Senin, 15 Oktober 2012

Mengeja Cinta//Jogya//

Beberapa waktu lalu, seseorang menanggapi foto di Fb saya, dia bilang sering mampir baca ke blog saya dan paling suka kalau saya membahas Jogya. Saya tersenyum membacanya. Cinta saya pada Jogya, memang terkadang sulit untuk dicerna. Seperti juga cinta yang kadangkala sulit dicerna logika. Komentar seorang teman yang namanya asing bagi saya itu, membuat saya kembali mengeja lagi cinta saya pada Jogya. Semua sahabat dan orang yang dekat dengan saya pasti tahu bagaimana saya cinta kota itu, hingga ingin selalu kembali dan kembali lagi.
Sejak kapan saya cinta Jogya? Entahlah. Yang pasti saya masih ingat waktu kecil kala video klip Jogyakarta-nya Kla Project ada di televisi, getar bernama cinta itu telah ada. Sewaktu kecil dulu, sempat beberapa kali mengunjunginya, entah acara liburan keluarga  ataupun study tour sekolah. Saya bahkan masih ingat judul tugas untuk tulisan setelah study tour ke Yogya waktu SMP dulu. Judulnya “Menyibak Nuansa Kota Jogyakarta” hihi kalian tau sejak kapan saya suka menulis bila membaca judul tulisan saya kan? Hehe..
Saya pun tidak terlalu ingat kapan desir itu semakin menguat. Hanya saya, inginku hanya satu setelah menamatkan SMA yakni kuliah di Jogya. Maka saat UMPTN, pilihan pertama saya jatuhkan ke Jurusan Biologi UGM Jogya, dan pilihan keduanya, Jurusan Biologi Unsoed Purwokerto. Tapi takdir ternyata mendaratkan saya diterima di Unsoed Purwokerto. Namun cinta itu tak pernah hilang, desir itu selalu membuatku untuk berjuang. Saya mengikuti ujian UMPTN lagi tahun berikutnya, setelah setahun saya kuliah di Purwokerto. Jurusan yang saya pilih waktu itu sungguh jauh dari kesan eksakta,  saya pilih jurusan “HI/Hubungan Internasional” ehehe..kalian bisa bayangkan saya ada dimana dan bekerja sebagai apa bila saya diterima waktu itu?
Tapi kembali Tuhan menyuruh saya tetap menyelesaikan kuliah S1 saya di Unsoed, Purwokerto. Namun ternyata desir itu sepertinya tak pernah hilang. Hingga akhirnya Tuhan mengAcc keinginan saya untuk kuliah di Jogya tahun 2005 saat saya diterima di program pasca sarjana Ilmu Kedokteran Tropis UGM. Hidup saya di Jogya adalah salah satu bagian hidup saya yang berwarna, berharga dan penuh cerita. Penuh cerita pertemuan dengan sahabat-sahabat baru walaupun saya masih tetap menjaga persahabatan dengan inner circle saya semenjak kuliah S1. Desir rasa akan jogya memang berbeda, membuktikan bahwa cinta terkadang tak bisa berdusta. Rasa itu sulit untuk disembunyikan dari diri saya. Saya bahkan tak pernah merasa begitu pada “purwokerto”, tempat dimana saya menghabiskan waktu lebih banyak disana. Bahkan sampai kinipun rasa itu tetap sama. Desir itu, rindu itu, bagaimana bisa kututupi?
Dulu sewaktu saya masih tinggal disana, bahkan saya sudah merasa rindu sebelum meninggalkannya. Malam ini saya ingin mengeja cinta saya padanya,
 Saya rindu, benar-benar rindu.
Hati saya selalu berdesir kala bis yang saya naiki menuju Jogya, kadang ingin melaju cepat agar bis itu membawa saya segera sampai Jogya, namun kadang juga menikmati lajunya, merasai desir rindu itu lebih lama. Saya belum pernah mengalami rasa itu pada suatu kota bila akan mengunjunginya. Ada satu lagi sebenarnya, tapi belum pernah kucobai. Mungkin nanti saya pulang saya harus mengetes rasa ehehe.
Saya selalu menganggap jogya adalah “rumah”. Kemanapun saya pergi, saya selalu ingin kembali lagi padanya. Walau kadang hanya sehari, dua hari, tapi cukup meredakan rindu saya. Saya sangat menikmati kala saya menjadi “insider” selama 2 tahun disana. Hingga kembali ke sana sebagai seorang “pengunjung” rasanya aneh kadang kala. Saya ingin menjadi insider lagi. Saya ingat, bahwa dulu saya berupaya untuk bisa kerja di Jogya setelah selesai studi S2 saya. Tersenyum saat ini kala mengenang, saya dulu pernah memasukkan berkas untuk melamar jadi dosen saat CPNS di UNY namun tak lolos karena ijazah dianggap tidak sesuai kualifikasi lowongan, saya pernah mendaftar sebagai editor di salah satu penerbitan di Jogya, saya pernah membuat daftar sekolah tinggi ilmu kesehatan di Jogya untuk saya masuki lamaran kerja.  Saya juga pernah bekerja selama beberapa bulan di Jogya sebelum studi S2 hanya untuk menegaskan pada diri sendiri bahwa saya tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, bahkan saya pernah sudah diterima sebagai pengajar di sekolah berwawasan islam di sana tapi tak jadi saya ambil karena alasan tertentu. Cinta saya pada jogya telah panjang waktu saya perjuangkan ternyata ahaha. Tapi justru lamaran ogah-ogahan di hari terakhir CPNS dosen Unsoed malah mengungkapkan takdirNya bahwa saya harus kembali lagi ke Purwokerto. Aih..
Begitulah hidup, kadang ingin kita diwujudkan olehNya, kadang kala ditunda, kadang pula dibelokkan sedemikian rupa. Tapi entah mengapa cinta saya pada Jogya selalu saja ada. Bila ada kesempatan tugas dinas luar, saya memilih untuk ke Jogya. Atau bila ada waktu senggang, sayapun menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Jogya. Saya selalu merasa rindu, itu saja. Ada desir yang sulit untuk ditampikkan, bahkan oleh waktu sekalipun. Ringtone Hp saya semenjak saya punya Hp pertama kali, hingga kini tak pernah berubah. Lagu Yogyakarta-nya Kla Project pasti saya set-sebagai penanda nada sms atau telpon. Tiap kali mendengar lagu itu, hentak nada iramanya seperti mengingatkan lagi rindu saya akan Jogya. Desir itu akan selalu ada. Malam ini saya baru sadar, betapa saya begitu bodoh bila harus belajar mencintai, tapi bila cinta datang begitu saja, ia akan tetap akan ada disana, tanpa usaha apa-apa. Bila ditanya kini, berapa lama saya mencintai Jogya? Mungkin sudah hampir seumur hidup saya. Cinta ternyata bukan tentang berapa lama saya menghabiskan waktu ada di tempat itu. Dibandingkan dengan Purwokerto, Jogya hanya mengambil sedikit porsi waktu hidup saya untuk tinggal di kota itu. Tapi cinta kadang tak bisa serumus dengan waktu bukan?. Kadang hanya cukup sehari, dua hari, tapi rasa yang diciptakannya selalu membuat saya ingin kembali. Dan saya baru menyadari kini,
Purwokerto adalah tempat dimana komitmen dan tanggung jawab saya berada, sedangkan Jogya adalah tempat dimana cinta saya berada.”
Saya merindu naik angkot nomer 15 yang akan membawa saya ke selokan mataram, saya rindu makan di angkringan, minum jahe susu di Kopi Joss saat menemanimu makan, ngubek-ngubek pasar beringharjo, memilih batik, mencari serabi solo di Malioboro. Minum teh poci di alun-alun, mengunjungi pantai depok, parangtritis atau pantai-pantai cantiknya di Gunungkidul. Saya rindu makan gudeg langganan saya di Jakal, makan lesehan di kawasan UGM, rindu makan sate klatak dan obrolan hangat dengan penjualnya kala itu. Saya rindu jalan-jalan minggu pagi ke SunMor UGM, lalu sarapan lesehan di salah satu warung tendanya. Saya rindu menjelajahi deretan buku-buku di taman pintar, mencicipi soto klebengan atau soto “babi” di jakal atas. Lalu akhir-akhir ini saya rindu jalan ke jejamuran, walau saya tidak hapal jalannya. 

