Jumat, 10 Agustus 2012

We Grow Up and They Grow Old




Pulang dari lab kemarin, segera kulihat HP Nokiaku yang tertinggal di Flat, dan hanya BB saja yang terbawa. Ada satu pesan masuk, lalu kubuka, isinya singkat saja, hanya menanyakan “Masih di London apa sudah pulang?” sms dari bapak.
Lalu aku melihat jam di tanganku, pasti di Indo sudah hampir tengah malam, hingga kuurungkan niat membalas sms beliau, dan berniat membalasnya pada sahur nanti. Biasanya waktu Indonesia sedang bersantap sahur, sedang di Glasgow sedang berbuka puasa. Ah tumben bapak sms. Nomer simpatiku memang masih aktif selama aku di Glasgow, karena memang sengaja untuk tetap aktif. Biasanya aku ngobrol dengan keluarga saat weekend lewat skype. Minggu lalu sudah kubilang akan ke London weekend ini, mungkin bapak lupa kapan aku ke London. Atau entah kenapa..Kangen? ahhaa ;p
            mba, kemarin beli tahu petis kesukaanmu, wah seret maem-e” begitu cerita ibuku saat skype-an. Pasti bukan kalimat yang asing di telinga kalian, pastilah kalian sering mendengar kalimat sejenis ini dari orang tua kalian.
Humm, orang tua di dunia ini sepertinya semua hampir sama, menyayangi buah hatinya. Lihatlah saja, bila pasangan yang baru saja mempunyai anak, pasti profil pic di FBnya akan berganti rupa menjadi bayi, atau timeline-nya penuh dengan foto-foto buah hatinya tersebut. Tapi bayi itu, akan terus tumbuh dan suatu saat akan meninggalkan mereka.
When your kids go to university, live in a different place, you know that some day -next week, next month, wherever, sooner or later, they will COME HOME. But when they leave home to start their independent lives, you become uncertain WHEN they will see you. They will define 'home' on their own wills, not home as you belong to, not anymore (Bu Atik)
Kalimat di atas adalah status Fb bu Atik (dosen biologiku dulu), membuat aku berpikir sejenak bahwa lontaran perasaannya itu pastilah mewakili banyak perasaan para orang tua.
Semenjak kuliah, aku sudah mulai hidup terpisah dengan tinggal di kos-an, walaupun jarak kota yang kutinggali (Purwokerto) dengan rumah (Kebumen) tidak terlampau jauh. Hampir setiap minggu saat weekend, bila tak ada kegiatan laboratorium atau praktikum pasti pulang ke rumah. Sekitar 4 tahun menyelesaikan kuliah 1, dan kemudian hidup beralih ke Kota Yogyakarta selama 2 tahun. Kemudian setelah itu kembali lagi ke Purwokerto saat aku mendapat pekerjaan sebagai dosen di almamaterku. Lalu pernah terbang ke Italia selama tiga bulan, lalu kini ada di Glasgow, UK saat menempuh studi doktoralku. Semenjak kuliah, aku hampir jarang berada dalam waktu yang lama di rumah.
Pulang, kini menjadi bermakna kata tak lagi sama. They will define 'home' on their own wills, not home as you belong to, not anymore. Iyaps, dengan kondisiku yang nomaden sekarang, definisi pulang, sudah bukan “hanya”makna tunggal, yakni pulang ke rumah asal. Karena sering kali jauh dari rumah, untuk mengeliminir rasa sedih bila akan pergi, maka kata “pergi” kuubah menjadi kata “pulang” karena kata pulang lebih membawa kesan menyenangkan dan menentramkan. Jadi saya bisa pulang ke Glasgow, ke Kebumen, Ke Purwokerto atau ke Jogyakarta. Saya sudah mempunyai definisi pulang tersendiri yang mungkin tak lagi melulu pulang ke rumah orang tua tercinta.
Kita sibuk sendiri dengan urusan masing-masing, hidup terasa melesat-lesat saat tengah mengejar mimpi-mimpi. Tapi mungkin sering kali terlupa pada sosok yang senantiasa ada, mendukung dan mendoakan kita walau dari jauh sekalipun. Bahwa waktu-pun “bekerja” pada mereka, hingga merekapun beranjak menua.
We grow up, and They grow old.
Saya terus bertumbuh, pergi ke berbagai daratanNya, bertemu dengan orang-orang dengan berbagai macam latar belakang, mencintai, dicintai, dan juga mempunyai sahabat dekat yang kinipun telah terpencar-pencar oleh jarak. Kita bertumbuh dewasa, tapi seringkali tak sadar bahwa orangtua kita juga bertumbuh tua. Rambut mereka sudah mulai beruban, gigi sudah mulai tanggal dan harus memakai gigi palsu, kesehatan mereka juga tak sebaik dahulu. Bahkan cara berpikir dan bersikap mungkin juga berubah. Ah, semoga laju perubahan itu terus bisa kudeteksi. Karena waktu, kadang melena, kadang melupa.
            They will miss you” isi BBM seorang kawan saat saya akan “pulang” lagi ke Glasgow bulan lalu. Kubales dengan ikon tertawa,
            Why you laugh?” tanyanya heran (mungkin)
            Aku sudah biasa pergi” jawabku. Kata—rindu,jarak,jauh—telah menjadi akrab di telinga dan juga dirasaku.
Ah, waktu. Semoga engkau masih memberi banyak kesempatan untuk menunjukkan betapa besar cinta saya pada mereka.
Beberapa saat lalu, saya melihat di timeline FB, percakapan seorang bapak (dosen/trainer saya dulu) dengan anak-nya yang tengah berada di luar negeri untuk magang kerja.
Adik mau awan mulih jam 11, tak jemput. Tekan Gang 1 deweke omong, "aku wis kangen temen karo kakak." Tak takoni, yen ketemu kakak kowe arep ngopo? "Arep tak peluk suwiii ora tak culke, terus aku njaluk digendong.
Begitulah, keluarga selalu menjadi tempat yang hangat untuk pulang. Walau sekarang ini, falsafah “mangan ora mangan ngumpul” di masyarakat sudah banyak bergeser, dan kata “kumpul” pun bisa diciptakan dengan berbagai macam cara. Tapi setidaknya, mari luangkan waktu untuk mereka. Yang telah menyayangi kita dengan segenap jiwa.


Glasgow, 9 August 2012. 7 pm, sebelum memasak untuk buka puasa.
 





Previous Post
Next Post

2 komentar: