Aku seakan membolak balik waktu, saat
meletakkan badanku di boncengan sepeda motor Bapak beberapa waktu lalu. Beliau
memboncengkanku lagi, mungkin setelah sekian lama. Kapan terakhir aku dibonceng
Bapak? Aku tidak lagi ingat. Mungkin aku terlalu sibuk berkelana, terbang dari
bandara ke bandara, dari tempat satu ke tempat yang lain.
Kali ini aku membonceng menyamping. Ah
bapak, ternyata anakmu ini perempuan. Mungkin ini kali pertama kau boncengkan
aku menggunakan rok panjang yang sekarang ini gemar kupakai kemana-mana. Aku
membaui masa lalu tiba-tiba.
Dulu, saat sepeda motor satu-satunya
keluarga kami dulu mampu dengan ajaibnya mengangkut seluruh anggota keluarga
dalam satu motor. Sepeda motor berplat merah itu, jatah dari sekolah SD tempat
bapak mengajar dulu. Kadang aku duduk di depan bapak, sambil mengupayakan diri
tidak menyenggol setir. Atau kadang menyelempit di antara posisi bapak dan ibu.
Dulu,
seperti sebuah kata yang jauh. Seperti sebuah kata yang sanggup merangkum
waktu.
Dulu, pagi-pagi buta setiap hari senin
saat kuliah S1 beliau mengantarkanku di jalan besar Yogyakarta-Purwokerto di boncengannya
saat akan berangkat kuliah. Desaku masih jauh dari jalur yang dilalui bis umum ke
arah Purwokerto. Deru motor Bapak memecah sunyi. Saat jalanan masih lengang,
saat gelap masih menggenangi langit, saat rumput-rumput di pinggir jalan ini
masih basah dipeluki embun. Lelaki pekerja keras itu selalu sedia
mengantarkanku.
Kemarin setelah entah berapa lama,
kubonceng lagi sepeda motor bapak. Aku telah banyak melihat dunia, ditempa
lara, dibusungkan bahagia. Hidup memberikan banyak tawa, pula airmata. Menyeberangi
samudra, menginjak benua demi benua. Tapi rasanya aku masih saja gadis kecil
bapakku. Lelaki itu masih saja tak banyak bicara padaku. Bincang kami biasanya hanya
tentang politik, agama, wayang, seni jawa.
Aliran DNAnya yang membanjir dalam tubuhku
ini mungkin membuatku seperti beliau. Walau hidup sudah menyuguhkan berbagai
macam pengalaman, tapi tatkala kembali padanya, aku tetaplah si gadis kecil
itu.
Walau kini, lelaki itu tak lagi muda.
Gigi palsunya sudah berderet, rambutnya penuh dengan uban dan gurat-gurat di
wajahnya tak bisa menyangkal tanda-tanda ketuaan.
Tanganku memegang pinggangnya saat
membonceng sepeda motornya.
Aku, perempuan ini, masih tetap gadis
kecil bapakku.
Entah dulu, kini dan mungkin nanti.
Kadang, aku rindu (kembali) menjadi
gadis kecil itu.
Saat cuaca Glasgow mulai merayapi
angka minus. 6 November 2013.
6 Komentar
Keren. :)
BalasHapusehehe thanks for reading :)
BalasHapusawesome ><
BalasHapussamasama,,
BalasHapusKalo suatu saat saya yg boncengin, gimana? (soalnya sayah jadi tukang ojek)hehehe
*tutup muka pake sarung :p
@fitri Widya : ehehe makasih fitri
BalasHapus@Afa : nggak ah, kalau tukang ojek biasanya minta bayarin ehehe ;p
hihi,, kalo naik geratis, kalo turun bayar. :p
BalasHapus