Selasa, 01 Juli 2014

Mengeja Kenang Ramadan




Ramadan ketiga. Iyah, ketiga kalinya Ramadan akan saya lewatkan di Glasgow. Tapi kini saya tidak lagi merasa jauh, walaupun tentu saja kadang merindu rumah. Apalagi masa-masa Ramadan bila di Indonesia pastilah identik dengan suasana kumpul bersama dengan keluarga. Pulang ke rumah di awal Ramadan, dan berpuasa bersama keluarga. Rasanya sudah lama saya tidak merasakan nuansa seperti itu. Apalagi Ramadan kali ini, saya  bisa membayangkan perasaan orang tua saya, terlebih ibu saya yang pastilah merasa kurang lengkap dalam Ramadan kali ini. Hanya beberapa hari menjelang bula Ramadan kemarin, adik saya berangkat ke Ciawi untuk pra-jabatan dan kemungkinan akan segera ditempatkan di Ternate sebelum lebaran. Jadi, kemungkinan besar hanya adik bungsu saya yang akan menemani bapak ibu saat lebaran nanti. Oh andai, kehadiran saya bisa digantikan oleh hal lain yang bisa saya lakukan dari sini selain menelpon ataupun skype pasti akan saya lakukan.
Selain mengingatkan akan rumah, bagi saya Ramadan adalah kenang,
Kenang seperti halnya langkah-langkah kecil saya menuju Mushola dengan senter di tangan. Tak ada penerangan.
            “Hati-hati bila melintas di pohon asem itu. Ada banyak hantunya,” kalimat itu selalu saja  terlintas tiap kali saya kala kecil dulu melewati jalan itu ketika pulang tarawih atau jamaah subuh. Dengan jantung bergedup dan langkah cepat-cepat. Saya ingin sekali hendak cepat-cepat menghindari area sekitar pohon asem itu. Padahal itulah jalan yang tiap hari yang harus saya lewati bila hendak ke Mushola.
Saya juga masih ingat, saya saat kecil tak punya banyak kerudung. Jadi dengan berkerudung kuning segi panjang yang disampirkan di kepala saya pergi ke mushola. Tiba-tiba saya bertanya, dimana kerudung kuning berbordir itu? Hilang ditelan masa, namun kenangnya tetap mengada.
Kadang pula, Ramadan adalah kenang sebuah pelepah daun pisang yang menghindarkan tubuh kecil saya dari hujan sepulang tarawih. Oh kadang kala kini saya berpikir, jaman apa saya dulu dilahirkan?
Ramadan dengan laporan sholat tarawih, sholat fardhu di sebuah buku yang wajid diisi dan ditandatangani pak kyai.
Kenang Ramadan, yang dengan suka cita sibuk di dapur menjelang buka puasa. Lalu menyeduh minuman hangat untuk berbuka bersama keluarga. Empat gelas teh panas, dan satu gelas kopi untuk bapak. Hampir pasti begitu, jarang berubah, walaupun ada minuman tambahan seperti kelapa muda ataupun sirup.
Ramadan adalah tentang kenang. Betapa manusia diingatkan akan pulang. Baik pulang ke rumah, ataupun “pulang” dalam arti kematian.
Kini, saya hanya bisa mendengarkan suara bapak ibu saya lewat telepon, atau kadang menyapa dengan melihat wajahnya lewat skype. Orang tua saya mungkin belajar bagaimana merelakan anak-anaknya telah melesat dengan anak panahnya masing-masing, dengan definisi kebahagiaannya masing-masing.
Saya pula belajar menerima dan bersyukur, bahwa Tuhan selalu memberikan saya rasa rumah di mana-mana.
Ramadan mungkin saja membuat saya mengeja kenang masa lalu. Tapi Ramadan juga sanggup membuat saya mencipta peristiwa-peristiwa kekinian untuk mencipta kenang yang akan saya eja di masa depan.
Dan kini, saya mencipta kenang-kenang berikutnya. Di tanah-tanah asing yang tak lagi terasa asing.
Di tanah yang saya sebut RUMAH.


Glasgow, hari pertama di Bulan Juli


Previous Post
Next Post

1 komentar: