Rabu, 06 November 2013

Di Boncengan Bapak




Aku seakan membolak balik waktu, saat meletakkan badanku di boncengan sepeda motor Bapak beberapa waktu lalu. Beliau memboncengkanku lagi, mungkin setelah sekian lama. Kapan terakhir aku dibonceng Bapak? Aku tidak lagi ingat. Mungkin aku terlalu sibuk berkelana, terbang dari bandara ke bandara, dari tempat satu ke tempat yang lain.
Kali ini aku membonceng menyamping. Ah bapak, ternyata anakmu ini perempuan. Mungkin ini kali pertama kau boncengkan aku menggunakan rok panjang yang sekarang ini gemar kupakai kemana-mana. Aku membaui masa lalu tiba-tiba.
Dulu, saat sepeda motor satu-satunya keluarga kami dulu mampu dengan ajaibnya mengangkut seluruh anggota keluarga dalam satu motor. Sepeda motor berplat merah itu, jatah dari sekolah SD tempat bapak mengajar dulu. Kadang aku duduk di depan bapak, sambil mengupayakan diri tidak menyenggol setir. Atau kadang menyelempit di antara posisi bapak dan ibu.
Dulu, seperti sebuah kata yang jauh. Seperti sebuah kata yang sanggup merangkum waktu.
Dulu, pagi-pagi buta setiap hari senin saat kuliah S1 beliau mengantarkanku di jalan besar Yogyakarta-Purwokerto di boncengannya saat akan berangkat kuliah. Desaku masih jauh dari jalur yang dilalui bis umum ke arah Purwokerto. Deru motor Bapak memecah sunyi. Saat jalanan masih lengang, saat gelap masih menggenangi langit, saat rumput-rumput di pinggir jalan ini masih basah dipeluki embun. Lelaki pekerja keras itu selalu sedia mengantarkanku.
Kemarin setelah entah berapa lama, kubonceng lagi sepeda motor bapak. Aku telah banyak melihat dunia, ditempa lara, dibusungkan bahagia. Hidup memberikan banyak tawa, pula airmata. Menyeberangi samudra, menginjak benua demi benua. Tapi rasanya aku masih saja gadis kecil bapakku. Lelaki itu masih saja tak banyak bicara padaku. Bincang kami biasanya hanya tentang politik, agama, wayang, seni jawa.
Aliran DNAnya yang membanjir dalam tubuhku ini mungkin membuatku seperti beliau. Walau hidup sudah menyuguhkan berbagai macam pengalaman, tapi tatkala kembali padanya, aku tetaplah si gadis kecil itu.
Walau kini, lelaki itu tak lagi muda. Gigi palsunya sudah berderet, rambutnya penuh dengan uban dan gurat-gurat di wajahnya tak bisa menyangkal tanda-tanda ketuaan.
Tanganku memegang pinggangnya saat membonceng sepeda motornya.
Aku, perempuan ini, masih tetap gadis kecil bapakku.
Entah dulu, kini dan mungkin nanti.
Kadang, aku rindu (kembali) menjadi gadis kecil itu.

Saat cuaca Glasgow mulai merayapi angka minus. 6 November 2013.
Previous Post
Next Post

6 komentar:

  1. samasama,,
    Kalo suatu saat saya yg boncengin, gimana? (soalnya sayah jadi tukang ojek)hehehe
    *tutup muka pake sarung :p

    BalasHapus
  2. @fitri Widya : ehehe makasih fitri
    @Afa : nggak ah, kalau tukang ojek biasanya minta bayarin ehehe ;p

    BalasHapus
  3. hihi,, kalo naik geratis, kalo turun bayar. :p

    BalasHapus