dekat meja belajarku

“Urusanku bukan mencari tahu kehendakMu atasku. Tapi pada titik ini aku tahu apa yang aku inginkan, mempunyai tekad untuk memperjuangkannya, dan bersedia berpeluh dalam perjalanan untuk mewujudkannya. Dan manakala takdir jatuh, penerimaan atas KuasaMu lah proses yang memanusiakanku”

Aku memilih cara ini untuk menjadi manusiaMu, untuk mencari dan menemukanMu. Entah nanti!

Bersama derai hujan di luar jendela, aku ingin berkata padaMu sambil tersenyum,

“aku suka ketidakpastian yang Engkau ciptakan dalam hidup, karena hal itulah yang membuatku menemukanMu, bukan mengikuti apa yang ditunjukkan atau dikatakan orang lain …atau siapapun, aku menemukanMu sendiri”


***31 ottobre 09 7.28 am***

source of pic : http://www.freefoto.com/images/16/05/16_05_76---Rain_web.jpg

Jumat, 16 Oktober 2009

Kitab Pusaka TOEFL

Kenapa kitab pusaka? Ehehe..karena begitulah disebut oleh para milister beasiswa yang berbagai informasi tentang sumber-sumber buku yang recommended untuk menaklukan test TOEFL. Dulu aku beranggapan, yang penting belajar dengan baik, pasti skornya bagus.

Tapi nyatanya “belajar dengan baik” tidaklah sesederhana kalimatnya. Aku memang bukan jebolan kursus inggris yang bonafide seperti EF (kabarnya jebolan EF bahasa inggrisnya top), sayangnya di Purwokerto nan mungil ini nggak ada EF yah. Dari dulu pun belajar bahasa inggris dengan autodidak, jadi dalam menjawab soal lebih sering memakai “feeling” daripada teori ehehe, but so far so good..tapi yah pas-pasan, skor terakhir saat mau lulus S2 hanya mencapai 513, lha kok skornya segitu-gitu melulu yah..padahal untuk standard syarat pengajuan ke luar negeri harus minimal 570an. Masih banyak ya harus didongkraknya. Alhasil harus memutar otak untuk mendongkrak skor…

Pilihannya …ikut kursus TOEFL, untuk kursus TOEFL di LIA (hiks cuman itu tempat kursusan yang rada mending di Purwokerto) biayanya sekitar 500 ribu, brosur sudah di tangan, sudah ke kantornya sekali pas nganterin temen tanya tentang test TOEFL (busyet ternyata kagak ada tes TOEFL di Purwokerto…harus ke Jogya huhuhu).

Tapi setelah mempertimbangkannya, dan kembali membaca kitab pusaka menaklukkan TOEFL ala Ahmad Syamil yang kudownload dari file milis beasiswa, aku berpikir ulang, dan bertanya pada diri sendiri. “Apakah dengan ikut kursus akan secara signifikan meningkatkan skor TOEFLmu? I’m not so sure..bukannya tidak mau mencoba, bukannya meragukan kemampuan si lembaga itu, tapi pengalaman ikut kursus bahasa Inggris di Jogya hasilnya tidak signifikan meningkatkan kemampuan bahasa inggrisku.

Kelemahan terbesarku adalah tata bahasa, lemot bener aku dengan bagian yang satu ini. Dari sejak belajar bahasa inggris sampai sekarang, nggak mudeng-mudeng juga. Mending disuruh cas cis cus ngomong, soalnya dalam bahasa oral yang penting lancar dan yang kita ajak bicara ngerti apa maksudnya, that’s the point! Tapi kemampuan oral sama sekali tidak berbanding lurus dengan kemampuan menulis ataupun tata bahasa, sekilas menilai kemampuan diri di bagian itu..amburadul!!!ehehe..(walau lumayan banyak juga abstract skripsi dan tesis hasil buatanku yah… ehehe..sok PD aja).

Nah, berdasarkan rekomendasi dari si suhu yang menurunkan kitab pusaka TOEFL ini plus saran-saran dari milister, ada satu buku yang kayaknya favorit banget. Buku TOEFL Cliff.. judulnya : Cliffs TOEFL Preparation Guide.

Gosipnya buku ini sip bener buat belajar TOEFL, ufff dahi berkerut karena sebelumnya belum pernah mendengar reputasi buku ini. Si suhu bilang, kalau nilai TOEFL alami tanpa belajar sekitar 500an maka pakailah buku ini” begitu wasiatnya ehehe.

Ada beberapa buku lain yang direkomendasikan, yakni :

1. Barron: How to Prepare for TOEFL

Menurut si suhu, buku ini hanya menghadirkan pola-pola structure belaka. ketika Anda menginjak pola yang ke 30, kemungkinan besar Anda sudah melupakan pola 1 sampai dengan 10! Buku ini, menurut saya, bersifat mengingatkan tapi kurang memberikan pengertian pada para pembacanya”. Uhmm aku manggut-manggut, begitulah yang terjadi saat aku belajar structure sebelumnya, mudeng bagian yang satu, pindah ke bagian yang lain trus lupa..begitu terus berulang-ulang..jadinya nggak ada progress. Dan tata bahasa rasanya menjadi musuh besarku.

2. Building Skill for TOEFL terbitan Nelson atau Bina Rupa Aksara (khusus hak edar Indonesia). Nah katanya ini untuk yang nilai TOEFL awalnya 400an

3. Buku Preparation Course for the TOEFL terbitan Longman dengan pengarang Deborah Phillips. Nih bisa didownload e-booknya di :

http://www.scribd.com/doc/19709471/longman-toefl-test-preparation-by-dborah-philips

Sekedar iseng survey di Gramedia, sambil membayangkan bukuku selanjutnya mau ditempatkan di rak mana (doohhhhh PD abis ekekek, mending optimis daripada pesimis ya toh ehehe), aku meneliti buku-buku TOEFL yang dijual. Hampir 70% buku karangan orang Indonesia (dengan penuntun bahasa Indonesia tentu saja), covernya fantastis, ada yang bertuliskan ” raih skor 650! Dijamin” wuelah..wuelah...bombastis bener yah..tapi setelah melihat-lihat isi buku-buku tersebut, uhmmm...komentar apa yah...sayang duitnya deh buat beli ihihihi. Ada juga buku Barron yang super tebal, harganya 524 rebu plus CDnya...hmmm...bisa cenut-cenut duluan belajar dengan buku setebal itu, cenut-cenut juga kantongnya buat beli tuh buku.

Dan aku terlanjur penasaran dengan buku Cliff, hingga saat sahabatku Asti sedang ke Jogya, langsung saja aku menitip untuk dicarikan kitab pusaka itu. Ternyata memang tidak gampang mencarinya (di Gramedia nggak ada tuh...), akhirnya setelah ngubek-ubek Taman Pintar akhirnya nemu juga bukunya... Voila! Buku itu kini di tanganku dan sudah kuubek-ubek isinya. Dan membuatku takjub!Duuhhh kenapa nggak tau buku ini dari dulu-dulu yah..

Kenapa?yap...buku itu setidaknya bisa membuatku mudeng tata bahasa? Membuat mudeng si lemot grammar ini bukankah tidak mudah?? Ya betul betul betul (versi ipin upin), buku ini enak dipelajari, detail tapi tidak rumit. Aku kadang heran menyimaknya, sambil membandingkan dengan beberapa buku tata bahasa Inggris yang dulu kubeli. Nasib buku itu hanya kupajang di rak buku, beberapa kali kusentuh dan kupelajari saat mood mendongkrak bahasa Inggrisku lagi naik, tapi akhirnya lagi-lagi lupa dan berakhir tanpa kemajuan yang berarti.

Ah, baru kusadari ternyata belajar butuh bantuan metode yang sistemik..salah satunya buku yang dipelajari harus mengerti kerja otak. Sebuah buku dengan sistematika tertentu membuat otakku gampang mencerapnya, uhmm..memang tidak salah para pendahulu penakluk-penakluk TOEFL yang merekomendasikan buku ini. Makanya aku ingin men-share informasi ini, siapa tau bagi yang ingin mempelajari TOEFL cocok dengan buku ini. Oh ya, untuk Cliff Toefl yang CBT (computer based toefl) dapat didownload e-booknya di link ini :

www.scribd.com/doc/13090525/TOEFL-Cbt-Book

Untuk CD kaset untuk listeningnya bisa didownload di rapidshare

Rasanya cukup dengan dua kitab pusaka Cilffs ini di tangan, plus donlot-an e-book pelengkapnya. Bismillah.. bila sudah khatam akan segera mengikuti tes TOEFL beneran. Speed Up...Speed Up...

Senin, 05 Oktober 2009

Menentukan Arah


Gerimis rintis yang tiada henti sejak tadi siang membungkus suasana yang sendu menjelang sore di Purwokerto. Musim sudah mulai mendekati penghujan, hingga gerimis rintis di pagi ataupun hampir sepanjang hari harus bisa dimaklumi. Tetesannya yang lembut mengingatkanku akan salju, di negeri seberang sana mungkin sebentar lagi musim dingin. Di dunia antah berantah nun jauh di sana, dan aku tengah bergerak mendekati koordinat itu.

Ah, bicara tentang koordinat, aku merasa sejauh ini agak terlalu lambat melangkah. Bukankah tahun ini tak terasa sudah memasuki bulan-bulan akhir? Oh lihatlah serentetan rencana yang tersusun apik di awal tahun yang masih menunggu untuk segera diwujudkan. Sebenarnya di awal tahun, aku sudah menentukan titik-titik koordinat yang harus dituju, target yang harus diraih, tapi aku menemukan diriku masih tersendat dan belum lagi tersenyum puas akan hasil perjuangan.

Apakah aku meragu? Meragu pada apa dulu yang harus difokuskan pada hidup belakangan ini?

Seperti halnya keraguan yang belum menemukan jawaban tentang kemana? pada lembaga apa harus mengajukan beasiswa? topik apa?

Ah, aku memang agak sedikit terlena. Kebimbangan tentang fokus hidup memang agak mendua di pertengahan tahun ini, dan begitulah diri manusiaku lagi-lagi tersenyum rapuh.

Aku harus berpikir ulang, mengaudit langkah, memantapkan titik koordinat dan menyusun strategi. Aku jelas tidak mau menikmati hidup tanpa arahan yang jelas, ada peta yang harus dicermati, ada potongan-potongan puzzle yang harus dilengkapi. Dan yah, aku ingin memantapkan langkah dan arah. Bila memang keputusanku membawa hidup menuju ke hal-hal yang tidak biasa, lalu kenapa? Tidak harus menjadi biasa saja untuk bahagia kan ehehe?

Dan di sinilah aku, di sebuah kursi asyik meruntuti tuts pada keyboard lenovito yang selalu menempati meja belajarku, dengan serentetan musik yang menyelusup gendang telinga, dan secangkir kopi hangat yang selalu setia menemaniku. Bubuk-bubuk hitam dicampur creamer selalu saja membuatku jatuh cinta. Zona nyaman, yah..zona nyaman yang kadang melenakan. Tapi hidup yang dianugerahkan, setiap detik yang terlewati sepertinya harus dijalani dengan kualitas yang penuh sebagai manusia. Belum terlambat untuk kembali melihat koordinat itu dan mengumpulkan semua daya hidup untuk sampai di titik itu!


1'10'09

Jumat, 25 September 2009

Eid Mubarak, Sebuah Pemaknaan


Di tengah suasana lebaran yang masih terasa, ingin menulis sesuatu setelah sekian lama disibukkan oleh persiapan lebaran. Akhir ramadhan kali ini agak terganggu dengan sakit yang cukup “lumayan” dan beberapa kejadian yang jauh dari kendaliku sebagai manusia. Namun, di sela-selanya ada senyuman saat menyadari bahwa diri manusia ini mungkin tengah disentil Tuhan, bahwa banyak hal yang “Kun fakuyakun..Bila Tuhan menghendaki, maka terjadilah dengan kehendakNya”.

Sampai pada titik perjalananku kini, aku berpegang bahwa ada peran usaha, doaku dan kehendakNya dalam setiap peristiwa dan tahapan hidup yang terjadi. Tapi beberapa saat lalu, Tuhan seperti hendak menunjukkan padaku kuasaNya saat apa yang terjadi jauh dari semua kendaliku.

