Kamis, 06 Februari 2014

Berasa Editor # Lagi-lagi tentang Passion



You can never run from your passion, or lie to yourself what your passion is  (@neynarahma)
Lagi-lagi bahasan tentang passion, iyah karena mungkin dengan itulah hidup seseorang terasa hidup. Saya menyaksi orang-orang yang hidup mengerjakan passionnya, dan juga mengamati orang-orang yang menjalani rutinitasnya yang hambar. Ada gurat yang berbeda, ada rasa yang tak sama. Begitu juga diri saya sendiri, saya tak pernah ingin membohongi rasa saya sendiri.
Siapa yang paling tahu kapan saat kita merasa berdaya? diri kita sendiri. Kapan kita merasa mempunyai kemauan dan kemampuan terhadap satu hal? Tentang hal-hal yang kita lakukan tanpa peduli dibayar atau tidak, kadang-kadang jadi lupa waktu, tapi ada selusup rasa bahagia tak biasa yang mengada. Itulah passion.
Rasa inilah yang terus menarik-narik saya untuk terus menghidupi passion saya. Salah satunya mencobai rasa baru dalam dunia kepenulisan yakni menjadi editor. Tawaran yang saya dapatkan saat sedang berada di Maroko dari sahabat lama saya dari Fakultas ilmu Budaya UGM yang sekarang bekerja di Gramedia,itu lekas-lekas saya iyakan, ehehe kesempatan langka untuk belajar merasa menjadi editor, di penerbit yang sudah ternama pula. Pernah jadi editor? Belum pernah sama sekali. Tapi memang saya kebanyakan nekad ahaha, kapan lagi ada kesempatan seperti ini. Lagian juga saya sangat menikmati kalau ada kerjaan-kerjaan menyangkut tulis menulis. Maka kemudian sahabat saya tersebut memilihkan genre tulisan yang kira-kira pas untuk editor pemula seperti saya. Sebuah naskah berjudul “Call it Love” tanpa nama penulis dikirim ke email saya untuk diedit.
            “Itu beberapa halaman udah diedit, coba dipelajari dulu, lalu kamu coba edit halaman-halaman selanjutnya, ntar aku lihat,” kata sahabat saya itu. Beberapa file tentang editing juga dikirimkan via email. Wah benar-benar langsung praktik ngedit langsung. Awalnya lumayan kaku juga, karena belum terbiasa. Masih bimbang untuk mengoreksi kalimat, apalagi isinya. Beberapa halaman kuedit berkali-kali dan kukirim hasilnya.
            “ Udah oke kayaknya, lanjut aja..cuman kalau ada ini..bla bla..diganti...” itu komentar sahabat saya pas pertama kali saya kirim hasil editan saya. Saya banyak belajar menggunakan bahasa baku, dan baru sadar juga walaupun naskah metro-pop tetap juga menggunakan bahasa baku. Dengan merujuk pada KBBI, saya baru ngeh juga kata-kata yang saya anggap benar ternyata nggak baku dalam KBBI. Seperti kata “pengen” seharusnya “pengin” lalu “enggak” seharusnya “nggak” dan masih banyak kata-kata lainnya. Termasuk bagaimana menghilangkan kata-kata redundant agar lebih efektif, misalnya “masuk ke dalam taksi”, dengan menghilangkan kata tanpa mengurangi arti. Yang lebih penting lagi adalah mengedit konten/isi. Bagaimana alur cerita, serta adegan-adegannya logis atau tidak. Semakin lama mengedit semakin berani untuk main coret-coret di dokumen Word menggunakan track changes.
Ternyata memang rasa menjadi penulis dan menjadi editor berbeda. Biasanya menulis dengan sekehendak hati, kadang sulit untuk mencermati detail-detail kesalahan tulisan sendiri, tapi menjadi editor kita dituntut untuk mengoreksi kesalahan tulisan karya orang lain. Tentu saja ini pengalaman berharga sekaligus belajar mengedit yang menyenangkan. Saya masih ingat saat mengedit “Call it Love” ini saya sampai lembur-lembur karena ingin mengulang dan mengulangi membaca lagi. Tiap kali dibaca, ketemu lagi kesalahan-kesalahan yang ingin diperbaiki, begitu berulang-ulang. Dan kualitas editan yang penuh konsenstrasi itu paling hanya bisa bertahan 2-3 jam, selebihnya sudah nggak fokus karena kelelahan. Mata lelah karena harus menelusuri kata satu demi satu, sampai titik koma, jarak spasi, dan printilan-printilan tulisan harus dilihat. Selain itu otak juga lelah karena harus terus berpikir ehehe jadi biasanya setelah 3 jam, lebih baik naskah ditutup dulu. Tapi rasanya kerja seperti itu sangat menyenangkan, ada rasa bahwa saya ingin mengerjakan sebaik baiknya, tanpa beban, justru dengan antusiasme yang besar.Dan akhirnya, pertengahan Februari nanti buku hasil editan saya akan lahir. Saat melihatnya di website Gramedia, saya baru tahu nama penulisnya dan cukup suka dengan desain covernya. Ada kepuasan sendiri saat melihat buku ini lahir, walaupun bedanya kalau menjadi penulis ada nama kita yang tertera di covernya, sedangkan editor menjadi orang di balik layar karya seseorang.
Pengalaman ini saya merasakan kerja yang nggak berasa kerja, tapi dapat duit ahaha. Mungkin ini rasanya kalau kerja di bidang yang disukai, saya rasanya hanya ingin menghasilkan karya yang terbaik yang saya bisa, plus ada honornya pula. Sebagai penulis juga begitu sih, dulu ada karya yang model “jual putus” artinya dibeli tanpa royalti, ada pula karya yang dicetak masal dan saya jual sendiri, sekaligus masih dibantu dijual oleh penerbit. Sampai sekarang ini saya masih kadang menerima notifikasi transferan dari LeutikaPrio hasil royalti buku saya, Koloni Milanisti.
Tapi terlepas dari nilai honor atau uangnya, kepuasan bekerja, berkarya adalah candu yang tak ada habisnya. Inilah passion saya, dan sangat menikmatinya. Saya memang bekerja di bidang science, tapi tetap menghidupi passion saya di dunia kepenulisan. Kita bisa melakukan banyak hal kok, dengan berkarya sebagai wujud syukur atas detik hidup yang diberikan Tuhan.
Salam
Glasgow, 5 Februari 2014. 
Previous Post
Next Post

2 komentar:

  1. Salam, Saya kagum dengan tulisan mbak, baik dari segi penggunaan bahasa hingga makna yang dikandungnya, begitu mengena dihati. Mungkin karena sama-sama pecinta sastra, senja, hal-hal berkaitan dengan rasa lainnya. Saya kagum karena mbak mampu mengurai rasa dengan berimbang karena dibalut dgn kayanya pengalaman dan permainan filosofi juga logika. Saya juga senang karena saya bukan satu-satunya orang yang berjuang mencapai titik imbang dalam hidup. Meskipun karir tidak secara langsung berkaitan dengan passion namun kita memiliki hak untuk mengasah passion diam-diam. Ya, karena inilah win-win solution, antara passion dengan kehendak keluarga. Selalu ada hikmah. Sama seperti uraian cerita yang sudah-sudah. (Esti, 19 tahun, Surabaya)

    BalasHapus
  2. Salam esti,
    Terimakasih sudah mampir baca di sini, terimakasih juga atas apresiasi pada tulisan-tulisan saya ehehe.
    Terus semangat untuk menghidupi passion kita masing-masing..
    Cheers

    BalasHapus