Selasa, 11 Oktober 2011

Doaku Bisu

Doaku masih kulantunkan malu-malu

Masih terkadang membisu

Kelu, dan mentasbihkan betapa tak kuasaku dihadapMu

Aku merasa abu-abu

Merasai malaikat dan setan berpadu jadi satu

Menipiskan rasionalitasku

Aku, dengan mauku

Entah apa mauMu, kuperturutkan saja jalan menujuMu

Gusti, apakah karena menjadi abu-abu aku kelu berdoa dihadapMu?
Untuk kali pertamanya, kutanya..harus bagaimana doaku?

Sampai kini, masih membisu

Glasgow, 10 Oktober 2011 8.30 pm

Senin, 10 Oktober 2011

Memasuki Hutan Belantara PhD

Minggu menjelang pukul 19.00 ..sepi, Glasgow yang senyap. Hanya alunan lagu-lagu indonesia yang berurutan kuputar di jet audioku. Mengiringi loncatan pikiranku yang kesana-kemari.

--projek riset—jadwal—dia--training skills—acara before christmas lab—telp keluarga—mulai bikin literature review--kursus bahasa inggris mulai besok—belajar—masak--dia—novelku—projek antologi cerpenku—dia—dan dia lagi..ehehe :D

Baiklah, lupakan pikiranku yang meloncat kesana kemari—aku mau melakukan terapi. Menulis ehehe—entah kenapa aktivitas menulis merupakan salah satu bentuk terapi untuk menyenangkan diri sendiri. Menikmati kebersamaan alur pikiran, ketikan di keyboard, memilih diksi, dan menuangkan sebuah cerita atau apapun.

Kututup sebentar beberapa jendela jurnal dan satu e-book tentang dengue (topik yang harus kudalami selama tiga tahun ini). Humm..memasuki hutan belantara studi phD yang benar-benar baru, asing dan tak dikenali.

“ Mulai kapan kuliahnya?” begitu pertanyaan 100 dollar, maksudnya bila kuhitung berapa orang yang menanyakan itu, maka aku akan mendapat banyak dollar ahaha..

Kuliah doctoral degree kan nggak ada kuliahnya. Trus ngapain aja??itu pertanyaan berikutnya. Dulupun aku bertanya begitu, ibarat nyemplung ke sebuah dunia yang belum kukenali gambarannya sebelumnya. Ah, bakat nekad dan spontanku memang susah hilang ehehe...

Wis nekad-o nduk..ta restui nekadmu!” masih jelas terngiang pesan seorang dosen senior biologiku menjelang keberangkatanku kemarin itu.

Humm...baiklah..Maka kumulai mbabas alas. Mulai kubacai dua buku tentang doctoral degree....Dan...hummm dalam rentang beberapa waktu, perspektifku tentang waktu studi phD langsung berbalik 180 0 derajat. Dulu kupikir waktu 3 tahun studi PhD akan menyisakan banyak waktu luang, karena nggak ada kuliah resmi. Humm bisa voluntering, bisa kerja, bisa bikin banyak tulisan, bisa bikin novel, bisa jalan-jalan muterin eropa. Hoho baiklah, kini setelah agak sedikit tahu ritme studi doktoral. Pernyataanku berganti :

“ tiga tahun rasanya terlalu singkat untuk studi doktor!!

Hoho,..pantes saja, rata-rata studi doktor diselesaikan dalam empat tahun. Tapi penyandang danaku adalah uang dari republik Indonesia tercinta yang mengharuskanku selesai studi dalam tiga tahun (akupun tak ingin lama-lama disini ehehe), maka tiga tahun adalah patokan waktu yang harus kususun time schedule-nya.

Iyap, studi PhD mengharuskan kita untuk menyusun jadwal akademik sendiri, apa yang harus dilakukan per hari, per minggu, per bulan, per tahun.

** you design the curriculum for your PhD project

Jadi, latihan mengatur diri sendiri, apa yang harus dikerjakan, apa yang harus disiapkan, apa yang harus dipelajari, kapan waktunya, berapa budjetnya, apa kira-kira masalah yang akan muncul, bagaimana mengantisipasinya...

Haisssh, yap..fail to plan is planning to fail sodara sodara!!

Sedangkan aku adalah dosen kemarin sore, dengan pengalaman riset yang ..yaaaaah...masih belajar riset. Dan sekarang ngambil studi PhD yang ternyata hampir bisa dibilang tanpa guidance. Artinya, peran diri sendiri dalam keberhasilan studi Phd memegang poin sentral. Supervisor hanya mengarahkan, memberi saran, paling ketemu seminggu sekali atau bila ada progres dan masalah yang harus dibicarakan.

“You’re an expert...doctoral student usually doesn’t need to take a course” kata Alain-si supervisorku itu. Glek, hadeeeeh tepok jidat...hihihi...

Teringat pertanyaan super konyolku dulu pas pertama kali ketemu Alain,

So, what should I do during my first year of PhD?” tanyaku dengan polosnya. Auwww...bila kalian suatu saat mengalaminya, jangan pernah tanyakan pertanyaan konyol ituu..Iqro dulu!!!Iqro...dan Iqro..baca...bacalaaaah...ahahaa...tutup mukaaaa...setelah khatam membaca buku getting a PhD itu rasanya gambarannya agak samar-samar sekarang hihi...

Gambaran yang samar-samar itu, dibumbui dengan deadline yang kemaren sudah diumumkan administrator college-ku. Deadline literature review Januari, sedangkan annual review (presentasi, report dan evaluasi) Juni...nyum nyummm..baiklaaaaah...I’m in trouble now ahaha....menertawakan diri sendiri.

Jadi, proses studi doktoral ini akan dimulai dengan membuat literature review untuk menunjukkan latar belakang riset, tentang originalitas, kebaruan dibandingkan riset lain, serta riset-riset lain yang sudah dilakukan sebelumnya. Kemudian melakukan penelitian, training yang menunjang penelitian, analisis data, menulis report, presentasi, evaluasi, publikasi ke jurnal, dan menulis disertasi.

Hummm...ayooh masuki hutan belantara ini dengan semangat dirikuuu, ehehe walau mulai dari awal, bila semangat melakukannya, tak ada yang tak ada yang tak bisa...

Jadi, teringat sebuah lagu....

“ When I see you smile...I can face the world..
When I see you smile I can do anything “

Yang ditimpalinya dengan pertanyaan, “wuihh bisa dong bikin pesawat boeing 737 setelah melihat senyumku?” blep..blep...bisa, pakai kertas lipat!
Baiklah, Glasgow masih tetap sepi. Heyyy..kenapa kalian masih membacai tulisanku??ehehe...di Indonesia sudah jam 1.36 WIB dan 2.36 WITA (ahaha maksudnya apa....baiklah, kuakhiri tulisanku sebelum kekacauan sistem semakin parah dan ayo ayooo sinaaaaau).

**kembali membuka jendela e-book tentang dengue...mari belajar!!

Rabu, 05 Oktober 2011

Cerita-Di Balik Sebuah Potret

Pagi yang dingin, karena Glasgow beberapa hari ini mulai menunjukkan cuaca “spesial”nya ehehe. Suara pohon-pohon di luar jendela yang tertiup angin terdengar jelas, berulang-ulang bergemuruh seperti badai kecil. Humm..beginilah Glasgow, kota spesialis angin ehehe..hingga bila keluar rumah sekarang terasa benar angin yang mulai menampar-nampar mukaku. Brrrrrr...jadi rindu matahari ehehe...

“ Mau pulang?” ejeknya kemarin sore lewat skype—dengan koneksi library semenjak si tetangga baik hati yang minjemin password internetnya itu pindah, jadi belum bisa internetan lagi di flat.

“ yeii...iyalah mau pulang, tapi entar kalau sudah waktunya. Memangnya aku kalah dengan dingin..dengan angin?” kilahku. Ehehe..masa dengan dingin saja kalah.