Dan begitulah akhir ramadhan kujalani dengan sebuah pemaknaan mendalam, dan terselip sebuah peristiwa yang membuat tersenyum dan geleng-geleng kepala

Tuhan, mungkin dulu tak pernah terlintas bayangan dalam pikiranku kalau akan jadi seperti ini ceritanya, skenarioMu memang tak terjamah alur pikiran manusia”, begitulah pemaknaan yang kutoreh saat bersinggungan koordinat kembali dengan penghuni “recycle bin”.


Dan saat gema takbir berkumandang, bertanda satu syawal telah menjelang, ada satu lagi pemaknaan yang hadir. Pemaknaan kata “maaf” yang mungkin menbanjiri inbox dengan pesan-pesan selamat idul fitri dan permohonan maaf, demikian pula status-status di FB. Sudahkah termaknai dengan penuh sebuah kata maaf yang terucap, atau terkirim lewat pesan, atau terdisplay lewat layar komputer? Ataukah sekedar kata-kata yang menjadi rumusan umum yang wajib dan biasa saat idul fitri datang?

Dan mungkin ada yang melewatkan untuk merenunginya..

Beberapa hari sebelum ramadhan beranjak pergi, seperti biasa aku menonton kultum Quraish shihab menjelang berbuka puasa. Saat itu beliau berbicara mengenai bahasan kata maaf, entah mengapa aku selalu suka tuturan kata dan pemaknaan yang disampaikan beliau, salah satu ulama yang kujadikan anutan. Bahwa maaf ada beberapa tingkatan, maaf dalam tingkatan memaafkan, menghapus, dan melupakan kesalahan orang lain..

Aku memaknai “memaafkan” dengan sebuah pembebasan jiwa. Bukankah dengan memaafkan, menghapus dan melupakan kesalahan orang lain kita akan mengurangi beban-beban tak perlu dalam hati?. Apakah pernah ada dendam, ada rasa benci yang pernah mengarat dalam hati.. bukankah rasa-rasa itu akan menjadi beban bagi diri kita sendiri?

Sebenarnya tidak pilihan yang lebih menarik daripada memaafkan, menghapus dan melupakannya, dan kita tidak lagi “membawa” beban-beban masa lalu yang tidak perlu***

Selasa, 08 September 2009

Baru Melahirkan


Alunan lagu Michael Buble “I wanna go gome” melenakanku, sedang mentari belum lagi muncul, hanya semburat merah terlihat dari balkon kamarku. Pagi yang indah, damai dan menentramkan, pagi yang pasti berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Ibadah puasa sudah lebih dari setengah perjalanan, sejauh ini kujalani dengan nikmat dan berwarna. Semester baru sudah mulai berjalan, dan nanti jam 7 pun sudah harus ke kampus untuk mengajar, sejauh ini menikmati kebersamaan dengan anak anak. Tanpa disadari mereka menjadi daya hidupku, energi positif yang ditularkannya padaku. Jiwa muda, energi yang masih penuh, idealisme yang meluap luap, spontanitasnya yang menyenangkan…yah, aku berhutang pacuan semangat dari mereka. Apalagi angkatan baru yang masih ijo-ijo, aktif dan lucu-lucu ehehe…semoga bahan mentah akan terolah dengan baik nantinya.


Ah, kau bertanya-tanya tentang judul di atas yah?ehehe…begitulah pula yang terjadi saat aku menulis status di FB demikian. Siapa yang melahirkan?melahirkan apa?tikus, hamster? Ce’ atau co’? pheww…

Bukan kawan, aku baru saja ikut melahirkan blog, kali ini bukan blog pribadi tapi blog bersama satu angkatan SMA N 1 Gombong angkatan 1999. Persuaan maya kami lewat FB membuat kami kembali menjalin kontak lagi, chat dengan konferensi, ngobrol ngalor ngidul dan ngakak nggak jelas, but that’s so relaxing..sudah lama tidak menikmati “kegilaan” bersama anak-anak SMA itu. Maka lahirlah gagasan reuni besar, pembuatan milis dan blog. Bila ingin menengok sejenak and find how crazy we are..wakakak..just visit : www.dpotter99@blogspot.com


Ah, “rumah” sendiripun agak terbengkalai gara-gara melahirkan “bayi” baru yang perlu ditata dari awal. Tapi penyakitnya adalah aku lebih excited untuk menggarap blog, nulis cerpen lomba femina, nerusin bukuku yang mati suri daripada membuat proposal penelitian, pengabdian masyarakat fiuhhhh..bahaya..bahaya..ihihi..

Tapi pada akhirnya kuakhiri tulisan ini dengan senyuman, akan hidupku yang indah, berbeda dan berwarna. Syukurku tak ingin hanya terucap bisu padaMu, tapi tertranformasikan menjadi laku dalam hidupku..

Sabtu, 29 Agustus 2009

Deru yang Tak Pernah Senyap


Haec Olim Meminisse luvabit (Someday we’ll back on this and smile)

Sebuah bab di bagian buku “Divortiare”-nya Ika Natassa, yang setelah melihat terjemahan kalimat di atas jadi ngeh arti nama blog temenku yang mengambil kalimat yang persis sama..maklum nggak ngerti bahasa latin.

Yap, setiap hari kita membuat sejarah pada masing-masing hidup kita. Bila menengok ke belakang, bukan main banyaknya lembaran-lembaran kisah dengan berbagai warna. Kanvas yang tercorat coret warna warni, bagaimana gambaran yang terbentuk tentu saja itu semua tergantung pada persepsi kita masing-masing. Bukan tidak mustahil kita akan menertawakan hal yang pahit di masa lalu, kekonyolan, kebodohan sikap dan rona-rona masa lalu. Dan titik ini, detik ini pun bila suatu saat masih diberikan waktu untuk melihat titik ini kita juga mungkin akan tersenyum. Entah tersenyum kecut, tersenyum penuh rona kebahagiaan atau penuh kegetiran. Perjalanan itu mengalir seiring perubahan, ia berkelok-kelok, menikung tajam, menanjak ataupun turunan terjal. Hidup tetap saja sebuah detik yang berlalu yang tak pernah sama. Sekian tahun kuhabiskan di bangku sekolah dan kuliah, lalu kemudian hidup beralih dalam dunia pekerjaan yang kadang menyita sebagian besar waktu, lalu proses-proses lain yang akan terjadi pada hidup. Apa sih yang sebenarnya kita cari?

Ada sebuah artikel yang ditulis Gede Prama yang menjadi favoritku, karena pada artikel tersebut aku menemukan jawaban. Judul artikelnya ” Menemukan harta karun termahal”, sering kali kubaca lagi saat-saat senggang dan saat berefleksi. Isinya selalu menarikku kembali bila pikiran, keinginan dan impian sudah bergerak nakal kemana-mana menuruti nafsu kemanusiaanku. Penuturannya sederhana tapi mengena, tentang apa yang dicari manusia dengan kehidupannya. Kebanyakan orang bekerja keras dan berupaya untuk menjadi sukses, terkenal, kaya, bahagia, sejahtera. Kutub percarian masing-masing orang tentu saja berbeda. Ada yang merasa puas dengan karirnya yang selangit, atau hartanya yang berlimpah, ataupun bahkan ada yang memilih jalur-jalur anti duniawi dengan menghabiskan hidupnya hanya untuk bergerak di jalur vertikal. Yah, kita semua mempunyai kutub pencarian masing-masing, dan sasaran pencarian pun mungkin terus berubah seiring pertumbuhan diri manusia.

Ada kalimat yang menyentuh hatiku yang ditulis beliau :

Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi semakin saya selami dan selami, semakin saya tahu kalau hidup adalah perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan harta karun yang harus kita cari, dan membawa kemungkinan terbukanya sebuah penemuan, harta karun kehidupan ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan ke dalam diri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish

Semenjak hidupku berbenturan dengan buku-buku Gede Prama, Zen, diri ini semakin sadar tentang perjalanan. Kesadaran sampai pada taraf mana diri ini bergerak dalam tataran mengerti, memaknai hidup. Seiring proses belajar yang terus kujalani, ada sering kata ”oh ternyata itu yang Engkau maksudkan”, ataupun pertanyaan-pertanyaan ”kenapa Engkau menakdirkan aku di sini, pekerjaan ini, dan pertanyaaan yang terdengar nakal lainnya”. Tapi sampai pada titik pemahamanku sekarang, diri menyadari bahwa Tuhan yang mencipta hidup selalu memberikan makna pada sebuah peristiwa, walau butuh waktu untuk mencernanya. Bukan menyetir ungkapan klise ”ada makna di balik peristiwa”, tapi merasainya. Merasainya, membuat hidup terasa daya hidupnya. Seperti cinta, yang bukan pada angan tapi ada pada tataran pengalaman.

Aku pernah menulis tentang belajar untuk bergerak ke titik pusat, tidak lagi banyak terguncang di pinggiran kala roda kehidupan turun naik. Tapi diri ini masihlah ”kencur” yang masih saja sering terhempas ke pinggiran, tapi perjalanan untuk mencapai titik pusat ini rasanya menyenangkan dilakukan. Tidak pernah merasa tergesa untuk sampai, tidak pernah merasa ada deadline waktu, dan tidak ada seorangpun yang mengejar dan bukan berarti pula menjadikan malas belajar. Perjalanan ke dalam diri tidak membuat kita berkompetisi dengan hidup orang lain. Mencari sumber-sumber kebahagiaan dari dalam yang tidak lagi mempunyai keterikatan, uhmm..mungkin diri ini masih sangat jauh dari tataran itu.

Aku masih merasa betapa sulitnya memeluk dualitas kehidupan dengan sama mesranya. Orang akan memilih sukses di atas gagal, senang di atas sedih, mudah di atas susah. Tapi bukankah hidup tidak pernah lepas dari kegagalan, kesedihan, kemalangan, kesusahan?

Bukankah kita menjadi lebih banyak belajar dari kesedihan, mempunyai semangat tak kenal menyerah yang kita dapat dari tempaan kegagalan-kegagalan yang kita alami, dan menjadi kuat karena kesusahan-kesusahan yang terjadi pada hidup? Tidakkah bila dipikirkan kembali kedua dualitas yang nampak bersebrangan tadi pada intinya sama, berasal dari satu sumber.

Dengan menerima dualitas tersebut dengan sama bukankah akan melepaskan manusia dari keterikatan? Entahlah, itu hanya pemikiranku saja.

Diri sadar terkadang orang menghormati karena label yang tersemat, karena pekerjaan dan profesi, memuji karena (mungkin) ada prestasi. Pernah terpikir apakah kita akan diperlakukan dengan cara yang sama tanpa itu semua? Aku menyadari diri ini masih sering terikat.

“Kenapa mesti gembira bila dipuji dan sedih bila dimaki? Ada orang yang sudah bisa terlepas dari keterikatan, orang jenis ini memang langka ditemukan”

Oh, sungguh saat pertama kali mengerti gagasan ini aku sungguh terpesona dan mengagumi betapa beliau sungguh telah jauh berjalan ke dalam diri.

Mungkin perjalananku masih tak seberapa, tapi perjalananku telah dimulai karena aku ingin terus menapakinya, melihat petanya, dan merasakan perjalanan ini sebagai harta karun hidup.

Aku tidak pernah melarang diriku untuk jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama.. begitulah kucintai hidup yang menawarkan perubahan dalam setiap detiknya.

Dan akupun ingin mencintai kehidupan dan kematian sebagai dualitas hidup...menikmati iramanya seperti deru yang tak pernah senyap ***

Purwokerto menjelang tengah malam. 29 agosto’09


Ramadhan, Bukan Sekedar Ritual


“Ramadhan, tak ingin hanya melihat dari bungkusmu tapi ingin merasaimu sampai tereguk saripatimu”

Masih teringat status FBku menjelang puasa hari pertama beberapa hari yang lalu, kenapa aku menuliskan status demikian?