Makan Gudeg Langganan di Jakal Km 5.4 dengan Nata, Sahabat lama
di Keraton Yogyakarta
Apa kalian pernah merasa seperti itu? Entahlah, mungkin saya hanya berlebihan saja. Satu setengah bulan lagi saya akan kembali ke Indonesia lagi untuk beberapa bulan untuk riset. Tempat riset saya ada sebagian yang dilakukan di Jogya mungkin adalah usaha saya untuk kembali lagi ke kota itu. Ah, kenapa selalu seperti itu tenyata? saya baru menyadarinya. Kenapa saya tak pernah berhenti memperjuangkan cinta saya. Suatu saat saya dihadapkan pada pertanyaan “cintakah saya pada Purwokerto?”
Saya merasa nyaman hidup di kota mungil yang sejuk itu. Komitmen dan tanggung jawab telah mengikat saya di situ. Saya tidak merasa menderita atau terpaksa untuk tinggal disana. Bahkan saya sekarang ini tengah memikirkan untuk mencari rumah tetap di sana. Tapi cintakah saya? Saya menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya.
Saya menghabiskan waktu 4 tahun untuk studi S1 saya, dan saya kembali lagi untuk bekerja disana, mungkin hampir sepuluh tahun totalnya saya tinggal di sana. Saya baik-baik saja, namun cinta ternyata mempunyai bahasanya sendiri yang hanya dikenali rasa. 

*Jogya, tunggu saya kembali lagi sebentar lagi.
Glasgow,14 Oktober 2012 11.00 pm
Previous Post
Next Post

5 komentar:

  1. aiiiiiiiiiiih Jogja...entah mengapa jantungku berdegup kembali menyebut namanya ;)

    BalasHapus
  2. ahaaaaay...pasti bukan hanya karena Jogya-nya saja, tapi karena ada suatu esensi dalam tulisan ini yang membuat jantungmu berdegup. * I guess..;p
    Esensi yang kumaksud itu perbedaan "komitmen dan tanggung jawab vs Cinta" yang sering kabur, dikaburkan atau dilupakan..mungkin dikompromikan..ah entahlah :)

    BalasHapus
  3. ..
    sudah setahun lebih ku menetap di jogja..
    setiap hari ku coba mencintai kota ini..
    sering kujelajahi tempat-tempat wisatanya, kususuri jalan legendaris malioboro sampai gang-gangnya, ku cicipi kuliner-kuliner malam harinya yang menggugah selera..
    tapi yang kurasa jogja tak bedah jauh dengan kota-kota lain di jawa..
    sampai beberapa waktu yang lalu kusaksikan pelantikan Sultan..
    mulai saat itu lah kusadari apa yang membedakan jogja dengan kota lain..
    yaitu begitu besarnya rasa cinta rakyat jogja akan pemimpinnya, juga kecintaannya pada kebudayaan leluhur..
    dan kini didalam hatiku mulai timbul rasa yang sama..
    sampai kapanpun dan bagaimanapun nanti, jogja sudah mendapat kapling di hatiku..
    karena bagiku jogja memang istimewa..
    ..

    BalasHapus
  4. huaaah lucky u tinggal di jogya *iri ehehe..
    jiaaah sudah jatuh cinta dengan jogya rupanya..mengikuti jejak jutaan manusia lainnya yang terkena "mantra cinta" jogya :)

    BalasHapus
  5. Umm..jadi ikutan kangen jogja mba..dulu saya juga kuliah di UGM..kangen banget makan nasi kuning di sanmor GSP..betull..jogja itu something deh..hehe..

    BalasHapus