Banyak orang hanya melihat tinggal di luar negeri dengan kacamata lurus dengan segala keindahan dan kecanggihan fasilitasnya. Gedung-gedung beraksitektur indah, tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat liburan eksotik dan kecanggihan tram, subway, bahkan bisnya. Mungkin karena begitulah yang tersaji di banyak buku-buku travelling atau buku bersetting luar negeri, apalagi eropa. Negeri mimpi-mimpi banyak orang, termasuk aku tentu saja ehehe...

Tapi banyak yang tak terungkapkan di balik potret “sempurna” itu. Yang mungkin justru membuat potret itu kian sempurna. Banyak orang atau sahabat mungkin hanya melihat potret hanya dari satu sisi, karena hanya itulah yang memang mungkin tersaji. Foto-foto yang kuupload di FB, banyak teman kampusku yang berkomentar saat chat :

“ waah enaknya, jalan-jalan terus..sekolah opo jalan-jalan?”
“ hummm kelihatan “lepas” banget, seneng deh liatnya”

Dan beberapa komentar lainnya. Salah? Enggak juga. Tapi di balik potret itu, ada cerita-cerita lain yang mungkin tak terungkap. Aku kali ini hanya ingin bercerita, yang mungkin tak banyak diceritakan orang-orang yang tinggal di luar negeri lainnya. Bahwa tinggal di luar negeri bukan hanya berisi berkunjung ke tempat-tempat yang indah. Hidup di luar negeri sama saja dengan hidup di tanah air hanya dengan kondisi yang berbeda, yang terkadang butuh tekad yang kuat, motivasi yang dalam untuk menghadapinya. Tanpa itu, kalian hanya akan menemukan sebuah keindahan semu. Mungkin kalian akan menikmati menjelajahi kota-kota, tempat-tempat menarik, namun beberapa saat sesudahnya kalian akan mulai kehilangan antusisme, bosan, dan kehilangan esensi. Apalagi bila kalian tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama. Tapi kalian tidak akan pernah kehilangan esensi bila mempunyai misi yang jelas, untuk apa tinggal di sebuah tempat baru yang sama sekali tak kalian kenali sebelumnya. Itu hanya masalah kesepahaman “tujuan” dengan diri kita sendiri, bila sudah mempunyai suatu kesepahaman tujuan, maka bukankah setiap langkah ke depan menjadi terasa lebih ringan?

Hidup dengan segala sesuatu yang berbeda membutuhkan energi yang banyak untuk tetap “tidak hilang”. Mulai dari bahasa yang berbeda, sistem transportasi yang harus dikenali, jalan-jalan yang baru kalian kenal, tempat-tempat baru, sistem perbankan baru, kampus dengan segala aturan dan fasilitas yang membutuhkan waktu untuk pelan-pelan mengikuti cara kerjanya. Teman-teman baru dengan kultur yang berbeda, atau rasa kesoliteran, kesepian karena belum menemukan komunitas. Kemudian juga problematika makanan, kalian akan menyadari bahwa kalian tidak bisa dengan bebas lagi memilih makanan yang biasanya tinggal beli, masak ataupun bahkan delivery order. Adaptasi makanan, itu juga yang harus kalian pertimbangkan..masa mau kelaparan atau sakit di negeri orang?

Lalu cuaca yang tak biasa. Kita yang biasa bermandikan cahaya matahari, kini harus tiap hari berkelubut pakaian tebal, dengan kaus tangan dan kaus kaki tiap saat. Misalnya di Glasgow, diwajibkan membawa payung atau baju parasut di tas karena hujan bisa datang sewaktu-waktu. Kita di Indonesia yang terbiasa kemana-mana dengan motor, sepeda, ataupun mobil, di sini pun harus siap jalan kaki dalam durasi yang lamaaaaaaa, dengan track yang mantaaaaap..ehehe...sekalian olahraga ahaha.