Karena Ramadhan saat ini terlihat bagai sebuah bingkisan yang begitu cantik bungkusnya. Dilapisi dengan kertas kado yang menarik dan tak lupa disemati pita yang senada, indah rupawan nian kelihatannya. Semuanya berbau ramadhan, stasiun tv berlomba-lomba menghadirkan acara-acara yang agamis ataupun memaksakan beberapa acara yang dibungkus ulang dengan memberikan sentuhan agamis, penjaja makanan yang menjelang sore berderet menawarkan menu berbuka puasa mulai dari coctail, kolak, es kelapa muda serta jajanan berbuka. Ramadhan di Indonesia selayaknya gelaran pesta. Begitulah bila kuamati pola pelaksanaan ramadhan di Indonesia.

Puasa sebulan penuh di bulam ramadhan yang salah satu tujuannya adalah merasakan empati seperti kaum fakir miskin dengan menahan haus dan lapar sehingga diharapkan akan menumbuhkan kepedulian sosial. Tapi anehnya, rata-rata pengeluaran setiap keluarga di Indonesia saat bulan ramadhan malah melonjak naik bukan? Sebuah paradoks yang mengundang pemikiran.

“Balas dendam” saat berbuka dengan berbagai menu di tersaji lengkap di meja makan, yang pasti lebih “wah” daripada makanan yang biasa kita makan sehari-hari..uhmm..jadi bertanya, bagaimana bisa merasakan empati terhadap fakir miskin ya?

Menyiapkan makanan yang sedikit istimewa untuk berbuka tentu saja tidak salah, ini normal dalam kaitannya adanya “reward” terhadap usaha yang dilakukan dengan puasa seharian, tapi berlebih-lebihan tentu saja akan membutakan kita dari esensi puasa yang sebenarnya.

Puasa ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang rutin dijalankan setiap tahunnya. Ritual keagamaan yang rutin, tapi tidak seharusnya membuatnya menjadi sesuatu yang banal. Puasa sendiri sudah setua peradaban manusia, dan telah menjadi bagian dari kebiasaan manusia sejak zaman pra-sejarah seperti yang disebutkan pada injil baik kitab perjanjian lama ataupun baru, di Mahabharata, Uphanishad dan pada Al Qur’an. Puasa yang dalam Al Quran disebut dengan kata shiyam, berakar pada kata sha-wa-ma yang bermakna "menahan", "berhenti", dan "tidak bergerak". Oleh karena itu, secara syariat puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan upaya melakukan hubungan seksual dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Kaum sufi menambahkan, selama puasa kita perlu membatasi dan menahan seluruh anggota tubuh, hati, dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.

Puasa ramadhan harusnya merupakan ”kawah candradimuka” dimana kita harus menempa diri, menyediakan waktu yang lebih untuk hubungan vertikal kita dengan Sang Pencipta, merasakan penghambaan kita dan mencoba refleksikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam sebuah percakapan via telepon dengan sahabat yang biasa bertukar pikiran, pernah terlontar sebuah bahasan mengapa terjadi banyak paradoks di bumi Indonesia ini, negara dengan umat muslim yang terbesar di dunia tapi kenapa berbanding lurus dengan tingkat korupsi, kejahatan, tindakan amoral. Kenapa agama dianggap sebagai sebuah perkara dan berbuat kebajikan adalah sebuah perkara yang lain?? tidak berhubungan. Keber-agama-an masyarakat kenapa tidak tercermin pada perbuatannya sehari-hari?

Mungkin karena beragama selama ini hanya terwujudkan hanya sebuah ritual. Orang mengerjakan shalat, puasa, haji dan sebagainya, tapi ritual keagamaan tersebut tidak menyelusup dalam hati menjadi suatu sikap dan cara hidup

Ada yang salah dengan pendidikan dan penanaman pengajaran agama di Indonesia?

Ataukah bangsa kita selalu suka pada bungkus saja? melakukan ritual tanpa makna.

Bungkusnya yang indah tentu saja tidak salah, asal jangan menganaktirikan isi. Bagai buah yang kulitnya merah merona tapi isinya busuk atau berulat. Bungkus yang menawan tapi isinya meringkuk kedinginan karena tidak tersentuh. Ia berteriak kelaparan karena tidak diberi asupan sebagaimana si kembarnya yakni badaniahnya. Sudahkah kita memperlakukan si badaniah dan si jiwa dengan proporsi yang sama?