Dua minggu lalu aku dan mba niken, demi mencari nasi dan indomie di Chun Ying, sebuah toko China di City Center harus mengalami “lost in Glasgow” karena kami sama-sama warga baru di sini. Kaki sudah pegal karena terlalu lama berjalan, bagian belakang tumitku sudah terasa perih. Sedangkan tangan kanannya membawa 5 kg beras, sedangkan tangan kiriku memegang barang belanjaan yang hanya ada di Toko China itu, demi selera Indonesie ehehe. Kami mencari bus yang ke arah Universitas untuk pulang, beberapa orang kami tanyai, mereka menunjukkan ke arah bus stop tertentu, terkadang ada yang menggeleng tidak tahu dan menyampaikan maaf. Sampai kami merasa “masa orang-orang city center jalan ke arah universitas nggak pada ngerti sih?”

Sementara hujan terus mengguyur Glasgow, oh ya kalian tahu bagaimana payung itu dipegang? Dijepit dengan bahu kiriku ahaha...dan akhirnya setelah beberapa lama berjalan, menyerah dengan membiarkan diri hujan-hujanan karena payung itu malah hampir terbang dan membalik karena kuatnya hembusan angin.ahaha...mantaaap.

Membaca arah-arah bis di bus stop, tapi tak menemukan nomor bus yang sesuai. Lalu mba niken yang mulai kelaparan mulai makan pisang di pinggir jalan, dan duduk sejenak di emperan.

“ Waaaah udah nggak kuat ini, naik taksi aja yuk” begitu katanya. Hummm naik taksi ke rumah, hadeeewww...itu bisa 25-30 pounds..420 rebu...kagak relaaaa ahaha...

“ Ntar deh mba, kita tunggu bus sebentar lagi. Kita ke arah great western road saja. Itu kalau nggak salah sudah deket dengan universitas” kataku. Kukenali jalan itu karena aku biasa melintasi jalan itu untuk membeli daging di toko –toko halal.

Begitulah, ada banyak cerita yang tidak hanya sekedar sebuah potret yang tersaji di banyak majalah travelling atau lainnya. Tapi menurutku, itulah bagian yang justru menyempurnakannya. Hanya saja, kalian butuh tekad yang kuat untuk tetap bisa bertahan dalam kondisi yang bagaimanapun. Jangan terhenti dan menyerah. Karena untuk tinggal di sebuah kehidupan yang berbeda akan banyak membutuhkan perjuangan untuk tetap survive. Keluar dari zona nyaman dimana kalian biasa tinggal dengan segala kebiasaan dan kenyamanan, membutuhkan lebih banyak energi untuk menghadapinya. Jauh dari keluarga, jauh dari sahabat dan orang-orang tercinta, menuntut kemandirian dan sebuah daya juang.

Dan yang perlu diingat... hidup kita sepenuhnya adalah pilihan kita sendiri. Aku telah memilih, dan tidak pernah menyesal dengan pilihan yang telah kuambil. Kunikmati saja setiap lintasan dan kejutannya. Aku memilih hidup yang aku inginkan, hidup yang kurencanakan dengan tetap siap dengan kejutan Tuhan. Hidupku, jalur-jalur yang kupilih, karena aku tidak ingin suatu saat menyesal karena tidak berjuang untuk menjalani hidup seperti apa yang kuinginkan. Bila sudah begini, tidak akan pernah ada penyesalan bukan? Bahkan bila suatu waktu kita dipanggil Tuhan, karena kita menjalani hidup dengan mengusahakan setiap detik terbaik.

*Tetaplah bermimpi, memperjuangkan apa yang kalian inginkan dan impikan, karena tidak pernah ada usaha yang sia-sia. Mari memberikan makna dalam hidup yang kita jalani, dengan memaknainya untuk diri kita sendiri, dan akan semakin berarti bila hidup kita bermakna bagi orang lain. Salam mimpi-mimpi!!

--Tulisan ini untuk mahasiswa-mahasiswaku, dengan impian-impian hebat kalian masing-masing. Dan juga untuk sahabat-sahabat lainnya dengan rencana dan impian kalian masing masing juga. Mungkin impian kita berbeda-beda, tapi mari berjalan bersama, untuk menjadikan hidup kita semakin bermakna. Cheers..Have a nice Day.. a Beautiful Life!!

5 oktober 2011, 21 Hillhead Street Basement Level**